Kamis, 29 Desember 2011

6 + 3 + 3 = 1

Oleh : Samsul Pasaribu*

Pembaca bingung dengan judul kita kali ini?, penulis beranggapan itu sah-sah saja. Hanya saja agar pembaca tidak larut dalam kebingungannya, secara singkat akan penulis uraikan maksud dari judul tulisan kali ini. Penjumlahan beberapa angka diatas merupakan simbol yang sengaja penulis buat untuk  wajib belajar (wajar) 12 tahun. Dimana jenjang pendidikan kita terdiri dari Sekolah Dasar 6 tahun, tingkat pertama 3 tahun dan dilanjutkan dengan tingkat menengah atas 3 tahun. Lalu kenapa penjumlahan 6 + 3 + 3 sama dengan 1? Itu karena yang dimaksud dengan 1 dalam penjumlahan ini adalah 1 ijazah.
Kongkritnya, dalam dunia pendidikan kita dewasa ini pendidikan dasar 12 tahun yang rencananya akan dimulai tahun 2012 nanti sebaiknya mengalami “revolusi” sistem walaupun tidak menyeluruh. Sejak republik ini berdiri, pendidikan dasar Indonesia selama 12 tahun akan disuguhi dengan 3 ijazah. Dahulu hal ini tentulah sangat baik dan tepat dilaksanakan. Karena untuk mau sekolah saja hingga tingkat dasar merupakan prestasi tersendiri bagi bangsa ini. Pola pikir bahwa pendidikan itu yang penting tulis baca menjadi hal yang lebih penting dari apa pun saat itu.
Seiring dengan perjalanan waktu di era dekade 70-an, semangat warga negara untuk serius mengenyam dunia pendidikan semakin baik. Hal ini dapat dilihat kebutuhan dunia kerja saat itu telah memberikan batas maksimal pendidikan setiap orang minimal SMP. Itulah sebabnya dari tahun 70-an hingga awal tahun 90-an ijazah SMP masih menjadi barang berharga dibangsa ini. Namun memasuki era millenium tahun 2000, terutama pasca reformasi bergelora, dua ijazah sebelumnya yaitu SD dan SMP menjadi sangat tidak berarti lagi. Paling-paling ijazah itu hanya berguna sebagai tiket masuk untuk melanjut kejenjang pendidikan diatasnya. Sedangkan untuk kebutuhan dunia kerja, saat ini tamatan SMA saja sudah sulit untuk melanjutkan penghidupannya. Ijazah SMA juga belakangan hanya sebagai prasyarat untuk melanjut keperguruan tinggi. Mayoritas saat ini kebutuhan tenaga kerja di Indonesia minimal berlatar belakang Diploma-3 dan strata-1.

Senin, 19 Desember 2011

Mau Naik Pangkat? Berani Piro?

-->
Oleh : Samsul Pasaribu*
Untuk warga Sibolga, sepertinya untuk sementara waktu kita berhenti berdiskusi tentang berbagai polemik yang menimpa bangsa dan negara ini secara nasional. Karena boro-boro mikirin konflik nasional, di kota ini sendiri (baca: Sibolga) masih banyak permasalahan yang terlihat kecil tapi menjadi setitik nila didalam susu sebelanga. Walikota Sibolga pun agaknya perlu berhenti sejenak bercerita program-program muluknya mulai dari KTP gratis, bersalin gratis atau ngurus KK gratis, karena program pro rakyat itu akan dikalikan dengan nol alias tidak berarti sama sekali oleh karena ada segelintir oknum-oknum dipemerintah kota yang tidak sejalan dengan visi dan misi Walikota Sibolga khususnya dalam mewujudkan masayarakat yang cerdas, sehat dan beradab.
Beradab? Mm, sepertinya visi ini menjadi jauh panggang dari api. Bagus, tapi realita masih seperti tumpuk merindukan bulan. Coba kita bayangkan, ditengah-tengah presiden SBY gencar-gencarnya menjadikan hukum adalah panglima dan aparatur negara diharapkan bekerja berdasarkan rel (peraturan-red) yang ada, eh segelintir orang yang oleh kita menyebutnya oknum malah asik menari-nari diatas penderitaan orang lain. Kok menari? Ya iyalah, disaat serba sulit sekarang ini, ketika minyak tanah mulai langka, harga sembako melonjat tajam, bahkan (maaf) buang air kecil saja harus bayar, masih ada aparatur negara ini yang tega melakukan pungutan liar bagi kepentingan pribadinya. Owalah, apa kata dunia.
Anehnya lagi, oknum PNS yang katanya berperan layaknya malaikat pencabut nyawa di pemko Sibolga ini beraninya hanya pada pegawai negeri golongan dan jabatan rendahan yang makannya saja terkadang masih nge-bon diwarung-warung atau ngutang sama tetangga. Itu masih urusan makan, belum biaya ini dan itu. Mikir dong mikir.
Selang satu hari pasca acara dialog mahasiswa dan pemuda dengan walikota Sibolga, seorang guru curhat kepada penulis bahwa ada oknum PNS yang meminta setoran 500 ribu sampai dengan 600 ribu rupiah sebagai uang jasa pengurusan naik pangkat. Saat itu sang guru bertanya benarkah ada aturan seperti itu. Lantas penulis mengkonfirmasi langsung issu ini kepada BKPP kota Sibolga, celakanya itu tidak benar. Tapi pertanyaannya adalah apa ada maling yang mau mengaku? Selidik punya selidik ternyata pungutan itu tidak ada secara tertulis namun ia ada seperti hantu yang siap menggerogoti setiap pegawai negeri sipil. Alhasil, mau naik pangkat? Brani piro?
Tapi itulah anehnya bangsa ini. Sesuatu yang nyata terkadang menjadi hantu dalam kehidupan kita sehari-hari. Kongkritnya, semua pegawai negeri sipil yang pernah berurusan dengan BKPP Kota Sibolga rata-rata pasti tahu betul siapa saja oknum-oknum yang terlibat dengan praktek-praktek pungli ilegal seperti ini. Tapi (mungkin takut dikatakan mencemarkan nama baik) tidak ada satu pun yang berani bersuara lantang dan terbuka menunjuk hidup para oknum yang tidak fair dalam menjalankan amanah negara ini. Tunjuk saja, berikan bukti dan yakinlah mahasiswa, rakyat dan siapa pun pasti akan memberikan dukungan moral yang tak terkira. Atau jangan-jangan rakyat juga sudah ikut-ikutan mengikuti gaya pegawai negeri saat ini? Ketika diajak PNS untuk mendukung pembersihan jajaran birokrasi, rakyat juga bilang “berani piro?” hehehe.

*Penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia