SULITNYA UNTUK
BERUBAH
Oleh : Samsul
Pasaribu*
Berubah, sulitkah? Jawabannya
tentu berbeda-beda. Bagi segelintir orang yang merasa sudah “hijrah” dari
pola-pola lama ke masa pembaharuan tentu akan berkata berubah itu tidak sulit.
Tapi, kalimat itu terucap setelah melalui proses yang panjang. Artinya, untuk
berubah tentu bukanlah hal yang mudah. Tentu sebelum kita lanjutkan harus kita
garis bawahi dulu bahwa perubahan yang dimaksud dalam topik kita kali ini
adalah dalam kacamata konstruktif. Kendati pun pola destruktif juga bagian dari
perubahan. Akan tetapi, ke-sejatian dari sebuah perubahan adalah change from
the bad to the better.
Apa pun ceritanya, berubah
tetaplah membutuhkan proses yang tidak singkat. Yang terpenting dari upaya
merubah diri bukanlah pada apa saja yang kita lakukan untuk bisa berubah akan
tetapi terletak pada kapan kita mulai berubah. Karena andai memulai proses
sebuah perubahan kita terjebak dalam hal-hal konseptual dalam artian memulai
keinginan berubah pada hal-hal teoritis maka, secara otomatis kita hanya akan
berubah secara teori sedangkan dalam realita yang sesungguhnya kita masih jauh
dari kata berubah. Untuk itulah, untuk berubah hanya ada satu cara yaitu
“segera berubah dan dimulai dari sekarang”.
Tahun 2010, ketika penulis
berkesempatan mengikuti international coverative fishary organization ceminary
di Jakarta, dalam satu kesempatan bersama Dr. Yadava dari India beliau
menguraikan bahwa untuk mengembalikan perairan sunda kelapa seperti dahulu kala
sebelum tercemar dibutuhkan waktu 50 tahun. Yang terpenting dari kurun waktu 50
tahun itu adalah bukan pada apa saja yang kita lakukan selama kurun waktu 50
tahun akan tetapi kapan titik awal 50 tahun itu kita mulai. Ungkapan ini sekali
lagi menegaskan kepada kita bahwa pentingnya untuk menentukan kapan kita mulai
berubah.
Dalam ajaran agama tertentu juga
ditegaskan bahwa Tuhan sebagai dzat yang maha segalanya mampu merubah apa saja.
Akan tetapi satu-satunya yang tidak ingin tuhan ikut merubahnya adalah saya,
anda dan mereka. Karena untuk kita, tuhan memberi ke khususan dimana kita hanya
bisa berubah bila kita sendiri mulai merubahnya. Bukankah firman Tuhan yang
berbunyi “tidak akan berubah satu kaum sebelum kaum itu sendiri yang
merubahnya” terkandung makna bahwa siapa pun bisa berubah asal ia benar-benar
berkeinginan untuk berubah.
Mungkin firman Tuhan ini pulalah
yang menginspirasi bapak ilmu pengetahuan dunia, Aristoteles. Dimana beliau
mengatakan “satu-satunya yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu
sendiri”. Oleh karena itu tidak berlebihan
kiranya bila penulis turut menegaskan bahwa Perubahan adalah harga mati.
Benarkah perubahan itu sulit oleh
karena apa yang ingin kita rubah merupakan sesuatu yang mungkin sudah menjadi
tradisi, atau sudah dilakukan turun temurun dan berkali-kali? Hemat penulis,
jawaban ini hanya upaya menjustifikasi penolakan terhadap sebuah perubahan.
Karena sesungguhnya perubahan itu sulit dilakukan karena kita belum siap untuk
berubah. Artinya, tantangan terbesar untuk
berubah adalah diri kita sendiri. Padahal, untuk mengalahkan diri kita sendiri
hanya butuh satu cara yaitu katakan tidak untuk setiap langkah kemunduran.
Tahun 2007 lalu, ketika penulis
mengikuti orientasi sisitem pendidikan kampus (Ospek) dimana sistem
perpoloncoan masih menjadi tradisi disetiap perguruan tinggi penulis berupaya
menolak pola-pola lama sistem ospek yang terkadang jauh dari kesan memanusiakan
manusia. Akan tetapi jawaban yang diberikan senior saat itu adalah hal itu
sudah menjadi tradisi dan tidak mudah untuk merubah sebuah tradisi. Ketika
ungkapan itu penulis tanggapi dengan kalimat bahwa itu mudah dilakukan tinggal
satu perintah dari para senior bahwa tahun ini sistem ospek kita rubah pasti
semua bisa berubah. Jawaban itu justru memancing emosi senior lainnya. Kisah
ini menegaskan kepada kita bahwa kata-kata tradisi lebih cocok disebut sebagai
kambing hitam atas penolakan sebuah perubahan. Padahal yang tidak ingin berubah
sesungguhnya adalah kita sendiri.
Sama halnya dengan apa yang
ditegaskan oleh Bung Karno bahwa “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” bukan “Jangan
sekali-kali merubah sejarah”. Artinya sejarah masa lalu hanya sebagai pijakan
untuk melaju dimasa yang akan datang. Tentunya untuk melaju itu kita butuh
sejarah-serajah baru yang akan
dituliskan oleh generasi selanjutnya. Begitu terus menerus. Nurdin. Z,
seorang tokoh politik kawakan di Sibolga pernah mengatakan bahwa setiap masa
ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Setiap orang akan berlomba membuat
sejarahnya sendiri.
*Penulis adalah ketua umum
Pengurus Besar Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar