Minggu, 05 Agustus 2012

Renungan Sederhana


SULITNYA UNTUK BERUBAH
Oleh : Samsul Pasaribu*

Berubah, sulitkah? Jawabannya tentu berbeda-beda. Bagi segelintir orang yang merasa sudah “hijrah” dari pola-pola lama ke masa pembaharuan tentu akan berkata berubah itu tidak sulit. Tapi, kalimat itu terucap setelah melalui proses yang panjang. Artinya, untuk berubah tentu bukanlah hal yang mudah. Tentu sebelum kita lanjutkan harus kita garis bawahi dulu bahwa perubahan yang dimaksud dalam topik kita kali ini adalah dalam kacamata konstruktif. Kendati pun pola destruktif juga bagian dari perubahan. Akan tetapi, ke-sejatian dari sebuah perubahan adalah change from the bad to the better.

Apa pun ceritanya, berubah tetaplah membutuhkan proses yang tidak singkat. Yang terpenting dari upaya merubah diri bukanlah pada apa saja yang kita lakukan untuk bisa berubah akan tetapi terletak pada kapan kita mulai berubah. Karena andai memulai proses sebuah perubahan kita terjebak dalam hal-hal konseptual dalam artian memulai keinginan berubah pada hal-hal teoritis maka, secara otomatis kita hanya akan berubah secara teori sedangkan dalam realita yang sesungguhnya kita masih jauh dari kata berubah. Untuk itulah, untuk berubah hanya ada satu cara yaitu “segera berubah dan dimulai dari sekarang”.

Tahun 2010, ketika penulis berkesempatan mengikuti international coverative fishary organization ceminary di Jakarta, dalam satu kesempatan bersama Dr. Yadava dari India beliau menguraikan bahwa untuk mengembalikan perairan sunda kelapa seperti dahulu kala sebelum tercemar dibutuhkan waktu 50 tahun. Yang terpenting dari kurun waktu 50 tahun itu adalah bukan pada apa saja yang kita lakukan selama kurun waktu 50 tahun akan tetapi kapan titik awal 50 tahun itu kita mulai. Ungkapan ini sekali lagi menegaskan kepada kita bahwa pentingnya untuk menentukan kapan kita mulai berubah.

Dalam ajaran agama tertentu juga ditegaskan bahwa Tuhan sebagai dzat yang maha segalanya mampu merubah apa saja. Akan tetapi satu-satunya yang tidak ingin tuhan ikut merubahnya adalah saya, anda dan mereka. Karena untuk kita, tuhan memberi ke khususan dimana kita hanya bisa berubah bila kita sendiri mulai merubahnya. Bukankah firman Tuhan yang berbunyi “tidak akan berubah satu kaum sebelum kaum itu sendiri yang merubahnya” terkandung makna bahwa siapa pun bisa berubah asal ia benar-benar berkeinginan untuk berubah.

Mungkin firman Tuhan ini pulalah yang menginspirasi bapak ilmu pengetahuan dunia, Aristoteles. Dimana beliau mengatakan “satu-satunya yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri”. Oleh karena itu tidak  berlebihan kiranya bila penulis turut menegaskan bahwa Perubahan adalah harga mati.

Benarkah perubahan itu sulit oleh karena apa yang ingin kita rubah merupakan sesuatu yang mungkin sudah menjadi tradisi, atau sudah dilakukan turun temurun dan berkali-kali? Hemat penulis, jawaban ini hanya upaya menjustifikasi penolakan terhadap sebuah perubahan. Karena sesungguhnya perubahan itu sulit dilakukan karena kita belum siap untuk berubah. Artinya, tantangan terbesar untuk  berubah adalah diri kita sendiri. Padahal, untuk mengalahkan diri kita sendiri hanya butuh satu cara yaitu katakan tidak untuk setiap langkah kemunduran.

Tahun 2007 lalu, ketika penulis mengikuti orientasi sisitem pendidikan kampus (Ospek) dimana sistem perpoloncoan masih menjadi tradisi disetiap perguruan tinggi penulis berupaya menolak pola-pola lama sistem ospek yang terkadang jauh dari kesan memanusiakan manusia. Akan tetapi jawaban yang diberikan senior saat itu adalah hal itu sudah menjadi tradisi dan tidak mudah untuk merubah sebuah tradisi. Ketika ungkapan itu penulis tanggapi dengan kalimat bahwa itu mudah dilakukan tinggal satu perintah dari para senior bahwa tahun ini sistem ospek kita rubah pasti semua bisa berubah. Jawaban itu justru memancing emosi senior lainnya. Kisah ini menegaskan kepada kita bahwa kata-kata tradisi lebih cocok disebut sebagai kambing hitam atas penolakan sebuah perubahan. Padahal yang tidak ingin berubah sesungguhnya adalah kita sendiri.

Sama halnya dengan apa yang ditegaskan oleh Bung Karno bahwa “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” bukan “Jangan sekali-kali merubah sejarah”. Artinya sejarah masa lalu hanya sebagai pijakan untuk melaju dimasa yang akan datang. Tentunya untuk melaju itu kita butuh sejarah-serajah baru yang akan  dituliskan oleh generasi selanjutnya. Begitu terus menerus. Nurdin. Z, seorang tokoh politik kawakan di Sibolga pernah mengatakan bahwa setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Setiap orang akan berlomba membuat sejarahnya sendiri.

*Penulis adalah ketua umum Pengurus Besar Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)