Jumat, 23 November 2012

Samsul Pasaribu “Kakanwil Kemenag Sumut harus copot Kakankemenag Tapteng”

Terkait Pelaksanaan Jambore Madrasah di Barus


Bandung | Kontroversi pelaksanaan Jambore Madrasah di Barus yang dilaksanakan oleh Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kab. Tapanuli Tengah mendapat tanggapan dari aktivis gerakan pramuka Sumatera Utara, Samsul Pasaribu. Mantan ketua Dewan Kerja Cabang Gerakan Pramuka Kwartir Cabang Kota Sibolga periode 2004-2009 ini menyesalkan langkah keliru yang dilakukan oleh Kemenag Tapanuli Tengah.

Menurut Samsul, ketiadaan koordinasi antara Kemenag Tapteng dengan Gerakan Pramuka berakibat fatal kepada rusaknya image pramuka ditengah-tengah masyarakat khususnya di wilayah Tapanuli.

Penggunaan atribut dan simbol pramuka diluar kegiatan kepramukaan jelas bertentangan dengan UU nomor 10 tahun 2012 dan AD dan ART Gerakan Pramuka yang secara konstitusional dilindungi oleh negara. Oleh karena itu Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara harus mencopot Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai konsekuensi moral atas kecerobohan beliau yang tidak peka terhadap aturan main digerakan pramuka.

Senin, 05 November 2012

ETNIS PESISIR, Menunggu Kepunahan Sistemik



Oleh : Samsul Pasaribu*

Secara tidak sengaja, penulis membaca sebuah tulisan yang bercerita sejarah kebudayaan pesisir Sibolga/ Tapteng dari masa-kemasa. Tentu saja, dalam kesempatan ini penulis tidak akan bercerita tentang perjalanan sejarah itu secara detail. Cukuplah Bapanda Syafriwal Marbun yang bercerita sedikit demi sedikit hakekat pesisir itu kepada kita lewat tulisan-tulisannya.  Kebetulan penulis juga termasuk pembaca setia setiap artikel dan opini yang bercerita keberadaan kebudayaan pesisir dari kacama apa pun.

Kali ini, penulis hanya mencoba mengkaji dan menganalisa hakekat etnis pesisi saat ini yang mulai kehilangan jati dirinya. Dalam beberapa tulisan yang pernah penulis baca jelas terdapat beberapa informasi baru yang mungkin tidak semua tahu. Secara garis besar informasi baru itu akan penulis kelompokkan kedalam tiga topik pembahasan. Yang pertama adalah, etnis pesisir yang berikutnya melahirkan satu kebudayaan dan tradisi pesisir secara turun temurun ternyata tidak memiliki marga. Keberadaan mereka persis seperti etnis Melayu yang menyebar ditanah Deli. Kendati sedikit data dan informasi yang penulis dapatkan akan asal-muasal keberadaan mereka, tetapi mayoritas tokoh dan budayawan pesisir bersepakat kalau warga yang menempati daerah Barus, Sorkam, Sibolga hingga ke Sibabangun dulunya tidak bermarga sama sekali.

Kehadiran marga-marga di tanah Pesisir Sibolga/ Tapteng dewasa ini tercipta oleh perkawinan penduduk setempat dengan warga pendatang yang mencoba peruntungan dipesisir pantai  barat Sumatera. Sejarah menceritakan kepada kita bahwa warga pesisir khususnya yang berdomisili di Barus dan Sorkam sangat ramah dan welcome terhadap setiap pendatang yang datang silih berganti. Keramah tamahan itu pulalah yang menjadikan Barus serta Sorkam menjadi tempat yang nyaman untuk disinggahi bahkan untuk beranak pinak. Banyak pendatang yang merantau  akhirnya memutuskan menjadi penduduk setempat. Itulah sebabnya, Sorkam yang kita kenal sekarang sebenarnya dahulunya bernama Rantau Panjang. Karena dihuni oleh orang-orang perantau yang akhirnya tinggal dalam waktu yang sangat panjang.

Selasa, 23 Oktober 2012

FOBIA ALA PENGUASA


Oleh : Samsul Pasaribu*
Anda Fobia terhadap sesuatu? Tidak usah khawatir karena tulisan kali ini tidak bercerita tentang rasa ketakutan pembaca terhadap tikus, nenas, pisang, pintu, lift atau apa pun itu. Kali ini penulis hanya ingin berbagi informasi perihal Fobia yang belakangan ini sering mengidap para penguasa kita. Apa itu? Fobia terhadap kritik.

Sebelum kita berbicara tentang benang merah antara fobia, kritik dan penguasa ada baiknya penulis menjelaskan lebih dahulu apa itu Fobia. Dalam Wikifedia dijelaskan bahwa Fobia (gangguan anxietas fobik) adalah rasa ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena. Fobia bisa dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Bagi sebagian orang, perasaan takut seorang pengidap Fobia sulit dimengerti. Itu sebabnya, pengidap tersebut sering dijadikan bulan bulanan oleh teman sekitarnya.
Ada perbedaan "bahasa" antara pengamat fobia dengan seorang pengidap fobia. Pengamat fobia menggunakan bahasa logika sementara seorang pengidap fobia biasanya menggunakan bahasa rasa. Bagi pengamat, dirasa lucu jika seseorang berbadan besar, takut dengan hewan kecil seperti kecoak atau tikus. Sementara di bayangan mental seorang pengidap fobia subjek tersebut menjadi benda yang sangat besar, berwarna, sangat menjijikkan ataupun menakutkan.

Dalam keadaan normal setiap orang memiliki kemampuan mengendalikan rasa takut. Akan tetapi bila seseorang terpapar terus menerus dengan subjek Fobia, hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya fiksasi. Fiksasi adalah suatu keadaan dimana mental seseorang menjadi terkunci, yang disebabkan oleh ketidak-mampuan orang yang bersangkutan dalam mengendalikan perasaan takutnya. Penyebab lain terjadinya fiksasi dapat pula disebabkan oleh suatu keadaan yang sangat ekstrem seperti trauma bom, terjebak lift, dikritik terus menerus (red) dan sebagainya.

Selasa, 16 Oktober 2012

OPTIMALISASI PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN


Oleh : Samsul Pasaribu*
Samsul Pasaribu
Api.. api..api, begitu teriakan warga setiap kali sijago merah melahap rumah di Sibolga. Kontan saja teriakan itu mengundang ribuan warga untuk turut berpartisipasi memadamkan jagoan merah ini. Seteleh itu? Ya, api padam tapi bersamaan dengan itu belasan rumah pun turut hangus terbakar. Bahkan pernah ratusan rumah habis dilahap api.Kebakaran adalah peristiwa lumrah terjadi didaerah mana pun. Kalau bukan karena human error (kesalahan manusia), maka pasti sistem error (kesalahan sistem).

Kebakaran itu biasa, tetapi menjadi luar biasa apabila jumlah kerugian begitu besar. Karena, dampak dari kerugian bisa diminimalisir. Untuk meminimalisir itu ada beberapa langkah yang harus dilakukan pertama adalah ketersediaan armada damkar yang maksimal. Untuk Sibolga, ditinjau dari letak geografis Sibolga yang relatif kecil dan pemetaan Sibolga yang meniru gaya tata ruang kota di Washington DC, AS maka, setidaknya kota ini harus memiliki 6 unit mobil damkar yang berfungsi dengan baik. Karena kebakaran tidak selalu terjadi siang hari maka untuk maksimalisasi penanggulangan musibah kebakaran pada malam hari Pemko Sibolga perlu melengkapi armada damkarnya dengan 2 unit mobil penerangan yang  berfungsi memberi cahaya yang cukup dilokasi kebakaran.

Kedua, tata ruang wilayah khususnya daerah yang sarat dengan pemukiman penduduk harus mendapat perhatian serius. Lokasi-lokasi yang tingkat kerapatan pemukimannya sangat padat harus bisa ditata ulang sehingga memungkinkan untuk dilalui armada damkar. Tentu, bila kebijakan ini tidak disetujui oleh pihak-pihak yang terkena dampak reposisi pembangunan ini. Disinilah diminta aparat pemerintah bekerja dengan arif dan bijaksana bagaimana caranya agar reposisi pemukiman padat penduduk tidak selalu harus memakai jurus relokasi. Pemko bisa meniru konsep Jokowi yang ingin membangun daerah kumuh Jakarta berbasis apartemen/ rumah susun. Tentu, penyebaran penduduk yang semula menyebar keseluruh penjuru arah mata angin berubah menjadi keatas, dengan demikian akan banyak lahan kosong yang bisa digunakan untuk membuka jalan baru dan pembangunan sarana penunjang lainnya.

Tata ruang wilayah menjadi lebih elegan sebenarnya mutlak dilakukan oleh pemerintah kota Sibolga. Karena, berkaca dari provinsi DKI Jakarta yang kekuatan Damkarnya mencapai ratusan armada ternyata tidak mampu meminimalisir kerugian bencana kebakaran. Kenapa? Karena umumnya lokasi kebakaran di Jakarta adalah daerah yang padat penduduknya  bahkan hanya bisa dilalui oleh sepeda motor. Lalu, bagaimana mungkin armada kebakaran bisa masuk langsung kejantung lokasi kebakaran sementara jalan untuk itu tidak tersedia dengan baik. Oleh karena itu, Perlahan tapi pasti, Pemko harus merekontruksi ulang tata ruang kota Sibolga. Daerah-daerah rawan seperti Kelurahan Aek Parombunan, kelurahan aek habil, kelurahan Pasar Belakang, Kelurahan Aek Muara Pinang, Ketapang, Kelurahan Pancuran Bambu, Kelurahan Pancuran Dewa dan Hutabarangan harus mendapat perhatian khusus pemko Sibolga. Wilayah-wilayah tersebut diatas memiliki titik rawan terhadap musibah kebakaran.

Jumat, 05 Oktober 2012

KOMISI III DPR MENYULUT REVOLUSI


Oleh : Samsul Pasaribu*
JAKARTA| Rencana Komisi III DPR RI melakukan amandemen terhadap Undang-Undang KPK RI khususnya pasal yang mengatur tentang kewenangan KPK meliputi penuntutan dan penyadapan merupakan langkah bunuh diri para wakil rakyat dan dipastikan akan menyulut revolusi. Berdasarkan rekam jejak berbagai peristiwa yang mewarnai tanah air khususnya bersentuhan langsung dengan komisi pemberantasan korupsi hampir tidak ada satu pun upaya-upaya yang melemahkan KPK tidak ditentang oleh rakyat Indonesia.
Belum hilang dari benak kita ribuan mahasiswa dan masyarakat berteriak di depan gerbang senayan terkait kasus cicak buaya yang dianggap sebagai upaya kriminalisasi KPK. Tidak hanya cukup itu saja. Upaya Kementerian komunikasi dan informasi RI yang mencoba menghilangkan wewenang KPK dalam hal penyadapan juga mengundang reaksi ribuan massa mulai dari rakyat kecil, mahasiswa hingga tokoh-tokoh nasional. Terakhir, tindakan komisi III DPR yang menolak pembangunan gedung KPK lagi-lagi melahirkan tindakan spontanitas rakyat Indonesia untuk membangun sendiri gedung baru untuk KPK RI. Rentetan peristiwa ini menjadi bukti nyata kalau KPK RI masih menjadi satu-satunya lembaga negara di republik ini yang dipercayai dan di cintai rakyat.
Kini, seperti tidak mengenal masa lalu, komisi III berencana akan mempreteli kewenangan KPK khususnya kewenangan melakukan penuntutan dan penyadapan yang sebenarnya kewenangan itu menjadi ruhnya KPK dalam melakukan tidak pemberantasan korupsi ditanah air hingga ke akar-akarnya. Memang harus diakui bahwa KPK belum mampu memenuhi ekspektasi rakyat banyak terhadap kasus-kasus korupsi. Namun, hal itu terjadi bukan karena ada udang dibalik batu atau KPK diintervensi oleh pihak lain. Kelambatan penanganan kasus-kasus korupsi lebih kepada faktor bahwa kurang kuatnya KPK itu sendiri.
Coba kita bayangkan. Jumlah penyidik di KPK hanya kisaran 150 orang. Itu pun 20 diantaranya sudah ditarik oleh polri untuk alasan yang sangat dipaksakan. Disamping itu, lembaga  DPR yang selama ini bermuka tembok dan berkulit  badak dan menjadi lembaga yang paling getol menyoroti kinerja KPK justru menjadi lembaga pertama yang mencoba merongrong KPK dengan alasan-alasan normatif.
Wajarlah kiranya, Abraham Samad mengancam akan mengundurkan diri sebagai salah seorang komisioner KPK bila hak dan kewenangan KPK sebagai lembaga super body dipangkas dan dijadikan lembaga biasa saja yang tidak super sama sekali. Toh, ketika KPK punya wewenang super body seperti sekarang ini, berbagai persoalan dan tekanan dari banyak pihak sudah cukup menghambat kinerja KPK dalam memberantas korupsi konon lagi posisi KPK itu sendiri sudah lemah maka dapat dipastikan lambat laun KPK akan kehilangan kekuatannya dan muaranya dengan alasan ini dan itu negara ini bisa menganggap KPK tidak diperlukan lagi alias dibubarkan.
Langkah tidak populer yang didengungkan oleh komisi III DPR RI benar-benar telah melukai hati rakyat Indonesia. Sebagai wakil rakyat sejatinya, mereka mengerti keinginan rakyat banyak. Langkah ini sepertinya sengaja diambil oleh para politisi senayan karena lembaga DPR menjadi lembaga yang begitu disoroti oleh KPK. Tidak hanya itu, kekuatan KPK yang ada saat ini dianggap sebagai ancaman bagi DPR sehingga serasa bekerja dibawah tekanan yang kuat takut tiba-tiba dipanggil oleh KPK RI. Kekhawatiran ini memaksa komisi III DPR untuk memuluskan jalannya untuk bekerja tanpa tekanan apa pun.
Untuk kebaikan bangsa ini kedepan, langkah terbaik yang dilakukan oleh para wakil rakyat adalah melupakan segala upaya-upaya yang ingin melemahkan KPK. Pilihan hanya ada dua. Hentikan upaya mempreteli KPK atau revolusi.

Penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)

Kamis, 27 September 2012

KOMISI III MENYULUT REVOLUSI


Oleh : Samsul Pasaribu*
SUMEDANG| Rencana Komisi III DPR RI melakukan amandemen terhadap Undang-Undang KPK RI khususnya pasal yang mengatur tentang kewenangan KPK meliputi penuntutan dan penyadapan merupakan langkah bunuh diri para wakil rakyat dan dipastikan akan menyulut revolusi. Berdasarkan rekam jejak berbagai peristiwa yang mewarnai tanah air khususnya bersentuhan langsung dengan komisi pemberantasan korupsi hampir tidak ada satu pun upaya-upaya yang melemahkan KPK tidak ditentang oleh rakyat Indonesia.

Belum hilang dari benak kita ribuan mahasiswa dan masyarakat berteriak di depan gerbang senayan terkait kasus cicak buaya yang dianggap sebagai upaya kriminalisasi KPK. Tidak hanya cukup itu saja. Upaya Kementerian komunikasi dan informasi RI yang mencoba menghilangkan wewenang KPK dalam hal penyadapan juga mengundang reaksi ribuan massa mulai dari rakyat kecil, mahasiswa hingga tokoh-tokoh nasional. Terakhir, tindakan komisi III DPR yang menolak pembangunan gedung KPK lagi-lagi melahirkan tindakan spontanitas rakyat Indonesia untuk membangun sendiri gedung baru untuk KPK RI. Rentetan peristiwa ini menjadi bukti nyata kalau KPK RI masih menjadi satu-satunya lembaga negara di republik ini yang dipercayai dan di cintai rakyat.

Kini, seperti tidak mengenal masa lalu, komisi III berencana akan mempreteli kewenangan KPK khususnya kewenangan melakukan penuntutan dan penyadapan yang sebenarnya kewenangan itu menjadi ruhnya KPK dalam melakukan tidak pemberantasan korupsi ditanah air hingga ke akar-akarnya. Memang harus diakui bahwa KPK belum mampu memenuhi ekspektasi rakyat banyak terhadap kasus-kasus korupsi. Namun, hal itu terjadi bukan karena ada udang dibalik batu atau KPK diintervensi oleh pihak lain. Kelambatan penanganan kasus-kasus korupsi lebih kepada faktor bahwa kurang kuatnya KPK itu sendiri.

Coba kita bayangkan. Jumlah penyidik di KPK hanya kisaran 150 orang. Itu pun 20 diantaranya sudah ditarik oleh polri untuk alasan yang sangat dipaksakan. Disamping itu, lembaga  DPR yang selama ini bermuka tembok dan berkulit  badak dan menjadi lembaga yang paling getol menyoroti kinerja KPK justru menjadi lembaga pertama yang mencoba merongrong KPK dengan alasan-alasan normatif.

Wajarlah kiranya, Abraham Samad mengancam akan mengundurkan diri sebagai salah seorang komisioner KPK bila hak dan kewenangan KPK sebagai lembaga super body dipangkas dan dijadikan lembaga biasa saja yang tidak super sama sekali. Toh, ketika KPK punya wewenang super body seperti sekarang ini, berbagai persoalan dan tekanan dari banyak pihak sudah cukup menghambat kinerja KPK dalam memberantas korupsi konon lagi posisi KPK itu sendiri sudah lemah maka dapat dipastikan lambat laun KPK akan kehilangan kekuatannya dan muaranya dengan alasan ini dan itu negara ini bisa menganggap KPK tidak diperlukan lagi alias dibubarkan.

Langkah tidak populer yang didengungkan oleh komisi III DPR RI benar-benar telah melukai hati rakyat Indonesia. Sebagai wakil rakyat sejatinya, mereka mengerti keinginan rakyat banyak. Langkah ini sepertinya sengaja diambil oleh para politisi senayan karena lembaga DPR menjadi lembaga yang begitu disoroti oleh KPK. Tidak hanya itu, kekuatan KPK yang ada saat ini dianggap sebagai ancaman bagi DPR sehingga serasa bekerja dibawah tekanan yang kuat takut tiba-tiba dipanggil oleh KPK RI. Kekhawatiran ini memaksa komisi III DPR untuk memuluskan jalannya untuk bekerja tanpa tekanan apa pun.
Untuk kebaikan bangsa ini kedepan, langkah terbaik yang dilakukan oleh para wakil rakyat adalah melupakan segala upaya-upaya yang ingin melemahkan KPK. Pilihan hanya ada dua. Hentikan upaya mempreteli KPK atau revolusi.

Penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)

Minggu, 05 Agustus 2012

Renungan Sederhana


SULITNYA UNTUK BERUBAH
Oleh : Samsul Pasaribu*

Berubah, sulitkah? Jawabannya tentu berbeda-beda. Bagi segelintir orang yang merasa sudah “hijrah” dari pola-pola lama ke masa pembaharuan tentu akan berkata berubah itu tidak sulit. Tapi, kalimat itu terucap setelah melalui proses yang panjang. Artinya, untuk berubah tentu bukanlah hal yang mudah. Tentu sebelum kita lanjutkan harus kita garis bawahi dulu bahwa perubahan yang dimaksud dalam topik kita kali ini adalah dalam kacamata konstruktif. Kendati pun pola destruktif juga bagian dari perubahan. Akan tetapi, ke-sejatian dari sebuah perubahan adalah change from the bad to the better.

Apa pun ceritanya, berubah tetaplah membutuhkan proses yang tidak singkat. Yang terpenting dari upaya merubah diri bukanlah pada apa saja yang kita lakukan untuk bisa berubah akan tetapi terletak pada kapan kita mulai berubah. Karena andai memulai proses sebuah perubahan kita terjebak dalam hal-hal konseptual dalam artian memulai keinginan berubah pada hal-hal teoritis maka, secara otomatis kita hanya akan berubah secara teori sedangkan dalam realita yang sesungguhnya kita masih jauh dari kata berubah. Untuk itulah, untuk berubah hanya ada satu cara yaitu “segera berubah dan dimulai dari sekarang”.

Tahun 2010, ketika penulis berkesempatan mengikuti international coverative fishary organization ceminary di Jakarta, dalam satu kesempatan bersama Dr. Yadava dari India beliau menguraikan bahwa untuk mengembalikan perairan sunda kelapa seperti dahulu kala sebelum tercemar dibutuhkan waktu 50 tahun. Yang terpenting dari kurun waktu 50 tahun itu adalah bukan pada apa saja yang kita lakukan selama kurun waktu 50 tahun akan tetapi kapan titik awal 50 tahun itu kita mulai. Ungkapan ini sekali lagi menegaskan kepada kita bahwa pentingnya untuk menentukan kapan kita mulai berubah.

Dalam ajaran agama tertentu juga ditegaskan bahwa Tuhan sebagai dzat yang maha segalanya mampu merubah apa saja. Akan tetapi satu-satunya yang tidak ingin tuhan ikut merubahnya adalah saya, anda dan mereka. Karena untuk kita, tuhan memberi ke khususan dimana kita hanya bisa berubah bila kita sendiri mulai merubahnya. Bukankah firman Tuhan yang berbunyi “tidak akan berubah satu kaum sebelum kaum itu sendiri yang merubahnya” terkandung makna bahwa siapa pun bisa berubah asal ia benar-benar berkeinginan untuk berubah.

Mungkin firman Tuhan ini pulalah yang menginspirasi bapak ilmu pengetahuan dunia, Aristoteles. Dimana beliau mengatakan “satu-satunya yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri”. Oleh karena itu tidak  berlebihan kiranya bila penulis turut menegaskan bahwa Perubahan adalah harga mati.

Benarkah perubahan itu sulit oleh karena apa yang ingin kita rubah merupakan sesuatu yang mungkin sudah menjadi tradisi, atau sudah dilakukan turun temurun dan berkali-kali? Hemat penulis, jawaban ini hanya upaya menjustifikasi penolakan terhadap sebuah perubahan. Karena sesungguhnya perubahan itu sulit dilakukan karena kita belum siap untuk berubah. Artinya, tantangan terbesar untuk  berubah adalah diri kita sendiri. Padahal, untuk mengalahkan diri kita sendiri hanya butuh satu cara yaitu katakan tidak untuk setiap langkah kemunduran.

Tahun 2007 lalu, ketika penulis mengikuti orientasi sisitem pendidikan kampus (Ospek) dimana sistem perpoloncoan masih menjadi tradisi disetiap perguruan tinggi penulis berupaya menolak pola-pola lama sistem ospek yang terkadang jauh dari kesan memanusiakan manusia. Akan tetapi jawaban yang diberikan senior saat itu adalah hal itu sudah menjadi tradisi dan tidak mudah untuk merubah sebuah tradisi. Ketika ungkapan itu penulis tanggapi dengan kalimat bahwa itu mudah dilakukan tinggal satu perintah dari para senior bahwa tahun ini sistem ospek kita rubah pasti semua bisa berubah. Jawaban itu justru memancing emosi senior lainnya. Kisah ini menegaskan kepada kita bahwa kata-kata tradisi lebih cocok disebut sebagai kambing hitam atas penolakan sebuah perubahan. Padahal yang tidak ingin berubah sesungguhnya adalah kita sendiri.

Sama halnya dengan apa yang ditegaskan oleh Bung Karno bahwa “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” bukan “Jangan sekali-kali merubah sejarah”. Artinya sejarah masa lalu hanya sebagai pijakan untuk melaju dimasa yang akan datang. Tentunya untuk melaju itu kita butuh sejarah-serajah baru yang akan  dituliskan oleh generasi selanjutnya. Begitu terus menerus. Nurdin. Z, seorang tokoh politik kawakan di Sibolga pernah mengatakan bahwa setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Setiap orang akan berlomba membuat sejarahnya sendiri.

*Penulis adalah ketua umum Pengurus Besar Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)

Rabu, 18 April 2012

Potret Pendidikan Tanah Air dan Finlandia


Jakarta Mengejutkan. Ternyata negara yang paling oke tata kelola pendidikannya bukanlah Amerika Serikat, Jepang atau Jerman. Akan tetapi, kiblat pendidikan dunia saat ini mengarah ke negara Findlandia. Amerika Serikat sendiri berada jauh dibawah level Finlandia, tepatnya di urutan ke-17. Lalu, dimana daya tariknya sistem pendidikan di Finlandia dengan negara-negara lainnya khususnya Indonesia? Jawabannya adalah di kemandirian siswa dan gurunya. Di Finlandia kemandirian dalam mengikuti proses belajar mengajar itu tidak hanya dinikmati oleh guru-gurunya yang begitu dihormati tetapi juga ditularkan kepada para pelajar melalui berbagai kesempatan-kesempatan penting. Salah satunya dimana setiap pelajar diberi otonomi khusus untuk menentukan jadwal ujiannya untuk mata pelajaran yang menurutnya sudah dia kuasai.

Sistem inilah yang dipertahankan oleh Finlandia hingga akhirnya berhasil mengantarkan negara ini berada pada posisi puncak sebagai negara yang paling berhasil mengelola pendidikan nasionalnya. Fantastiknya, dalam evaluasi belajar, angka ketidak lulusan secara nasional tidak pernah melebihi 2 persen pertahunnya. Finlandia juga tidak mengenal istilah ujian semester apalagi ujian nasional layaknya ditanah air. Evaluasi belajar secara nasional dilakukan tanpa ada intervensi pemerintah sekali pun. Karena setiap sekolah bahkan guru berkuasa penuh untuk menyusun kurikulumnya sendiri.
Jadi jangan pernah berhayal bahwa guru-guru di Finlandia disibukkan untuk mengejar terget-target tertentu karena di negeri ini guru selalu menyesuaikan bahan ajarnya dengan kebutuhan setiap pelajar. Jadi, di Finlandia siapa pun presidennya dan menteri pendidikannya tidak akan berpengaruh signifikan terhadap masa depan pendidikan. Karena fungsi pemerintah dalam memajukan sektor pendidikan adalah dukungan finansial dan legalitas. Mau bagaimana caranya, maka gurulah yang berwewenang atas itu karena guru dipandang sebagai sosok yang paling mengerti mau dimana wajah pendidikan Finlandia dibawa dimasa yang akan datang.
Sistem ini telah berdampak positif kepada pola cara mengajar guru yang tidak terlalu dipusingkan oleh hiruk pikuknya politik nasional negaranya. Keseriusan negara Finlandia menyokong keberhasilan pendidikan nasionalnya dibuktikan dengan diterapkannya kebijakan gratis sekolah 12 tahun. Kerenkan?
Ada hal menarik lainnya. Bila ditanah air setiap tahun selalu saja ada perubahan guru yang masuk silih berganti tidak demikian halnya di Finlandia. Jangankan berganti bahkan setiap kelas akan diasuh oleh 3 orang guru sekaligus. Dua orang guru bertindak sebagai guru mata pelajaran sedangkan satu orang lagi menjadi pengawas dan pembimbing setiap siswa dalam memahami setiap bidang studi.
Jadi, bila di Indonesia belajar 12 tahun berarti mengenal belasan bahkan puluhan guru maka di Finlandia selama 12 tahun setiap kelas hanya dibimbing oleh 3 orang guru. Gado-gado dong? Ops, tunggu dulu. Guru-guru di Finlandia bukanlah guru asal-asalan yang dipungut ditengah jalan atau otomatis jadi guru karena dekat dengan penguasa. Guru-guru Finlandia adalah lulusan terbaik setiap perguruan tinggi dan mereka harus masuk dalam kelompok 10 besar lulusan terbaik. Jika tidak, jangan pernah bermimpi jadi guru di negeri ini. Itulah sebabnya guru-guru di Finlandia betul-betul berdedikasi tinggi. Gajinya besar dong? Tidak. Guru-guru Finlandia justru digaji dengan gaji secukupnya bahkan bisa dikatakan kurang memadai.

Jumat, 23 Maret 2012

SIBOLGA DI USIA 312 TAHUN


Oleh : Samsul Pasaribu*
Samsul Pasaribu
Kapan hari jadi Sibolga? Katanya, diperingati tanggal 2 April setiap tahunnya. Lalu tahun ini berapa usia Sibolga? (sekali lagi) katanya 312 tahun. Karena Raja Luka Hutagalung yang bergelar tuanku Dorong pada tahun 1700 membuka daerah rawa di Sibolga menjadi pemukiman yang belakangan kita sebut dengan Sibolga. Dilihat dari usianya, bila pembaca bukan orang Sibolga, tentu bisa membayangkan sepesat apa pembangunannya dan semodern apa kotanya. Tapi, tunggu dulu. Sebelum pembaca mengkhayal terlalu tinggi, penulis akan sampaikan potret Sibolga secara singkat agar tidak kecewa dibelakang hari.

Sibolga, adalah salah satu daerah tingkat dua terkecil di Sibolga. Dalam satu kesempatan ketika penulis presentasi tentang Sibolga di Bandung Jawa Barat, salah satu peserta yang kebetulan guru besar di Ikopin Bandung Prof.Dr. Dedi Nurpadi mengatakan bahwa Kota Sibolga adalah kota yang terlalu percaya diri. Waktu itu penulis bertanya kenapa begitu? Beliau menjawab karena dengan luas wilayah daratan yang hanya ± 5000 Ha, dan jumlah penduduk 96.400 jiwa Sibolga berani mensejajarkan diri dengan daerah tingkat dua di Indonesia. Padahal, jumlah penduduk Sibolga tidak lebih banyak dari jumlah penduduk di Kecamatan Pasar Rebo, Kotamadya Jakarta Timur. Atau mungkin Luas Sibolga itu sendiri sama besarnya dengan luas Universitas Sumatara Utara-Medan.

Entah iya atau tidak yang jelas itulah potret Sibolga dimata orang lain yang mengenal Sibolga dari letak geografisnya. Lalu, bagaimana Sibolga di usianya yang ke-312 ini? Wah, kalau itu sejak pembaca menelaah tulisan ini. Penulis berani memberi nilai 5.5 untuk kota Sibolga. Bayangkan saja. Kota ini untuk urusan banjir berusaha menyaingi DKI Jakarta. Hujan sebentar saja, jalan-jalan khususnya di pusat kota akan tergenang oleh air. Secara umum, sarana transportasi khususnya jalan raya jauh dari harapan banyak pihak. Bila dikota lain, jalan-jalan protokol dan jalan-jalan utama jarang ditemui lubang yang mengancam para pengguna jalan raya. Tapi di Sibolga, lubangnya malah berjalan-jalan. Hari ini kita lihat di Jalan R.Suprapto, besok dan lusa lubangnya sudah pindah ke Jalan S.Parman atau Jln. Putri Runduk. Lucunya lagi, ada jalan yang bernama Jln. Mojopahit bernasib malang layaknya pohon maja yang pahit. Jalan ini, sejak dibangun dua puluh tahun lalu hingga saat ini tidak pernah maksimal direhabilitasi.

Senin, 05 Maret 2012

KORUPSI DAN TRADISI UANG TERIMAKASIH

Oleh : Samsul Pasaribu*
Setiap usaha mengapresiasi kinerja orang lain adalah hal yang layak dilakukan oleh siapa pun. Wajarkan, bila seseorang telah membantu kita dalam memperoleh sesuatu sebagai tanda terimakasih kita pun memberikan sesuatu dalam banyak bentuk. Bisa dengan uang, traktiran atau mungkin sekedar ucapan terimakasih saja. Sekilas memang seperti tidak ada masalah. Akan tetapi bila ditinjau lebih jauh, tradisi dan budaya ini agaknya menjadi salah satu cikal bakal maraknya praktek suap dan korupsi yang belakangan ini marak terjadi.
Pertanyaanya, apakah uang terimakasih salah? Tentu saja tidak. Hanya saja, ia menjadi kurang tepat bilamana tanda terimakasih itu diberikan berhubungan langsung dengan setiap urusan yang bersentuhan dengan kepentingan orang banyak. Pengurusan KTP dan KK misalnya yang oleh beberapa daerah digratiskan. Nyatanya dalam pelaksanaanya terlihat seperti tidak gratis. Banyak masyarakat yang sepertinya “terwajibkan” memberikan uang seikhlasnya sebagai wujud terimakasih telah dibantu mengurus KTP atau KK. Harus dicatat kata “terwajibkan” sengaja penulis gunakan karena dalam kenyataanya, secara umum sebenarnya masyarakat tidak ingin memberikan apa pun setiap mengurus sesuatu di kantor pemerintah, hanya saja karena telah melihat langsung sebagian lainnya memberikan dengan segala macam basa-basi alhasil warga yang semula tidak ingin memberi terpaksa harus melakukan hal yang sama.

PERLU ORANG-ORANG VISIONER SIKAPI PERLUASAN

Berbicara masalah perluasan bukanlah permbicaraan yang bisa ditinjau dari satu aspek. Mengingat perluasan berhubungan erat dengan hajat hidup orang banyak. Disamping itu, issu perluasan tentunya akan berbenturan dengan banyak kepentingan , tidak hanya kepentingan individu tetapi juga kepentingan kultur budaya dan sejarah. Oleh karena itu memandang persoalan perluasan tidak boleh dengan dari satu sudut, perlu orang-orang visioner yang punya pandangan jauh kedepan akan hakekat sebuah perluasan. Demikian disampaikan Ketua Umum PB Germasi, Samsul Pasaribu didampingi sekretaris jenderal PB Germasi Andi Josua kepada Harian Surat dalam menyikapi munculnya pro-kontra perluasan belakangan  ini.
Samsul mengatakan bahwa, siapa pun berhak menyampaikan pendapatnya perihal wacana perluasan yang kembali dibahas banyak pihak. Dan siapa pun berhak pula setuju atau tidak setuju. Yang harus dicermati adalah mencari korelasi antara alasan setuju atau tidak setuju dengan hakekat dari sebuah perluasan atau pemekaran. Bila dilihat dari alasan paling mendasar tuntutan pemekaran atau perluasan yang terjadi selama ini diseluruh Indonesia adalah dalam rangka pemerataan kesejahteraan dan upaya mempercepat pembangunan. Oleh karena itu, selama alasan yang dikemukakan berhubungan erat dengan itu maka sah-sah saja setuju atau tidak setuju. Akan tetapi bila konteksnya dikaitkan dengan sejarah masa lalu, harus dipahami bahwa sejarah dibentuk oleh setiap generasi dan individu oleh karena itu, karena setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya maka kedepan sejarah yang lebih baik harus bisa diciptakan oleh generasi berikutnya. Kaitannya dengan perluasan Sibolga yang mencaplok beberapa daerah Kabupaten Tapanuli Tengah maka warga masyarakat yang ada dimasa ini harus berani mengukit sejarah baru dan melahirkan langkah-langkah kongkrit mempercepat terwujudnya kesejahteraan dan pemerataan pembangunan.

Rabu, 29 Februari 2012

Berubah, Sulitkah?

Oleh : Samsul Pasaribu*
Berubah, sulitkah? Jawabannya tentu berbeda-beda. Bagi segelintir orang yang merasa sudah “hijrah” dari pola-pola lama ke masa pembaharuan tentu akan berkata berubah itu tidak sulit. Tapi, kalimat itu terucap setelah melalui proses yang panjang. Artinya, untuk berubah tentu bukanlah hal yang mudah. Tentu sebelum kita lanjutkan harus kita garis bawahi dulu bahwa perubahan yang dimaksud dalam topik kita kali ini adalah dalam kacamata konstruktif. Kendati pun pola destruktif juga bagian dari perubahan. Akan tetapi, ke-sejatian dari sebuah perubahan adalah change from the bad to the better.

Apa pun ceritanya, berubah tetaplah membutuhkan proses yang tidak singkat. Yang terpenting dari upaya merubah diri bukanlah pada apa saja yang kita lakukan untuk bisa berubah akan tetapi terletak pada kapan kita mulai berubah. Karena andai memulai proses sebuah perubahan kita terjebak dalam hal-hal konseptual dalam artian memulai keinginan berubah pada hal-hal teoritis maka, secara otomatis kita hanya akan berubah secara teori sedangkan dalam realita yang sesungguhnya kita masih jauh dari kata berubah. Untuk itulah, untuk berubah hanya ada satu cara yaitu “segera berubah dan dimulai dari sekarang”.

Tahun 2010, ketika penulis berkesempatan mengikuti international coverative fishary organization ceminary di Jakarta, dalam satu kesempatan bersama Dr. Yadava dari India beliau menguraikan bahwa untuk mengembalikan perairan sunda kelapa seperti dahulu kala sebelum tercemar dibutuhkan waktu 50 tahun. Yang terpenting dari kurun waktu 50 tahun itu adalah bukan pada apa saja yang kita lakukan selama kurun waktu 50 tahun akan tetapi kapan titik awal 50 tahun itu kita mulai. Ungkapan ini sekali lagi menegaskan kepada kita bahwa pentingnya untuk menentukan kapan kita mulai berubah.