Sabtu, 21 Agustus 2010

Opini (Ruhut)


SANG PRESIDEN “TIGA” PERIODE
Topik diatas sebenarnya bukanlah sesuatu yang luar biasa, karena di era demokrasi dewasa ini kebebasan berpendapat sangat dijamin oleh undang-undang kita. Jika jaminan itu ada, lantas salahkah bila setiap warga negara berhak mengemukakan pendapatnya di depan umum? Sebagai insan pancasilais tentu kita sepakat menjawab tentu tidak salah.
Syamsul Pasaribu
Beberapa hari yang lalu, Bapak Ruhut sitompol anggota DPR/MPR RI dari fraksi partai demokrat secara pribadi dan menurut pengakuan beliau terlahir dari lubuk hati yang paling dalam mengusulkan agar jabatan seorang presiden republik Indonesia diperpanjang menjadi maksimal tiga periode. Usul “raja miyak” ini pun spontanitas menjadi headline new dibeberapa media cetak dan eletronik.  Banyak yang mendukung namun lebih banyak lagi yang menolak dengan segala argumentasi.  Seorang Ruhut tentu sangat memahami perbedaan pendapat yang bergulir perihal wacana jabatan presiden yang beliau sulut. Maka sebagai seorang yang mengerti hukum dan demokrasi perbedaan pendapat itu pun ditanggapi dengan senyuman. Mungkin Ruhut berpikir, namanya juga era kebebasan berpendapat.
Sebelum kita berbicara tentang ketepatan usulan Ruhut siraja miyak ini, baiklah untuk sesaat kita mendengar beberapa tanggapan lawan-lawan politik beliau perihal wacana masa jabatan ini. Kita mulai dari Bapak Akbar Faisal dulu ya. Seteru beliau di pansus century beberapa bulan yang lalu. Disebuah dialog yang disiarkan live oleh TV one Jakarta, Akbar Faisal
menanggapi Ruhut dengan entengnya. Kira-kira politisi Gerindra ini mengatakan “Ruhut aza kok ditanggapi, kita bawa ketawa-ketawa aza”. Begitulah sang Akbar faisal menanggapi Ruhut. Ucapan itu keluar lebih di dasarkan kepada bagaimana seorang Akbar Faisal memandang seorang Ruhut yang mungkin dianggap orang yang tidak paham apa pun dan asal bunyi. Sehingga Akbar Faisal mungkin, sekali lagi mungkin berpandangan bahwa kalau Ruhut yang bilang tidak perlu didengarkan dan anggap angin lalu. Tetapi jika kita belajar memahami bukankah akan lebih baik bila wacana yang sedang dibangun oleh seorang Ruhut menjadi perhatian kita semua bahwa apakah itu memungkinkan atau tidak. Tapi sayang, politisi sekaliber Akbar Faisal justru menganggap kebenaran hanya ada pada setiap anggota dewan asal bukan Ruhut. Karena seingat penulis, bagi Akbar Faisal apa pun yang dikatakan anggota DPR RI adalah benar asal jangan Ruhut yang mengatakan. Dengan kata lain bila Ruhut berkata 2 + 2 sama dengan 4, maka bagi Akbar Faisal akan mengatakan “kita bawa ketawa aza”.
Beda dengan Akbar Faisal yang selalu menganggap Ruhut sedang main sinetron, Priyo Budi Santoso justru lebih bijaksana menanggapinya. Wacana yang dibangun Ruhut ditanggapi dengan arif walau pun politisi Golkar ini bertanya ada apa dibalik Ruhut.  Begitulah, berbagai tanggapan muncul, bagaimana pun pedasnya opini yang berkembang tentang Ruhut, syukurlah seorang Ruhut hanya tersenyum dan tidak sampai berkata “Akbar Faisal saja kok didengerin”.
Kini, apa yang lucu (sehingga layak ditertawakan oleh Akbar Faisal) dari usulan Ruhut? Melanggar Undang-undangkah? Atau tidak mungkin? Jawaban kita tentu juga beda-beda bukan? Tapi izinkahlah saya berpendapat berbeda dari pembaca yang  budiman.Bagi penulis usulan Ruhut tentu tidak melanggar aturan manapun. Kendati UUD 1945 mengamanatkan bahwa jabatan seorang presiden di negara ini maksimal dua periode, maka yang perlu dilakukan adalah mengamandemen pasal yang bersangkutan sehingga menjadi tiga atau berapa periode. Dan Ruhut sebagai anggota DPR RI yang juga anggota MPR RI dapat mengusulkan melalui fraksinya untuk mengamandemen pasal yang  mengatur masa jabatan seorang presiden tentunya juga dengan mekanisme yang telah diatur undang-undang pula. Terlepas dari amandemen akan terjadi atau tidak tapi kemungkinan yang disampaikan oleh Ruhut tetap saja bisa terlaksana bukan? Toh DPR/ MPR bukan hanya milik Akbar Faisal atau Maruara Sirait, tapi juga bukan hanya milik Ruhut sitompul. Mengingat kekuatan koalisi di tubuh partai demokrat cukup kuat, tentu akan lebih memungkinkan lagi untuk meng gol kan wacana penambahan masa jabatan seorang presiden.
Begitulah undang-undang mengatur segala sesuatunya. Kini bagaimana masyarakat menanggapi masa jabatan seorang presiden? Tentu juga berbeda-beda. Sebahagian mengatakan bahwa itu salah (ini benar andai UUD 1945 tidak diamandemen) tapi kalau 1 atau 2 tahun ini berhasil diamandemen tentu itu menjadi sesuatu yang wajib dilaksanakan. Sebahagian lagi masyarakat mengatakan masa jabatan seorang presiden sebaiknya maksimal dua periode untuk bergulirnya regenerasi di negara ini. Ini juga terlalu berlebihan, bukankan berganti pimpinan akan berganti pula kebijakan, bagi penulis sebenarnya selama yang memimpin bisa mewakili kepentingan seluruh rakyat dan benar-benar berpihak pada rakyat, jangankan tiga periode seumur hidup pun asal rakyat suka tentu bisa. Namun jika sang presiden amoral dan semena-mena terhadap kepentingan nasional, jangankan tiga tahun, tiga detik pun sang presiden tidak boleh memimpin di negeri berbhinneka ini.
Wacana yang dibangun seorang Ruhut sebenarnya mengingatkan kita bahwa suara rakyat adalah suara tuhan. Kini, mungkinkah Ruhut memang berpendapat murni dari lubuk hatinya yang paling dalam seperti yang beliau kemukakan di media, atau Ruhut justru di perintah oleh atasan beliau untuk memancing opini publik yang bila berhasil  pada akhirnya akan mengantarkan seorang SBY kembali memimpin RI satu periode lagi? Entahlah yang tahu hanya Ruhut dan Tuhannya.
USUL RUHUT ADA BENARNYA
Apa yang disampaikan Ruhut sebenarnya ada benarnya bahkan mungkin sangat benar. Melihat kondisi bangsa saat ini termasuk kultur masyarakatnya yang manjemuk, didukung oleh konstitusi yang masih amburadul hingga dunia kiamat pun tidak akan ada seorang presiden yang dinilai berhasil oleh rakyatnya. Faktornya adalah dibatasinya masa jabatan seorang presiden di negara ini. Logika kita tentu menyepakati bahwa untuk merubah Indonesia lebih baik tidak cukup hanya 5 - 10 tahun bukan? apalagi ditambah faktor perubahan kebijakan, berubah kepala negara akan merubah kebijakan-kebijakan pendahulunya. Dengan demikian, tujuan yang hampir tercapai diakhir masa jabatan akan kembali ketitik nol oleh penerusnya. Maka wajar kiranya, kalau jabatan seorang presiden sebaiknya 3 periode atau jangan dibatasi sama sekali, bukankah demokrasi ada ditangan rakyat, jadi rakyatlah yang berdaulat. Jika rakyat senang, kenapa tidak presiden tetap menjabat hingga rakyat bosan. Soal regenerasi, bukankah dari 230 juta penduduk negeri ini yang berhak menjadi presiden hanya satu orang? jadi jangan dikorbankan kepentingan yang lebih besar untuk bangsa ini hanya gara-gara sebuah kata "Regenerasi kepresidenan". Sekedar mengingatkan, kenapa mantn Presiden Soeharto dinilai berhasil memajukan bangsa ini terlepas dari praktek korupsi yang didugakan padanya, jawabannya tiada lain karena beliau memerintah lebih dari dua periode. mm...tapi itu menurut saya.

Tidak ada komentar: