Kamis, 29 Desember 2011

6 + 3 + 3 = 1

Oleh : Samsul Pasaribu*

Pembaca bingung dengan judul kita kali ini?, penulis beranggapan itu sah-sah saja. Hanya saja agar pembaca tidak larut dalam kebingungannya, secara singkat akan penulis uraikan maksud dari judul tulisan kali ini. Penjumlahan beberapa angka diatas merupakan simbol yang sengaja penulis buat untuk  wajib belajar (wajar) 12 tahun. Dimana jenjang pendidikan kita terdiri dari Sekolah Dasar 6 tahun, tingkat pertama 3 tahun dan dilanjutkan dengan tingkat menengah atas 3 tahun. Lalu kenapa penjumlahan 6 + 3 + 3 sama dengan 1? Itu karena yang dimaksud dengan 1 dalam penjumlahan ini adalah 1 ijazah.
Kongkritnya, dalam dunia pendidikan kita dewasa ini pendidikan dasar 12 tahun yang rencananya akan dimulai tahun 2012 nanti sebaiknya mengalami “revolusi” sistem walaupun tidak menyeluruh. Sejak republik ini berdiri, pendidikan dasar Indonesia selama 12 tahun akan disuguhi dengan 3 ijazah. Dahulu hal ini tentulah sangat baik dan tepat dilaksanakan. Karena untuk mau sekolah saja hingga tingkat dasar merupakan prestasi tersendiri bagi bangsa ini. Pola pikir bahwa pendidikan itu yang penting tulis baca menjadi hal yang lebih penting dari apa pun saat itu.
Seiring dengan perjalanan waktu di era dekade 70-an, semangat warga negara untuk serius mengenyam dunia pendidikan semakin baik. Hal ini dapat dilihat kebutuhan dunia kerja saat itu telah memberikan batas maksimal pendidikan setiap orang minimal SMP. Itulah sebabnya dari tahun 70-an hingga awal tahun 90-an ijazah SMP masih menjadi barang berharga dibangsa ini. Namun memasuki era millenium tahun 2000, terutama pasca reformasi bergelora, dua ijazah sebelumnya yaitu SD dan SMP menjadi sangat tidak berarti lagi. Paling-paling ijazah itu hanya berguna sebagai tiket masuk untuk melanjut kejenjang pendidikan diatasnya. Sedangkan untuk kebutuhan dunia kerja, saat ini tamatan SMA saja sudah sulit untuk melanjutkan penghidupannya. Ijazah SMA juga belakangan hanya sebagai prasyarat untuk melanjut keperguruan tinggi. Mayoritas saat ini kebutuhan tenaga kerja di Indonesia minimal berlatar belakang Diploma-3 dan strata-1.

Senin, 19 Desember 2011

Mau Naik Pangkat? Berani Piro?

-->
Oleh : Samsul Pasaribu*
Untuk warga Sibolga, sepertinya untuk sementara waktu kita berhenti berdiskusi tentang berbagai polemik yang menimpa bangsa dan negara ini secara nasional. Karena boro-boro mikirin konflik nasional, di kota ini sendiri (baca: Sibolga) masih banyak permasalahan yang terlihat kecil tapi menjadi setitik nila didalam susu sebelanga. Walikota Sibolga pun agaknya perlu berhenti sejenak bercerita program-program muluknya mulai dari KTP gratis, bersalin gratis atau ngurus KK gratis, karena program pro rakyat itu akan dikalikan dengan nol alias tidak berarti sama sekali oleh karena ada segelintir oknum-oknum dipemerintah kota yang tidak sejalan dengan visi dan misi Walikota Sibolga khususnya dalam mewujudkan masayarakat yang cerdas, sehat dan beradab.
Beradab? Mm, sepertinya visi ini menjadi jauh panggang dari api. Bagus, tapi realita masih seperti tumpuk merindukan bulan. Coba kita bayangkan, ditengah-tengah presiden SBY gencar-gencarnya menjadikan hukum adalah panglima dan aparatur negara diharapkan bekerja berdasarkan rel (peraturan-red) yang ada, eh segelintir orang yang oleh kita menyebutnya oknum malah asik menari-nari diatas penderitaan orang lain. Kok menari? Ya iyalah, disaat serba sulit sekarang ini, ketika minyak tanah mulai langka, harga sembako melonjat tajam, bahkan (maaf) buang air kecil saja harus bayar, masih ada aparatur negara ini yang tega melakukan pungutan liar bagi kepentingan pribadinya. Owalah, apa kata dunia.
Anehnya lagi, oknum PNS yang katanya berperan layaknya malaikat pencabut nyawa di pemko Sibolga ini beraninya hanya pada pegawai negeri golongan dan jabatan rendahan yang makannya saja terkadang masih nge-bon diwarung-warung atau ngutang sama tetangga. Itu masih urusan makan, belum biaya ini dan itu. Mikir dong mikir.
Selang satu hari pasca acara dialog mahasiswa dan pemuda dengan walikota Sibolga, seorang guru curhat kepada penulis bahwa ada oknum PNS yang meminta setoran 500 ribu sampai dengan 600 ribu rupiah sebagai uang jasa pengurusan naik pangkat. Saat itu sang guru bertanya benarkah ada aturan seperti itu. Lantas penulis mengkonfirmasi langsung issu ini kepada BKPP kota Sibolga, celakanya itu tidak benar. Tapi pertanyaannya adalah apa ada maling yang mau mengaku? Selidik punya selidik ternyata pungutan itu tidak ada secara tertulis namun ia ada seperti hantu yang siap menggerogoti setiap pegawai negeri sipil. Alhasil, mau naik pangkat? Brani piro?
Tapi itulah anehnya bangsa ini. Sesuatu yang nyata terkadang menjadi hantu dalam kehidupan kita sehari-hari. Kongkritnya, semua pegawai negeri sipil yang pernah berurusan dengan BKPP Kota Sibolga rata-rata pasti tahu betul siapa saja oknum-oknum yang terlibat dengan praktek-praktek pungli ilegal seperti ini. Tapi (mungkin takut dikatakan mencemarkan nama baik) tidak ada satu pun yang berani bersuara lantang dan terbuka menunjuk hidup para oknum yang tidak fair dalam menjalankan amanah negara ini. Tunjuk saja, berikan bukti dan yakinlah mahasiswa, rakyat dan siapa pun pasti akan memberikan dukungan moral yang tak terkira. Atau jangan-jangan rakyat juga sudah ikut-ikutan mengikuti gaya pegawai negeri saat ini? Ketika diajak PNS untuk mendukung pembersihan jajaran birokrasi, rakyat juga bilang “berani piro?” hehehe.

*Penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia

Kamis, 14 April 2011

"Malaikat Maut" Bernama UN

Kamis, 14 April 2011 
Bagi sebagian pelajar Ujian Nasional hanya sebatas untuk negara bukan untuk  para pelajar. Topik kita kali ini, penulis dapatkan dari sebuah status facebook pelajar SMA kelas XII.
Oleh: Samsul Pasaribu

Dari orang yang sama juga ia menuliskan sederetan angka berikut ini 4,50 + 4,75 + 4,50 + 4,75 + 4,50 + 4,50 = 5,50 => (lulus). Sederet angka menjadi nilai manusia di negara ini. Dan kelak ketika bertemu teman lama kita akan bertanya berapa nilai anda saat ini?. Fenomena aneh yang menyerang pendidikan kita layaknya ulat bulu yang tak henti menyerang jawa tengah. Inilah yang mendorong penulis untuk mencoba menelaah maksud lain dari status facebook ini.
Deretan angka yang tertata rapi di atas berdasarkan standarisasi kelulusan UN tahun akademik 2010-2011. Pertanyaannya bagaimana bila andai deretan nilai hasil usaha maksimal itu ternyata untuk satu mata pelajaran hanya berbeda seper sekian persen dari ketentuan yang ada yang berakibat pada akhir dari deretan nilai tersebut tidaklulus?

Rabu, 13 April 2011

Obat Ampuh Bernama Briptu Norman

Rabu, 13 April 2011 
Suka atau tidak, sekarang tanah air sudah punya selebritis baru. Ia tidak lahir dari sebuah audisi berbakat atau berkat rekomendasi orang-orang hebat. Namun secara alami tanpa sengaja ia menjadi berita diseluruh media massa. Dialah Briptu Norman Kamaru. Anggota Brimob Polda Gorontalo. Norman berhasil membius bangsa ini dengan aksi kocaknya di situs Youtube. Layaknya bintang Bollywood, Norman beraksi dengan seragam kebesarannya di pos piket Brimob Polda Gorontalo
Oleh: Samsul Pasaribu
Kali ini, penulis tidak akan meramal masa depan Norman pasca sukses menjadi selebriti papan atas. Akan tetapi penulis mencoba memandang dari sisi lain fenomena Briptu Norman khususnya yang berhubungan langsung dengan permasalahan bangsa yang semakin lama semakin menumpuk tanpa pernah kita tahu kapan akan selesai.

Selasa, 05 April 2011

Revolusi Mungkinkah?

Sumedang - Layaknya penyakit menular, maka Indonesia adalah salah satu calon pasien yang terlalu mudah ketularan penyakit. Entah waktu kecil bangsa ini tidak diberi suntikan "imunisasi" yang setidaknya bisa membentengi dan memberi kekebalan tubuh rakyatnya dari berbagai virus/ bakteri yang coba menyerang. Yang pasti bangsa ini paling mudah terprofokasi oleh hal-hal baru yang belum tentu baik untuk kita.

Dinamika bom ditanah air juga penyakit menular yang datang dari timur tengah yang merasuki minoritas penduduk negeri ini. Pembenaran dalam rangka Jihad pun menjadi slogan penting. Antipati terhadap pihak asing ternyata juga memakan korban anak bangsa sendiri. Penyakit jenis ini agaknya sudah tergolong akut. Dan mungkin sudah dalam level stadium akhir. Buktinya, ditangkap satu muncul lagi yang baru.

Sabtu, 02 April 2011

Gedung Baru DPR, Kenapa Tidak!


Oleh: Samsul Pasaribu*
Grand desain Gedung Parlemen Indonesia
Kontroversi pembangunan gedung baru DPR adalah hal yang mutlak terjadi. Tudingan bentuk bangunan mirip dengan gedung parlemen Chile pun sah-sah saja dan wajar pula bentuk bangunan dinilai tidak menggambarkan kultur budaya bangsa ini. Namun, karena ini eranya kebebasan berpendapat, yang suka dan yang tidak suka bisa sama-sama benar dan bisa pula sama-sama salah. Kendati rencana pembangunan gedung seharga 1,2 triliun ini akan dipertimbangkan kembali namun, penulis berpandangan rumah wakil rakyat ini memang selayaknya direhab total. Bukan dalam rangka cari sensasi atau coba menjilat kepada pemerintahan yang saat ini berkuasa. Akan tetapi, penulis mencoba memandang dari sisi lain apa urgensinya gedung megah parlemen ini bagi kemaslahatan bangsa.
Dalam sejarahnya, bangsa ini tidak sekali dua kali dilanda krisis yang bermuara pada meningkatnya angka kemiskinan dan tak terbendungnya jumlah pengangguran. Pasca proklamasi RI 1945, Indonesia setidaknya beberapa kali dilanda krisis mulai dari krisis ekonomi tahun 1959 yang melahirkan dektrit presiden 5 Juli 1959, krisis idiologi tahun 1965-1966 yang melahirkan supersemar 1966, dan krisis tahun 1974 yang dikenal dengan peristiwa Malari. Semua krisis tersebut sangat berdampak pada tatanan ekonomi, pertahanan dan keamanan dan kesejahteraan rakyat. Pertanyaannya adalah, apakah ketika masa krisis itu datang segala bentuk pembangunan khususnya yang menyangkut harkat dan martabat bangsa dihentikan?

Senin, 21 Maret 2011

My Name Is Vandalism, I am Not a Terrorist

Jakarta - Ingat film My Name Is Khan? Tentu saja. Film bollywood ini mampu menyentuh hati dunia atas pesan moral yang coba disampaikan oleh Khan (Shah Rukh Khan) bahwa dia bukanlah seorang teroris. Cap itu sendiri otomatis melekat pada diri dan keluarganya yang kebetulan muslim pasca tragedi 11 September 2001 padahal, Khan sama sekali tidak tahu menahu dengan peristiwa yang menewaskan 2000 lebih jiwa ini.

Tapi kok jadi cerita film ini ya? Tenang saja. Penulis hanya mencoba menerangkan latar belakang pengambilan judul tulisan ini yang dipinjam dari film My name is Khan and I am not a terrorist.

Tulisan ini juga terinspirasi oleh dinamika kehidupan nasional bangsa kita yang punya musim-musim tertentu. Tidak hanya musim hujan, panas, kemarau, musim rambutan, musin durian, negara ini juga punya musim bencana alam, musim gempa, musim longsor, musim tsunami dan musim ledakan bom. Entah disengaja atau tidak tapi yang pasti 236 juta jiwa (sensus penduduk 2010) penduduk Indonesia sama merasakan fenomena alam diatas yang sepertinya tak kunjung berhenti.

Bila Jepang porak poranda dihantam tsunami dan ledakan PLTN di Fukhusima Jepang. Indonesia tidak mau kalah. Seakan ingin mengalihkan perhatian dunia terhadap gempa dan tsunami Jepang, oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab berusaha mencari perhatian media lewat ledakan bom dengan formula baru "Bom Buku". Kendati dirancang tidak untuk penghancuran total, namun dampaknya cukup dirasakan masyarakat yang menghadirkan rasa panik, kekhawatiran berlebihan dan (dampak positifnya) kewaspadaan.

Sejak tahun 2002 Indonesia sering diancam ledakan bom mulai dari skala besar, kecil hingga yang tak jadi meledak. Lantas, apakah setiap upaya-upaya teror (baca: pengerusakan) yang datang silih berganti selalu kita sebut dengan teror? Tentu setiap orang punya jawaban yang berbeda.

Perbedaan itu sendiri juga dimunculkan oleh physicolog Forensik pertama Indonesia, Reza Indragiri Amriel. Disaat mayoritas rakyat negeri ini satu suara menyikapi bom buku merupakan aksi teror, beliau justru menyebutnya sebagai sebuah aksi vandalism yang bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bermakna sebatas aksi pengerusakan saja. Ungkapan ini agaknya ada benarnya.

Kesan yang muncul saat mendengar kata teror dengan kata vandalism juga sangat berbeda. Physicolog forensik ini menuturkan, kendati sama-sama bertujuan memberi rasa takut dan ketidak nyamanan pada orang lain, namun kasus bom buku tidak masuk dalam ranah teror yang pelakunya akan disebut teroris. Bom buku tidak dirancak untuk membunuh dan melukai banyak orang, melainkan hanya sebatas mencederai dan memberi rasa takut. Indikator inilah yang oleh Reza Indragiri Amriel menggolongkan bom buku sebagai aksi vandalism.

Amerika Serikat sendiri, sebagai negara yang punya pengalaman terburuk dalam kasus teror tidak selalu menyebut serangan terhadap rasa aman sebagai aksi teror. Seperti serangan bom yang gagal di New York Times Square tahun 2010 lalu, presiden AS Barack Obama tidak latah menyebutnya sebagai aksi teror melainkan aksi vandalism. Sebutan ini justru berdampak pada respon masyarakat yang merasa nyaman dan tenang pasca upaya pengeboman itu.

Aksi vandalism yang disebut oleh Obama telah menghilangkan rasa khawatir akan tetapi tetap waspada bagi jutaan rakyat Amerika. Pelajaran yang dapat di petik disini adalah, sebagai bangsa yang tak pernah berhenti belajar dari sejarah pahit dan manis, para pemimpin bangsa ini baik sipil maupun militer, orang kaya maupun rakyat jelata harus bisa mengklasifikasikan setiap keadaan sebelum mengambil kesimpulan apakah itu tergolong aksi teror atau hanya sebatas upaya vandalism.

Ketepatan mengambil kesimpulan itu jadi penting karena sangat mempengaruhi langkah-langkah yang diambil masyarakat yang harapannya tidak menjadi paranoid tapi sebatas waspada dan selalu waspada.

Indonesia pada umumnya, mudah terpengaruh dengan pola pikir yang berkembang dewasa ini. Seperti kasus nuklir misalnya, Kendati dunia punya kenangan pahit atas ledakan nuklir di Hirosima-Nagasaki tahun 1945 silam tetapi tidak lantas menyimpulkan semua hal yang berhubungan dengan nuklir punya dampak layaknya Hirosima Nagasaki.

Ledakan Nuklir 1945 Hirosima, tidaklah sama dengan ledakan nuklir di Fukhusima Jepang 2011. Begitu juga halnya dengan ledakan bom di Bali tahun 2002, di kedutaan besar Australia 2004 dan dibelahan bumi lainnya tidak bisa disamakan dengan ledakan bom buku di utan kayu, di rumah dani atau diperumahan mewah kota wisata Jakarta.

Semua subtansinya memang memberikan rasa tidak nyaman namun respon kita terhadap semua aksi diatas juga harus berbeda. Yang terpenting adalah antara aparat dan rakyat selalu waspada. Memang, setiap aksi melahirkan sisi positif bagi bangsa ini. Rakyat dan aparat menjadi menyatu. Aparat menjadi lebih responsif, rakyat menjadi lebih melek terhadap apa saja, dan ini harus dipertahankan. Sejatinya, disaat ancaman terhadap rasa aman datang, bersamaan dengan itu datang pula kewaspadaan, kepekaan, kepedulian dan kesatuan antara rakyat dan aparat.

Yang kita takutkan adalah ketika rakyat dan aparat telah sama-sama waspada, tidak lama setelah itu rakyat menurunkan tingkat kewaspadaannya dan mempercayakannya pada aparat. Celakanya lagi, ketika rakyat telah mempercayakannya kepada aparat, aparat justru menurunkan kewaspadaannya. Hasilnya pun bisa ditebak, ketika rakyat dan aparat tak lagi kompak (baca : waspada) ancaman baru pun akan datang lagi. Ketika itu datang kita tinggal lihat apakah itu tergolong teror atau hanya vandalism.

*penulis adalah presiden mahasiswa Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin-Bandung) dan ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (germasi)

Samsul Pasaribu
Jl. Raya Jatinangor Km. 20,5 Gg. Plamboyan No. 13 Sumedang
syamsulpasaribu@yahoo.co.id
081370677022

sumber: Detik.com

Senin, 14 Maret 2011

Politik Kejar Tayang


Oleh: Samsul Pasaribu*
Samsul.P
Mencermati dinamika politik nasional saat ini, penulis jadi teringat istilah di industri per-film-an nasional kita “stripping” atau kejar tayang. Dan bila kita coba tanyakan kepada seluruh penduduk negeri ini, bagaimana kualitas film kejar tayang selama ini? Mereka kompak akan menjawab “tidak berkualitas, tidak mendidik, hanya omong doang”, dan lain-lain. Dinamika stirpping ini bila kita bawa ke ranah politik dewasa ini, maka jawaban kita juga kompak, tidak berkualitas.
Pemerintahan dibawah kekuasaan SBY dengan segenap pembantunya pasca berkuasa tidak pernah menyelesaikan satu permasalahan pun dengan ending yang memuaskan. Agaknya istilah stripping yang disandarkan di pemerintahan ini sangat relevan sekali. Karena pemerintahan ini hanya mengurus satu masalah dan belum selesai telah membuat masalah baru lagi. Entah apa target yang ingin dikejar tapi SBY dan para pembantunya sepertinya sudah punya jadwal yang jelas bahwa setiap masalah harus diselesaikan dalam kurun waktu tertentu dan selesai  tidak selesai lanjut ke permasalahan selanjutnya.
Pasca berkuasa, penulis banyak mencatat beberapa episode yang tidak bisa diakhiri SBY dengan baik, dimulai dari kasus lumpur Lapindo yang hingga kini seribuan korbannya masih luntang-lantang tak bermukim, dilanjutkan dengan kasus mega skandal Bank Century yang semakin lama-semakin abu-abu, kasus mafia pajak yang katanya akan di buka seterang-terangnya hingga permasalahan kerusuhan lintas keyakinan (Ahmadiyah vs Islam) yang tidak bisa diselesaikan dengan tegas oleh pemerintah. Semua permasalahan diatas tercipta tanpa pernah musnah (baca: selesai)

Kamis, 10 Maret 2011

Benarkah Rakyat Berdaulat?


Oleh: Samsul Pasaribu*
wakil rakyat di senayan
 UUD 1945 Jelas-jelas menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat. Dalam hukum konstitusi dan internasional, kedaulatan diterjamahkan sebagai hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan atau masyarakat. Bila demikian adanya maka, rakyatlah yang memiliki hak itu. Akan tetapi lain lubuk lain ilalang, lain aturan lain pula penerapan. Lantas, sudahkah rakyat berdaulat?
Mengacu pada dinamika perpolitikan nasional kita, kedaulatan rakyat yang telah di jamin oleh UUD 1945 saat ini adalah kedaulatan semu. Disebut semu karena rakyat yang harusnya punya kewenangan penuh mengatur pemerintahannya sendiri justru balik diatur oleh orang-orang yang mengatasnamakan rakyat dibalik kepentingannya. Membuktikan ini tidak perlu melakukan penelitian yang akan menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Kita cukup melihat para wakil kita di senayan yang bebas melakukan apa saja dan mencaplok kata “rakyat” untuk menguatkan argumentnya. Kepentingan yang sebenarnya lebih banyak menguntungkan individu dan partainya akan diperjuangkan atas nama rakyat. Artinya, rakyat dijadikan objek untuk memuluskan tujuannya.

Selasa, 08 Maret 2011

Dendam Sang Mantan Presiden


Oleh: Samsul Pasaribu*
Presiden dan Mantan Presiden RI
Pembaca jangan kaget dulu, karena judul diatas bukan judul sebuah film layar lebar atau sinetron yang biasa menghiasi layar kaca televisi kita. Namun, pengangkatan judul diatas menjadi kepala tulisan ini semata-mata didasarkan atas dinamika perpolitikan nasional kita yang tidak pernah berhenti dan selalu berlajut dari satu kasus ke kasus selanjutnya. Politik kita secara nasional tak obahnya seperti sinetron kejar tayang. Selesai satu season  lanjut ke season berikutnya, bahkan tak jarang sinetron kita tidak punya akhir cerita. Keberlanjutan itu pun dikarenakan alasan semu “Permintaan permirsa”.
Jika analogi ini dibawah keranah politk praktis bangsa kita saat ini, maka tepatlah politk kita memang politik layar kaca (baca: sinetron). Hal ini dikarenakan cerita yang dibangun oleh pihak pemerintah maupun oposisi tidak punya ujung yang jelas. Yang terjadi bukan selesai satu masalah lanjut kemasalah yang lain tetapi belum selesai satu masalah mari kita buat masalah yang lain. Namun, prolog diatas bukan menjadi topik bahasan kita kali ini. Penulis hanya akan mengupas tidak tuntas judul diatas  dendam sang mantan presiden.

Jumat, 18 Februari 2011

Mungkinkah SBY Lengser?

Oleh : Samsul Pasaribu*
Habib Rizieq Shihab dan SBY
Dua pekan ini, setidaknya media baik cetak maupun elektronik sudah mewartakan kepada kita beberapa permasalah bangsa ini khususnya rencana pemerintah membubarkan ormas anarkis yang dianggap meresahkan masyarakat. Wacana ini pun ditanggapi berbeda oleh berbagai ormas, ada yang setuju ada yang percaya diri menyatakan tidak termasuk ormasi anarkis tetapi ada juga yang melakukan perlawanan langsung. Front Pembela Islam (FPI) misalnya mereka terang-terangan mengecam rencana ini. Bahkan FPI mengancam akan menggulingkan presiden RI yang saat ini di nahkodai oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Beranjak dari sini, penulis mencoba menelaah sejauh mana tingkat keberhasilan upaya pelengseran ini andai pemerintah memang jadi membubarkan ormas yang dinilai anarkis. Tentu penilaian penulis tidak akan ditinjau dari kacamata hukum ketatanegaraan kita karena memang bukan kaplingnya penulis. Namun, penulis berusaha melakukan analisis  upaya ini berdasarkan realita ditengah-tengah masyarakat setidaknya dalam kurun waktu 13 tahun ini.

Senin, 14 Februari 2011

HOSNI MOBARAK SUSUL PAK HARTO


Oleh Samsul Pasaribu*
Hosni Mobarak dan Alm. Soeharto
22 Mei tahun 1998, tepatnya sehari setelah mantan Presiden RI ke-2 Almarhum Soeharto mundur dari jabatannya pasca berkuasa 32 tahun seorang guru PPKN disalah satu SMA bertanya pada penulis, apa yang anda rasakan ketika orangtua anda diminta turun oleh jutaan rakyat negeri ini dan ketika itu terpenuhi jutaan kepala bersujud syukur dan berurai air mata menyambut kemenangan yang mengatasnamakan rakyat Indonesia?. Jujur saat itu penulis tak bisa menjawabnya.
Kini setelah 13 tahun berlalu pemandangan yang sama kembali menghiasi layar kaca televisi kita. Pemandangan itu tak ada beda kecuali pada tempat, orang dan waktunya. Ya, di Mesir oleh rakyat Mesir dan dimulai sejak 25 Januari 2011. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Revolusi Mesir itu akhirnya “memaksa” sang presiden mundur setelah berkuasa 30 tahun lamanya. Bila kita mencermati detik demi detik gejolak Mesir, maka kita akan temukan tak ada beda Revolusi Mesir 2011 dengan Reformasi Indonesia 1998. Keduanya menuntut turunnya sang presiden yang kebetulan keduanya juga sama-sama mantan tentara dan keduanya juga sempat mengatakan menolak untuk mundur. Hal yang sama lainnya walaupun mungkin tidak begitu berhubungan, keduanya juga sama-sama sedang menyiapkan anaknya untuk menggantikan dirinya setelah tidak berkuasa lagi.

Selasa, 08 Februari 2011

Wacana Perubahan Slogan Sibolga dinilai tidak argumentatif


Minggu, 06 Februari 2011
Sibolga-Metro
Adanya wacana perubahan slogan (bukan motto seperti yang disebutkan para tokoh) kota Sibolga merupakan sesuatu yang salah kaprah. Karena antara kata slogan dengan motto merupakan dua kata yang punya makna yang berbeda. Hal ini disampaikan ketua umum PB Germasi Samsul Pasaribu didampingi kepala Departemen Seni dan Kebudayaan Monika Elfi Sitompul kepada Metro Jumat/04/2011. Wacana yang digulirkan oleh sebahagian kecil tokoh Sibolga ini telah dibahas secara mendalam oleh Germasi melalui media jejaring sosial facebook sejak pertama sekali digulirkan hingga sampai pada satu kesimpulan Seluruh mahasiswa asal Sibolga menyesalkan wacana ini dan dianggap hanya cari sensasi.
Menurut Samsul, para tokoh yang mencoba mewacanakan ini terjebak oleh kata moto/motto dan slogan. bila ditelaah dalam kamus besar bahasa Indonesia, kalimat “Sibolga Negeri Berbilang Kaum atau Siboga Nagari Badusanak Saiyo Sakato” tidak masuk dalam kategori motto. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) dengan jelas diterangkan bahwa moto (motto) adalah frasa/kata yang digunakan sebagai semboyan, pedoman atau prinsip. Motto juga biasanya terdiri dari 2 sampai dengan 3 kata misalnya “berani karena benar” atau “yakin usaha sampai”. Maka jika para tokoh mewacanakan pergantian motto Sibolga saat ini maka salah besar bila yang diganti adalah kalimat “Sibolga negeri berbilang kaum” karena sesuai dengan defenisi moto/motto tadi kalimat ini tidak masuk kategori moto/motto. Sejatinya, jika memang ingin merubah motto Sibolga yang diganti bukan negeri berbilang kaum akan tetapi motto Sibolga saat ini yaitu “Saiyo Sakato”. Motto ini sendiri telah ditetapkan sejak tahun 2002 bersamaan dengan penetapan maskot kota Sibolga berupa 2 ekor ikan aso-aso diatas curano bertuliskan saiyo sakato dalam sayembara yang diselenggarakan pemko Sibolga dan saat itu sayembara dimenangkan oleh saudara Nuzar Carmina.

Jumat, 04 Februari 2011

10 Tahun DPR Tidak Naik Kelas

Oleh : Samsul Pasaribu
Dulu almarhum KH.Abdul Rahman Wahid (mantan presiden RI) pernah dengan tegas berkata DPR seperti taman kanak-kanak. Hal itu beliau sampaikan sudah 10 tahun yang lalu. Andai itu betul, maka seharusnya sekarang DPR minimal sudah duduk dikelas  IX SMA (SD 6 tahun + SMP 3 tahun dan SMA baru satu tahun). Tapi pasca pengusiran dua orang pimpinan KPK RI oleh Komisi III DPR RI, agaknya lembaga terhormat itu belum layak disebut “dewasa” dalam menyikapi persoalan. Mereka masih terlihat bagai sekumpulan anak-anak beranjak dewasa yang bernasib baik dan digaji dengan uang rakyat.
Pertanyaanya adalah salahkah DPR RI menolak Bibit dan Chandra? Tentu, lain lubuk lain ilalang, lain yang ditanya lain pula cara pandang. Umumnya (kecuali komisi III DPR RI) penolakan komisi III DPR ini menuai kekesalan beberapa tokoh nasional bangsa ini mulai dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin yang mengaku prihatin hingga Lembaga ICW yang menilai DPR RI salah kaprah dalam menerjemahkan kasus deponering Bibit dan Chandra.

Jumat, 28 Januari 2011

Tak Bijak Wakada Harus Pejabat Karier

Oleh: Samsul Pasaribu*
Adanya usulan yang mewacanakan pemilukada kedepan hanya memilih kepala daerah saja (walikota atau bupati) dengan alasan untuk tertibnya administrasi dan dinilai paling mengerti seluk beluk pemerintahan merupakan usulan yang sangat dipaksakan. Apa yang ditegaskan oleh ketua KPU Hafiz Anshary bahwa untuk menempati posisi wakil bupati atau wakil wali kota cukup dengan mengangkat sekretaris daerah (sekda) atau kepala dinas dengan ketentuan memenuhi syarat tertentu untuk memperbaiki kinerja pemerintahan daerah selama ini agaknya masih perlu dipertimbangkan.
Jauh sebelum usulan yang dituangkan dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah ini di angkat kepermukaan, realita yang ada adalah bahwa calon kepala daerah banyak menggandeng paket pada pemilukadanya dari pejabat-pejabat karier. Contoh kongkritnya adalah pemilukada Kota Sibolga tahun 2005-2010, mantan walikota Sibolga saat itu mengangkat mantan Sekdanya H.Afifi Lubis sebagai wakil kepala daerah. Begitu juga dengan saat pemilukada Kota Medan, dimana H.Abdillah mengangkat Ramli Lubis yang saat itu menjabat sekda kota

SBY Tidak Keluhkan Gaji

Oleh : Samsul Pasaribu
Rakyat ini agaknya memang tidak pernah belajar dari sejarah yang telah ada. Nasib sebagai komuditas politik dan ironi mudah terpancing issu negatif masih melekat nyaris pada mayoritas penduduk negeri ini. Publikasi yang begitu berlebihan dari beberapa media khususnya media eletronik telah pula mampu menggiring opini masyarakat bahwa telah terjadi pemaksaan interpretasi yang berujung pelarian makna sesungguhnya dari sebuah pemberitaan. Masalah pidato SBY pada rapat dengan para pimpinan TNI misalnya, ketika SBY berusaha memberikan motivasi kepada para perwira bahwa tidak ada alasan lagi untuk tidak bekerja keras mengingat selama kepemimpinan SBY tunjangan prajurit dan perwira serta remunerasi sudah beberapa kali dilakukan. Bila disimak baik-baik gaya bahasa yang digunakan SBY ketika bercerita tentang apa yang disebutkan media sebagai keluhan itu, jauh sekali dari kesan bahwa SBY sedang berkeluh kesah.
Penulis menangkap sebuah pesan moral yang nyata dan cambuk bagi seluruh aparatur negara bahwa sang presiden seolah ingin berkata “saya yang sudah tujuh tahun menjadi presiden tidak pernah naik gaji selalu bekerja keras, bukankah saudara yang sudah beberapa kali naik gaji harus bisa bekerja lebih keras lagi”. Dalam konteks lain presiden SBY juga sedang bicara dengan rakyat negeri ini bahwa sebagai pimpinan nasional beliau selalu mengutamakan kepentingan rakyat yang dipimpinnya dan aparat pemerintahan yang menjadi bawahannya untuk lebih baik, dan lebih bekerja keras serta lebih banyak berbuat untuk bangsa dan negara, hal itu beliau buktikan lebih mengutamakan kenaikan gaji para bawahannya dan melupakan dirinya sendiri. Andai presiden SBY berkata “saya miskin saja tetap bisa hidup” harus dimaknai sebagai sebuah spirit bahwa miskin bukan berarti mati, dan miskin juga bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa.

Sabtu, 22 Januari 2011

Ke-Diktator-an Seorang Guru

-->
Sebuah tulisan besar tertera di harian Metro Tapanuli. Kata tulisan itu “Gara-gara status di FB siswi SMP dipaksa pindah”. Setelah penulis baca lebih detail lagi asal muasal judul diatas, rupanya hanya karena tulisan sebuah status dari siswinya yang berbunyi “bosan kali aku dengar ibu ini ceramah”. Setelah mencoba memahami yang terjadi malah kerutan dikening ini yang mengandung tanda tanya besar “apa salahnya dengan status seperti itu?”.

Oleh : Samsul Pasaribu*
Teknologi memang punya pengaruh pesat dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Apalagi semakin marak dan mudahnya setiap pelajar mengakses informasi terbaru yang mungkin baru terjadi beberapa detik yang lalu. Hal ini dikarenakan dewasa ini dunia maya (baca: internet) ada di kantong masing-masing orang (handphone). Perubahan zaman seperti ini tentu tidak dapat dibendung. Yang dilakukan adalah melakukan sharing and filterisasi guna meminimalisir dampak destruktif dari setiap perubahan zaman.
Lantas apa hubungan teknologi, status, profesi guru dan pemberhentian setiap siswa? Untuk contoh kasus diatas tentu punya hubungan yang erat sekali. Namun penulis perlu menggaris bawahi bahwa dalam tulisan ini pembaca tidak akan menemukan keterhubungan itu. Yang ada hanyalah pola pikir masih pantaskah seorang guru di gugu dan ditiru. Jika berkaca dari fenomena diatas. Apa yang dilakukan disalah satu SMP di Sumut ini jelas telah mencederai dunia pendidikan bangsa ini. Guru yang selayaknya menjadi tauladan dan panutan justru berpola sedemikian rupa layaknya penguasa yang diktator. Ingat kata diktator penulis jadi ingat Hitler yang membatai siapa saja yang berseberangan dengan pola pikirnya dan menggulingkan setiap orang yang berbeda pendapat dengannya.

Minggu, 16 Januari 2011

Andai Aku Sri Sultan

Cetak E-mail
Selasa, 14 Desember 2010

Gonjang ganjing masa depan Daerah Istimewa (DI) Jogjakarta, kini diujung tanduk. Soalnya, belakangan ini media sibuk membicarakan keistimewaan propinsi yang pernah menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia ini. Berbagai pihak pun baik pemerintah maupun lembaga survei lainnya mengklaim punya data yang akurat perihal keingingan masyarakat Jogja sendiri menyikapi wacana istimewanya Jogjakarta
Oleh: Samsul Pasaribu 

Versi pemerintah mengatakan lebih dari 75 persen rakyat Jogjakarta ingin pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Gubernur dilaksanakan, sedangkan salah satu TV swasta nasional mengatakan ada 89 persen yang mengatakan Sri Sultan otomatis menjadi Gubernur DIY.
Ironisnya lagi, pemerintah agaknya berjuang sendiri karena fakta dilapangan menunjukkan hampir tidak ada seorang pun yang setuju bila Yogyakarta tidak lagi istimewah. Padahal, sebenarnya banyak tokoh yang ingin bersuara seperti suara pemerintah tapi mungkin karena tidak aktual jika beda sendiri akhirnya mereka hilang tanpa tertangkap oleh media.
Topik andai aku Sri Sultan Hamengkubuwono X sengaja penulis angkat dengan memandang bahwa Indonesia bukan hanya Jogjakarta dan jika melihat latar belakang sejarah, hampir seluruh wilayah nusantara dulunya dibawah pemerintahan raja-raja daerah. Penulis memang awam mengenai sejarah Jogjakarta, namun apa yang terjadi di Jogjakarta dulunya sebenarnya juga terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Tapi mengapa kasus Jogjakarta terkesan lebih dari segalanya?

TERIMAKASIH FIRMAN UTINA

Oleh : Samsul Pasaribu*
Firman Utina, dkk Timnas
Pluit panjang babak kedua partai final piala AFF 2010 telah ditiup. Sang Garuda pun akhirnya mampu mengkandaskan harimau Malaya dengan skor tipis 2-1. Indonesia akhirnya menang, namun gagal sebagai juara piala AFF 2010. Dan inilah kali ke empat tim merah putih kita gagal meraih gelar juara AFF yang di helat satu kali dalam dua tahun ini. Di stadion kebanggaan bangsa ini,Gelora Bung Karno (GBK) Indonesia harus merelakan Malaysia merayakan kemenangannya.
Kini, pesta telah usai, sang juara pun telah berpesta. Beberapa hari kedepan media mungkin masih akan bercerita tentang bola. Sebahagian akan mengapresiasi kinerja timnas dan sebahagian lagi melakukan kritikan pedas akan kinerja timnas yang ujung-ujungnya akan bermuara kepada kinerja PSSI dibawah kepemimpinan Nurdin Halid.

SANG PRESIDEN “TIGA” PERIODE

Oleh : Samsul Pasaribu
Topik diatas sebenarnya bukanlah sesuatu yang luar biasa, karena di era demokrasi dewasa ini kebebasan berpendapat sangat dijamin oleh undang-undang kita. Jika jaminan itu ada, lantas salahkah bila setiap warga negara berhak mengemukakan pendapatnya di depan umum? Sebagai insan pancasilais tentu kita sepakat menjawab tentu tidak salah.
Beberapa hari yang lalu, Bapak Ruhut sitompol anggota DPR/MPR RI dari fraksi partai demokrat secara pribadi dan menurut pengakuan beliau terlahir dari lubuk hati yang paling dalam mengusulkan agar jabatan seorang presiden republik Indonesia diperpanjang menjadi maksimal tiga periode. Usul “raja miyak” ini pun spontanitas menjadi headline new dibeberapa media cetak dan eletronik.  Banyak yang mendukung namun lebih banyak lagi yang menolak dengan segala argumentasi.  Seorang Ruhut tentu sangat memahami perbedaan pendapat yang bergulir perihal wacana jabatan presiden yang beliau sulut. Maka sebagai seorang yang mengerti hukum dan demokrasi perbedaan pendapat itu pun ditanggapi dengan senyuman. Mungkin Ruhut berpikir, namanya juga era kebebasan berpendapat.
Sebelum kita berbicara tentang ketepatan usulan Ruhut siraja miyak ini, baiklah untuk sesaat kita mendengar beberapa tanggapan lawan-lawan politik beliau perihal wacana masa jabatan ini. Kita mulai dari Bapak Akbar Faisal dulu ya. Seteru beliau di pansus century beberapa bulan yang lalu. Disebuah dialog yang disiarkan live oleh TV one Jakarta, Akbar Faisal

Jumat, 14 Januari 2011

Subsidi, Kaya Versus Miskin?

Oleh : Samsul Pasaribu*
Jika tidak ada aksi people power hingga akhir Desember 2010, agaknya upaya pemerintah mencabut subsidi BBM per Januari 2011 secara bertahap akan segera terealisasi. DPR pun telah memberi sinyal positif  atas kebijakan ini dengan pengecualian fraksi-fraksi yang hingga saat ini setia menyandang status “oposisi”.

Pertanyaan besarnya adalah benarkah penghapusan subsidi BBM ini akan bermanfaat bagi rakyat? Tentu lain yang ditanya maka akan lain pula jawabannya. Namun. Sejatinya siapa pun orangnya akan keberatan bilamana BBM yang sekarang ini harganya hanya 4500/ liter (solar) menjadi kisaran 9000-10000 bila subsidi telah dicabut. Lalu menguntungkankah ini? Jika ya, siapa yang diuntungkan? Rakyat? Pengusaha? Orang kaya? Atau mungkin pemerintah?

Ladang Korupsi bernama "BOS"


Oleh : Samsul Pasaribu*
Apakah pembaca sudah tahu berapa biaya yang digelontorkan oleh pemerintah pusat untuk pembiayaan bantuan operasional sekolah? Tepat sekali, tidak lebih dari Rp 16,265 triliun untuk 36 juta lebih siswa seluruh Indonesia. Angka yang fantastik bukan? Disatu sisi kita tentu mengapresiasi kebijakan ini karena BOS menunjukkan kepedulian pemerintah akan masa depan pendidikan kita. Namun, disisi lain ada kekhawatiran akan banyak oknum memanfaatkan ladang BOS ini untuk kepentingan pribadi.
Bayangkan saja, bila kita asumsikan setiap sekolah memiliki siswa sebanyak 500 siswa, itu artinya setiap sekolah akan mendapatkan biaya pendidikan BOS sebesar Rp 198,5 juta untuk mereka yang di kabupaten dan Rp 200 juta untuk mereka yang kota. Angka ini bagi pendidikan ditingkat dasar (SD) sedangkan untuk yang SMP setiap sekolah akan memperoleh bantuan BOS sebesar Rp 285 juta untuk yang di kabupaten dan Rp 287,5 juta untuk yang diperkotaan. Angka ini tentu hemat pemerintah cukup untuk membantu meringankan beban pendidikan warganya. Namun akan sangat kurang sekali untuk memenuhi ekspektasi seorang oknum.

Walikota, Pekerjaan Atau Pengabdian?


Oleh: Samsul Pasaribu*
Sebelumnya, secara khusus tulisan ini penulis tujukan untuk walikota Sibolga yang saat ini dijabat oleh Drs. Syarfi Hutauruk yang berpasangan dengan Marudut Situmorang, AP, MSP. Sesuai dengan judul diatas, agaknya kita mungkin sudah bisa menebak kemana arah tulisan ini. Ya, jabatan sebagai kepala daerah (walikota-red), pekerjaan ataukah pengabdian?

Dua kata ini sebenarnya punya hubungan timbal balik. Dalam kamus besar bahasa Indonesia diterangkan bahwa kata pekerjaan mengandung arti barang apa yang diperbuat, dilakukan, atau perbuatan lebih kongkritnya lagi pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah dan dijadikan pokok penghidupan. Sedangkan pengabdian masih dalam kamus yang sama adalah penghambaan, berbakti, berjanji benar-benar dengan sesungguh hati. Lalu, berdasarkan realita yang ada dan setelah berjalan lebih dari seratus hari apakah seorang (baca: bapak-red) Syarfi Hutauruk yang kebetulan sebagai walikota Sibolga telah melakukan pengabdian atau melakukan pekerjaan?