Rabu, 29 Februari 2012

Berubah, Sulitkah?

Oleh : Samsul Pasaribu*
Berubah, sulitkah? Jawabannya tentu berbeda-beda. Bagi segelintir orang yang merasa sudah “hijrah” dari pola-pola lama ke masa pembaharuan tentu akan berkata berubah itu tidak sulit. Tapi, kalimat itu terucap setelah melalui proses yang panjang. Artinya, untuk berubah tentu bukanlah hal yang mudah. Tentu sebelum kita lanjutkan harus kita garis bawahi dulu bahwa perubahan yang dimaksud dalam topik kita kali ini adalah dalam kacamata konstruktif. Kendati pun pola destruktif juga bagian dari perubahan. Akan tetapi, ke-sejatian dari sebuah perubahan adalah change from the bad to the better.

Apa pun ceritanya, berubah tetaplah membutuhkan proses yang tidak singkat. Yang terpenting dari upaya merubah diri bukanlah pada apa saja yang kita lakukan untuk bisa berubah akan tetapi terletak pada kapan kita mulai berubah. Karena andai memulai proses sebuah perubahan kita terjebak dalam hal-hal konseptual dalam artian memulai keinginan berubah pada hal-hal teoritis maka, secara otomatis kita hanya akan berubah secara teori sedangkan dalam realita yang sesungguhnya kita masih jauh dari kata berubah. Untuk itulah, untuk berubah hanya ada satu cara yaitu “segera berubah dan dimulai dari sekarang”.

Tahun 2010, ketika penulis berkesempatan mengikuti international coverative fishary organization ceminary di Jakarta, dalam satu kesempatan bersama Dr. Yadava dari India beliau menguraikan bahwa untuk mengembalikan perairan sunda kelapa seperti dahulu kala sebelum tercemar dibutuhkan waktu 50 tahun. Yang terpenting dari kurun waktu 50 tahun itu adalah bukan pada apa saja yang kita lakukan selama kurun waktu 50 tahun akan tetapi kapan titik awal 50 tahun itu kita mulai. Ungkapan ini sekali lagi menegaskan kepada kita bahwa pentingnya untuk menentukan kapan kita mulai berubah.

Rabu, 22 Februari 2012

Membangun dengan hati dan hati-hati

Oleh : Samsul Pasaribu*
Penulis pernah mencoba menghitung persentasi uang negara yang dikorupsi para koruptor pertahunnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh ICW tahun 2010, tidak kurang dari Rp. 37 triliun pertahunnya uang negara disikat habis para koruptor. Dan semua dana itu tentunya berasal dari APBN. Tetapi tentu saja, jumlah ini belum termasuk kejahatan keuangan lainnya yang tergolong korupsi seperti suap dan gratifikasi. Seorang ekonom juga pernah berkata bila ditotal seluruh sumber pendapatan negara mulai dari pajak dan sumber-sumber lainnya maka kerugian negara bisa mencapai 360 triliun pertahunnya. Tentu saja, uang ini belum masuk dalam APBN karena sifatnya masih mentah dan entah dimana hilangnya. sehingga pandangan ekonom ini bisa disebut dengan potensi keuangan negara lenyak 360 triliun pertahunnya. tetapi, untuk APBN sendiri yang disahkan setiap tahunnya diatas angka 1000 triliun, para koruptor berserta kroni-kroninya menilepnya dengan cara  haram sebesar 37 triliun pertahunnya.
Untuk mempermudah hitungan kita kali ini sebutlah setiap tahun APBN sebagai uang yang sah dikelola pemerintah sebesar Rp. 1000 triliun. itu artinya pertahunnya APBN kita dikorup sebesar 3.7 persen. Bila dilihat angkanya tentu 37 triliun itu adalah angka yang besar. Akan tetapi bila dipersentasekan dengan semua APBN kita, 37 triliun itu tentulah sedikit. Karena negara kita masih memiliki anggaran sebesar Rp. 963 Triliun untuk melakukan pembangunan disegala bidang. Pertanyaanya, apakah korupsi satu-satunya penyebab utama Indonesia larut dengan kemiskinannya? Apalagi, bila uang sebesar 37 triliun itu dibagi kepada seluruh pakir miskin yang berjumlah 13.14 persen penduduk  negeri ini maka perorangnya akan menerima  Rp. 1.198.225. Uang sebesar ini tentu sangat tidak berarti sama sekali untuk sekedar bertahan hidup. Dengan kata lain, andai tidak dikorup pun ternyata, bukan menjadi solusi dalam hal pemecahan masalah-masalah pengangguran dan kemiskinan.