REMISI BAGI SANG KORUPTOR
Oleh : Syamsul Pasaribu
Presiden Mahasiswa Ikopin
Syamsul Pasaribu dan Indy Rahmawati di TV One |
Bukan Indonesia namanya kalau tidak selalu buat sensasi. Dan bukan orang Indonesia namanya kalau tidak ikut gonjang ganjing setiap issu yang berkembang ditanah air ini kendati pun sebenarnya bentuk “kepedulian” itu tidak menghasilkan apa-apa. Hari ini (22 agustus 2010) disalah satu harian Metro Tapanuli edisi 38-th VII dihalaman 5 ada berita yang cukup membuat gerah sebahagian tokoh-tokoh bangsa ini khususnya mereka-mereka yang anti pati terhadap korupsi. Setelah sepekan ini bang Ruhut bikin “kebakaran jenggot” lawan-lawan politiknya pasca wacana yang ia dengungkan presiden tiga periode, kini bangsa ini kembali di hebohkan oleh keberanian pemerintah memberikan remisi bagi narapidana yang terlibat pencurian uang rakyat besar-besaran.
Kontroversi pun mencuat dikalangan masyarakat terutama para musuh bebuyutan koruptor. Mayoritas
media baik cetak maupun eletronik seakan-akan kompak menjadikan “kasus”remisi bagi koruptor ini menjadi topik hangat. Dan seperti biasanya, bila ada sebuah permasalahan dari empat orang narasumber yang dihadirkan, tiga diantaranya pasti kontra dengan kebijakan yang sedang diperbincangkan. Ya, seperti “kasus” bang Ruhut misalnya, dalam acara Apa Kabar Indonesia di TV One, dari lima narasumber yang dihadirkan, hanya satu yang pro terhadap wacana presiden tiga periode sisanya adalah lawan-lawan politik si raja minyak.Begitu pula dengan kebijakan (yang katanya tidak bijaksana ini) pemberitan remisi bagi koruptor. Hampir setiap narasumber mengeluarkan statement kontra terhadap policy pemerintah. Dan semua secara umum menyesalkan tindakan presiden SBY yang terkesan mengistimewakan para koruptor. Seperti yang diutarakan tulisan awal opini ini, bukan Indonesia namanya kalau tidak ribut soal hal-hal yang sebenarnya tidak melanggara aturan dan perundang-undangan mana pun. Termasuk saya (penulis) mungkin!
Penulis berusaha tidak terjerat dengan opini yang sedang berkembang dimasyarakat yang mungkin sengaja di giring oleh media kepada satu kesimpulan bahwa pemberian remisi bagi koruptor adalah sebuah kesalahan besar. Sebelum saya berpendapat, ada satu kesepakatan yang mungkin harus saya pertanyakan yaitu sudahkah kita sepakat bahwa negara ini adalah negara hukum? Dan hukum adalah panglima? Bagi yang belum sepakat, saya sarankan untuk cukup membaca opini ini sampai disini saja. Tapi kalau anda bersepakat silahkan dilanjutkan.
Pembaca, Presiden Republik Indonesia di beri kekuasaan oleh undang-undang dasar kita dan perundang-undangan lainnya untuk memberikan grasi, amnesti dan abolisi kepada para narapidana yang dipandang berkelakukan baik sesuai dengan mekanisme yang ada. Kendati pun presiden punya hak prerogatif tentang hal ini, bukan berarti seorang presiden secara sembarang memberikan hak istimewah ini. Seorang presiden tetap menjunjung tinggi HAM dan dampak yang ditimbulkan pasca pemberian remisi. Kini, berdasarkan aturan konstitusi kita, salahkah seorang presiden memberikan remisi bagi resedivis kasus korupsi? Penulis berkeyakinan, tentu saja tidak. Mungkin penulis sedikit banyaknya setuju dengan statemen ketua umum Golkar Bapak Abu rizal bakrie bahwa maling, pembunuh dan koruptor adalah sama dimata hukum (Ingat, tadi kita sepakat bahwa negara ini adalah negara hukum dimana hukum adalah panglimanya). Kalau Adhie M.massardi (aktivis gerakan Indonesia bersih) menilai bahwa ada permainan dibalik pemberian remisi ini, maka yang perlu kita salahkan adalah oknum pelakunya bukan hak seorang presiden yang sudah dibenarkan dalam konstitutsi kita.
Sebahagian masyarakat kita berpandangan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus ditanggulangi dengan hal-hal luar biasa pula. Keluar biasaan itu pun telah ditunjukkan oleh pemerintah melalui pembentukan KPK RI sebagai lembaga superbody yang diberi keistimewaan melebihi lembaga penegakan hukum lainnya. Lembaga ini juga tidak mengenal SP3. Sehingga setiap kasus yang didalami oleh KPK RI akan terus diproses bilamana ditemukan fakta-fakta dan bukti baru yang menguatkan.
Menurut penulis, proses yang dilakukan di KPK RI sebagai upaya luar biasa memberantas korupsi tidaklah sama dengan proses luar biasa menjalani hukuman dilembaga permasyarakatan. Kita juga sepakat bahwa LP sebagai sarana pengurangan hak-hak setiap narapidana, LP juga sebagai lembaga pembinaan warga binaannya bukan? Oleh karena itu setiap tahanan yang selama dibina menunjukkan perubahan sikap dan berkelakukan baik adalah wajar bila mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Perhatian itu bisa diberikan dalam bentuk remisi atau pun amnesti.
Selama ini masyarakat perpandangan bahwa kejahatan korupsi menimbulkan dampak yang lebih besar dari pada kejahatan pembunuhan dan perkosaan, karena kedua kejahatan itu hanya berdampak bagi korban korbannya. Sedangkan korupsi, (katanya) berdampak kepada kesejahteraan masyarakat dan telah membunuh banyak orang. Ini mungkin ada benarnya, tapi percayalah dampak korupsi yang dikemukakan diatas tadi merupakan praduga-praduga yang tidak bisa kita buktikan dan hanya merupakan asumsi yang sifatnya sementara. Berpraduga adalah lumrah dalam negara hukum, namun hukum membutuhkan bukti dan kesaksian yang menjadi fakta persidangan.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa, dan pelakunya layak dihukum dengan berat pula. Namun janganlah kita melebihi kekuasaan Tuhan yang maha pengasih dan penyayang. Sebagai manusia adalah kewajiban kita menegakkan hukum yang berlaku dinegara ini. Namun kewajiban kita pula untuk memberi perhatian kepada setiap narapidana yang menunjukkan perubahan sikapnya. Bukankah tuhan pernah m engampuni seorang hamba yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, dan ketika ia akan bertobat ia pun membunuh satu orang lagi sehingga genaplah seratus orang. Namun begitu pun kejahatannya luar biasa Tuhan mengampuni dan menerima tobatnya. Kita sepakat, bahwa kita bukan tuhan dan sangat tidak pantas disejajarkan dengan tuhan, namun tuhan mengajarkan kita untuk saling kasih dan sayang.
Maka, kebijakan pemerintah memberikan remisi bagi setiap tahanan termasuk koruptor adalah tepat karena tidak bertentangan dengan undang-undang dan perturan mana pun. Kalau memang masyarakat keberatan dengan pemberian remisi ini, maka yang perlu disalahkan bukanlah pemerintah dalam hal ini ditujukan kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, karena seorang SBY sebagai mandataris rakyat hanya bekerja berdasarkan konstitusi yang ada. Bila memang kita bersepakat tidak ada kata maaf bagi koruptur maka yang kita lakukan adalah membatasi hak istimewah presiden dalam memberikan grasi, amnesti dan abolisi. Usul itu bisa kita sampaikan kalau MPR jadi bersidang membahas amandemen UUD 1947 pasal (7) tentang masa jabatan seorang presiden. Disela-sela sidang itu kelak (kalau jadi) Kita cukup mengusulkan bahwa seorang presiden atas persetujuan Mahkamah agung memberikan grasi, abolisi dan amnesti kecuali pada warga negara yang terlibat kasus korupsi, terroris, dan narkoba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar