Jumat, 23 November 2012

Samsul Pasaribu “Kakanwil Kemenag Sumut harus copot Kakankemenag Tapteng”

Terkait Pelaksanaan Jambore Madrasah di Barus


Bandung | Kontroversi pelaksanaan Jambore Madrasah di Barus yang dilaksanakan oleh Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kab. Tapanuli Tengah mendapat tanggapan dari aktivis gerakan pramuka Sumatera Utara, Samsul Pasaribu. Mantan ketua Dewan Kerja Cabang Gerakan Pramuka Kwartir Cabang Kota Sibolga periode 2004-2009 ini menyesalkan langkah keliru yang dilakukan oleh Kemenag Tapanuli Tengah.

Menurut Samsul, ketiadaan koordinasi antara Kemenag Tapteng dengan Gerakan Pramuka berakibat fatal kepada rusaknya image pramuka ditengah-tengah masyarakat khususnya di wilayah Tapanuli.

Penggunaan atribut dan simbol pramuka diluar kegiatan kepramukaan jelas bertentangan dengan UU nomor 10 tahun 2012 dan AD dan ART Gerakan Pramuka yang secara konstitusional dilindungi oleh negara. Oleh karena itu Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara harus mencopot Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai konsekuensi moral atas kecerobohan beliau yang tidak peka terhadap aturan main digerakan pramuka.

Senin, 05 November 2012

ETNIS PESISIR, Menunggu Kepunahan Sistemik



Oleh : Samsul Pasaribu*

Secara tidak sengaja, penulis membaca sebuah tulisan yang bercerita sejarah kebudayaan pesisir Sibolga/ Tapteng dari masa-kemasa. Tentu saja, dalam kesempatan ini penulis tidak akan bercerita tentang perjalanan sejarah itu secara detail. Cukuplah Bapanda Syafriwal Marbun yang bercerita sedikit demi sedikit hakekat pesisir itu kepada kita lewat tulisan-tulisannya.  Kebetulan penulis juga termasuk pembaca setia setiap artikel dan opini yang bercerita keberadaan kebudayaan pesisir dari kacama apa pun.

Kali ini, penulis hanya mencoba mengkaji dan menganalisa hakekat etnis pesisi saat ini yang mulai kehilangan jati dirinya. Dalam beberapa tulisan yang pernah penulis baca jelas terdapat beberapa informasi baru yang mungkin tidak semua tahu. Secara garis besar informasi baru itu akan penulis kelompokkan kedalam tiga topik pembahasan. Yang pertama adalah, etnis pesisir yang berikutnya melahirkan satu kebudayaan dan tradisi pesisir secara turun temurun ternyata tidak memiliki marga. Keberadaan mereka persis seperti etnis Melayu yang menyebar ditanah Deli. Kendati sedikit data dan informasi yang penulis dapatkan akan asal-muasal keberadaan mereka, tetapi mayoritas tokoh dan budayawan pesisir bersepakat kalau warga yang menempati daerah Barus, Sorkam, Sibolga hingga ke Sibabangun dulunya tidak bermarga sama sekali.

Kehadiran marga-marga di tanah Pesisir Sibolga/ Tapteng dewasa ini tercipta oleh perkawinan penduduk setempat dengan warga pendatang yang mencoba peruntungan dipesisir pantai  barat Sumatera. Sejarah menceritakan kepada kita bahwa warga pesisir khususnya yang berdomisili di Barus dan Sorkam sangat ramah dan welcome terhadap setiap pendatang yang datang silih berganti. Keramah tamahan itu pulalah yang menjadikan Barus serta Sorkam menjadi tempat yang nyaman untuk disinggahi bahkan untuk beranak pinak. Banyak pendatang yang merantau  akhirnya memutuskan menjadi penduduk setempat. Itulah sebabnya, Sorkam yang kita kenal sekarang sebenarnya dahulunya bernama Rantau Panjang. Karena dihuni oleh orang-orang perantau yang akhirnya tinggal dalam waktu yang sangat panjang.