Oleh : Samsul Pasaribu*
Samsul Pasaribu |
Kapan hari jadi Sibolga? Katanya,
diperingati tanggal 2 April setiap tahunnya. Lalu tahun ini berapa usia
Sibolga? (sekali lagi) katanya 312 tahun. Karena Raja Luka Hutagalung yang
bergelar tuanku Dorong pada tahun 1700 membuka daerah rawa di Sibolga menjadi
pemukiman yang belakangan kita sebut dengan Sibolga. Dilihat dari usianya, bila
pembaca bukan orang Sibolga, tentu bisa membayangkan sepesat apa pembangunannya
dan semodern apa kotanya. Tapi, tunggu dulu. Sebelum pembaca mengkhayal terlalu
tinggi, penulis akan sampaikan potret Sibolga secara singkat agar tidak kecewa
dibelakang hari.
Sibolga, adalah salah satu daerah
tingkat dua terkecil di Sibolga. Dalam satu kesempatan ketika penulis
presentasi tentang Sibolga di Bandung Jawa Barat, salah satu peserta yang
kebetulan guru besar di Ikopin Bandung Prof.Dr. Dedi Nurpadi mengatakan bahwa
Kota Sibolga adalah kota yang terlalu percaya diri. Waktu itu penulis bertanya
kenapa begitu? Beliau menjawab karena dengan luas wilayah daratan yang hanya ± 5000 Ha, dan jumlah
penduduk 96.400 jiwa Sibolga berani mensejajarkan diri dengan daerah tingkat
dua di Indonesia. Padahal, jumlah penduduk Sibolga tidak lebih banyak dari
jumlah penduduk di Kecamatan Pasar Rebo, Kotamadya Jakarta Timur. Atau mungkin
Luas Sibolga itu sendiri sama besarnya dengan luas Universitas Sumatara
Utara-Medan.
Entah iya atau tidak yang jelas
itulah potret Sibolga dimata orang lain yang mengenal Sibolga dari letak
geografisnya. Lalu, bagaimana Sibolga di usianya yang ke-312 ini? Wah, kalau
itu sejak pembaca menelaah tulisan ini. Penulis berani memberi nilai 5.5 untuk
kota Sibolga. Bayangkan saja. Kota ini untuk urusan banjir berusaha menyaingi
DKI Jakarta. Hujan sebentar saja, jalan-jalan khususnya di pusat kota akan
tergenang oleh air. Secara umum, sarana transportasi khususnya jalan raya jauh
dari harapan banyak pihak. Bila dikota lain, jalan-jalan protokol dan
jalan-jalan utama jarang ditemui lubang yang mengancam para pengguna jalan
raya. Tapi di Sibolga, lubangnya malah berjalan-jalan. Hari ini kita lihat di
Jalan R.Suprapto, besok dan lusa lubangnya sudah pindah ke Jalan S.Parman atau
Jln. Putri Runduk. Lucunya lagi, ada jalan yang bernama Jln. Mojopahit bernasib
malang layaknya pohon maja yang pahit. Jalan ini, sejak dibangun dua puluh
tahun lalu hingga saat ini tidak pernah maksimal direhabilitasi.