Jumat, 28 Januari 2011

Tak Bijak Wakada Harus Pejabat Karier

Oleh: Samsul Pasaribu*
Adanya usulan yang mewacanakan pemilukada kedepan hanya memilih kepala daerah saja (walikota atau bupati) dengan alasan untuk tertibnya administrasi dan dinilai paling mengerti seluk beluk pemerintahan merupakan usulan yang sangat dipaksakan. Apa yang ditegaskan oleh ketua KPU Hafiz Anshary bahwa untuk menempati posisi wakil bupati atau wakil wali kota cukup dengan mengangkat sekretaris daerah (sekda) atau kepala dinas dengan ketentuan memenuhi syarat tertentu untuk memperbaiki kinerja pemerintahan daerah selama ini agaknya masih perlu dipertimbangkan.
Jauh sebelum usulan yang dituangkan dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah ini di angkat kepermukaan, realita yang ada adalah bahwa calon kepala daerah banyak menggandeng paket pada pemilukadanya dari pejabat-pejabat karier. Contoh kongkritnya adalah pemilukada Kota Sibolga tahun 2005-2010, mantan walikota Sibolga saat itu mengangkat mantan Sekdanya H.Afifi Lubis sebagai wakil kepala daerah. Begitu juga dengan saat pemilukada Kota Medan, dimana H.Abdillah mengangkat Ramli Lubis yang saat itu menjabat sekda kota

SBY Tidak Keluhkan Gaji

Oleh : Samsul Pasaribu
Rakyat ini agaknya memang tidak pernah belajar dari sejarah yang telah ada. Nasib sebagai komuditas politik dan ironi mudah terpancing issu negatif masih melekat nyaris pada mayoritas penduduk negeri ini. Publikasi yang begitu berlebihan dari beberapa media khususnya media eletronik telah pula mampu menggiring opini masyarakat bahwa telah terjadi pemaksaan interpretasi yang berujung pelarian makna sesungguhnya dari sebuah pemberitaan. Masalah pidato SBY pada rapat dengan para pimpinan TNI misalnya, ketika SBY berusaha memberikan motivasi kepada para perwira bahwa tidak ada alasan lagi untuk tidak bekerja keras mengingat selama kepemimpinan SBY tunjangan prajurit dan perwira serta remunerasi sudah beberapa kali dilakukan. Bila disimak baik-baik gaya bahasa yang digunakan SBY ketika bercerita tentang apa yang disebutkan media sebagai keluhan itu, jauh sekali dari kesan bahwa SBY sedang berkeluh kesah.
Penulis menangkap sebuah pesan moral yang nyata dan cambuk bagi seluruh aparatur negara bahwa sang presiden seolah ingin berkata “saya yang sudah tujuh tahun menjadi presiden tidak pernah naik gaji selalu bekerja keras, bukankah saudara yang sudah beberapa kali naik gaji harus bisa bekerja lebih keras lagi”. Dalam konteks lain presiden SBY juga sedang bicara dengan rakyat negeri ini bahwa sebagai pimpinan nasional beliau selalu mengutamakan kepentingan rakyat yang dipimpinnya dan aparat pemerintahan yang menjadi bawahannya untuk lebih baik, dan lebih bekerja keras serta lebih banyak berbuat untuk bangsa dan negara, hal itu beliau buktikan lebih mengutamakan kenaikan gaji para bawahannya dan melupakan dirinya sendiri. Andai presiden SBY berkata “saya miskin saja tetap bisa hidup” harus dimaknai sebagai sebuah spirit bahwa miskin bukan berarti mati, dan miskin juga bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa.

Sabtu, 22 Januari 2011

Ke-Diktator-an Seorang Guru

-->
Sebuah tulisan besar tertera di harian Metro Tapanuli. Kata tulisan itu “Gara-gara status di FB siswi SMP dipaksa pindah”. Setelah penulis baca lebih detail lagi asal muasal judul diatas, rupanya hanya karena tulisan sebuah status dari siswinya yang berbunyi “bosan kali aku dengar ibu ini ceramah”. Setelah mencoba memahami yang terjadi malah kerutan dikening ini yang mengandung tanda tanya besar “apa salahnya dengan status seperti itu?”.

Oleh : Samsul Pasaribu*
Teknologi memang punya pengaruh pesat dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Apalagi semakin marak dan mudahnya setiap pelajar mengakses informasi terbaru yang mungkin baru terjadi beberapa detik yang lalu. Hal ini dikarenakan dewasa ini dunia maya (baca: internet) ada di kantong masing-masing orang (handphone). Perubahan zaman seperti ini tentu tidak dapat dibendung. Yang dilakukan adalah melakukan sharing and filterisasi guna meminimalisir dampak destruktif dari setiap perubahan zaman.
Lantas apa hubungan teknologi, status, profesi guru dan pemberhentian setiap siswa? Untuk contoh kasus diatas tentu punya hubungan yang erat sekali. Namun penulis perlu menggaris bawahi bahwa dalam tulisan ini pembaca tidak akan menemukan keterhubungan itu. Yang ada hanyalah pola pikir masih pantaskah seorang guru di gugu dan ditiru. Jika berkaca dari fenomena diatas. Apa yang dilakukan disalah satu SMP di Sumut ini jelas telah mencederai dunia pendidikan bangsa ini. Guru yang selayaknya menjadi tauladan dan panutan justru berpola sedemikian rupa layaknya penguasa yang diktator. Ingat kata diktator penulis jadi ingat Hitler yang membatai siapa saja yang berseberangan dengan pola pikirnya dan menggulingkan setiap orang yang berbeda pendapat dengannya.

Minggu, 16 Januari 2011

Andai Aku Sri Sultan

Cetak E-mail
Selasa, 14 Desember 2010

Gonjang ganjing masa depan Daerah Istimewa (DI) Jogjakarta, kini diujung tanduk. Soalnya, belakangan ini media sibuk membicarakan keistimewaan propinsi yang pernah menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia ini. Berbagai pihak pun baik pemerintah maupun lembaga survei lainnya mengklaim punya data yang akurat perihal keingingan masyarakat Jogja sendiri menyikapi wacana istimewanya Jogjakarta
Oleh: Samsul Pasaribu 

Versi pemerintah mengatakan lebih dari 75 persen rakyat Jogjakarta ingin pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Gubernur dilaksanakan, sedangkan salah satu TV swasta nasional mengatakan ada 89 persen yang mengatakan Sri Sultan otomatis menjadi Gubernur DIY.
Ironisnya lagi, pemerintah agaknya berjuang sendiri karena fakta dilapangan menunjukkan hampir tidak ada seorang pun yang setuju bila Yogyakarta tidak lagi istimewah. Padahal, sebenarnya banyak tokoh yang ingin bersuara seperti suara pemerintah tapi mungkin karena tidak aktual jika beda sendiri akhirnya mereka hilang tanpa tertangkap oleh media.
Topik andai aku Sri Sultan Hamengkubuwono X sengaja penulis angkat dengan memandang bahwa Indonesia bukan hanya Jogjakarta dan jika melihat latar belakang sejarah, hampir seluruh wilayah nusantara dulunya dibawah pemerintahan raja-raja daerah. Penulis memang awam mengenai sejarah Jogjakarta, namun apa yang terjadi di Jogjakarta dulunya sebenarnya juga terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Tapi mengapa kasus Jogjakarta terkesan lebih dari segalanya?

TERIMAKASIH FIRMAN UTINA

Oleh : Samsul Pasaribu*
Firman Utina, dkk Timnas
Pluit panjang babak kedua partai final piala AFF 2010 telah ditiup. Sang Garuda pun akhirnya mampu mengkandaskan harimau Malaya dengan skor tipis 2-1. Indonesia akhirnya menang, namun gagal sebagai juara piala AFF 2010. Dan inilah kali ke empat tim merah putih kita gagal meraih gelar juara AFF yang di helat satu kali dalam dua tahun ini. Di stadion kebanggaan bangsa ini,Gelora Bung Karno (GBK) Indonesia harus merelakan Malaysia merayakan kemenangannya.
Kini, pesta telah usai, sang juara pun telah berpesta. Beberapa hari kedepan media mungkin masih akan bercerita tentang bola. Sebahagian akan mengapresiasi kinerja timnas dan sebahagian lagi melakukan kritikan pedas akan kinerja timnas yang ujung-ujungnya akan bermuara kepada kinerja PSSI dibawah kepemimpinan Nurdin Halid.

SANG PRESIDEN “TIGA” PERIODE

Oleh : Samsul Pasaribu
Topik diatas sebenarnya bukanlah sesuatu yang luar biasa, karena di era demokrasi dewasa ini kebebasan berpendapat sangat dijamin oleh undang-undang kita. Jika jaminan itu ada, lantas salahkah bila setiap warga negara berhak mengemukakan pendapatnya di depan umum? Sebagai insan pancasilais tentu kita sepakat menjawab tentu tidak salah.
Beberapa hari yang lalu, Bapak Ruhut sitompol anggota DPR/MPR RI dari fraksi partai demokrat secara pribadi dan menurut pengakuan beliau terlahir dari lubuk hati yang paling dalam mengusulkan agar jabatan seorang presiden republik Indonesia diperpanjang menjadi maksimal tiga periode. Usul “raja miyak” ini pun spontanitas menjadi headline new dibeberapa media cetak dan eletronik.  Banyak yang mendukung namun lebih banyak lagi yang menolak dengan segala argumentasi.  Seorang Ruhut tentu sangat memahami perbedaan pendapat yang bergulir perihal wacana jabatan presiden yang beliau sulut. Maka sebagai seorang yang mengerti hukum dan demokrasi perbedaan pendapat itu pun ditanggapi dengan senyuman. Mungkin Ruhut berpikir, namanya juga era kebebasan berpendapat.
Sebelum kita berbicara tentang ketepatan usulan Ruhut siraja miyak ini, baiklah untuk sesaat kita mendengar beberapa tanggapan lawan-lawan politik beliau perihal wacana masa jabatan ini. Kita mulai dari Bapak Akbar Faisal dulu ya. Seteru beliau di pansus century beberapa bulan yang lalu. Disebuah dialog yang disiarkan live oleh TV one Jakarta, Akbar Faisal

Jumat, 14 Januari 2011

Subsidi, Kaya Versus Miskin?

Oleh : Samsul Pasaribu*
Jika tidak ada aksi people power hingga akhir Desember 2010, agaknya upaya pemerintah mencabut subsidi BBM per Januari 2011 secara bertahap akan segera terealisasi. DPR pun telah memberi sinyal positif  atas kebijakan ini dengan pengecualian fraksi-fraksi yang hingga saat ini setia menyandang status “oposisi”.

Pertanyaan besarnya adalah benarkah penghapusan subsidi BBM ini akan bermanfaat bagi rakyat? Tentu lain yang ditanya maka akan lain pula jawabannya. Namun. Sejatinya siapa pun orangnya akan keberatan bilamana BBM yang sekarang ini harganya hanya 4500/ liter (solar) menjadi kisaran 9000-10000 bila subsidi telah dicabut. Lalu menguntungkankah ini? Jika ya, siapa yang diuntungkan? Rakyat? Pengusaha? Orang kaya? Atau mungkin pemerintah?

Ladang Korupsi bernama "BOS"


Oleh : Samsul Pasaribu*
Apakah pembaca sudah tahu berapa biaya yang digelontorkan oleh pemerintah pusat untuk pembiayaan bantuan operasional sekolah? Tepat sekali, tidak lebih dari Rp 16,265 triliun untuk 36 juta lebih siswa seluruh Indonesia. Angka yang fantastik bukan? Disatu sisi kita tentu mengapresiasi kebijakan ini karena BOS menunjukkan kepedulian pemerintah akan masa depan pendidikan kita. Namun, disisi lain ada kekhawatiran akan banyak oknum memanfaatkan ladang BOS ini untuk kepentingan pribadi.
Bayangkan saja, bila kita asumsikan setiap sekolah memiliki siswa sebanyak 500 siswa, itu artinya setiap sekolah akan mendapatkan biaya pendidikan BOS sebesar Rp 198,5 juta untuk mereka yang di kabupaten dan Rp 200 juta untuk mereka yang kota. Angka ini bagi pendidikan ditingkat dasar (SD) sedangkan untuk yang SMP setiap sekolah akan memperoleh bantuan BOS sebesar Rp 285 juta untuk yang di kabupaten dan Rp 287,5 juta untuk yang diperkotaan. Angka ini tentu hemat pemerintah cukup untuk membantu meringankan beban pendidikan warganya. Namun akan sangat kurang sekali untuk memenuhi ekspektasi seorang oknum.

Walikota, Pekerjaan Atau Pengabdian?


Oleh: Samsul Pasaribu*
Sebelumnya, secara khusus tulisan ini penulis tujukan untuk walikota Sibolga yang saat ini dijabat oleh Drs. Syarfi Hutauruk yang berpasangan dengan Marudut Situmorang, AP, MSP. Sesuai dengan judul diatas, agaknya kita mungkin sudah bisa menebak kemana arah tulisan ini. Ya, jabatan sebagai kepala daerah (walikota-red), pekerjaan ataukah pengabdian?

Dua kata ini sebenarnya punya hubungan timbal balik. Dalam kamus besar bahasa Indonesia diterangkan bahwa kata pekerjaan mengandung arti barang apa yang diperbuat, dilakukan, atau perbuatan lebih kongkritnya lagi pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah dan dijadikan pokok penghidupan. Sedangkan pengabdian masih dalam kamus yang sama adalah penghambaan, berbakti, berjanji benar-benar dengan sesungguh hati. Lalu, berdasarkan realita yang ada dan setelah berjalan lebih dari seratus hari apakah seorang (baca: bapak-red) Syarfi Hutauruk yang kebetulan sebagai walikota Sibolga telah melakukan pengabdian atau melakukan pekerjaan?