Jumat, 23 Maret 2012

SIBOLGA DI USIA 312 TAHUN


Oleh : Samsul Pasaribu*
Samsul Pasaribu
Kapan hari jadi Sibolga? Katanya, diperingati tanggal 2 April setiap tahunnya. Lalu tahun ini berapa usia Sibolga? (sekali lagi) katanya 312 tahun. Karena Raja Luka Hutagalung yang bergelar tuanku Dorong pada tahun 1700 membuka daerah rawa di Sibolga menjadi pemukiman yang belakangan kita sebut dengan Sibolga. Dilihat dari usianya, bila pembaca bukan orang Sibolga, tentu bisa membayangkan sepesat apa pembangunannya dan semodern apa kotanya. Tapi, tunggu dulu. Sebelum pembaca mengkhayal terlalu tinggi, penulis akan sampaikan potret Sibolga secara singkat agar tidak kecewa dibelakang hari.

Sibolga, adalah salah satu daerah tingkat dua terkecil di Sibolga. Dalam satu kesempatan ketika penulis presentasi tentang Sibolga di Bandung Jawa Barat, salah satu peserta yang kebetulan guru besar di Ikopin Bandung Prof.Dr. Dedi Nurpadi mengatakan bahwa Kota Sibolga adalah kota yang terlalu percaya diri. Waktu itu penulis bertanya kenapa begitu? Beliau menjawab karena dengan luas wilayah daratan yang hanya ± 5000 Ha, dan jumlah penduduk 96.400 jiwa Sibolga berani mensejajarkan diri dengan daerah tingkat dua di Indonesia. Padahal, jumlah penduduk Sibolga tidak lebih banyak dari jumlah penduduk di Kecamatan Pasar Rebo, Kotamadya Jakarta Timur. Atau mungkin Luas Sibolga itu sendiri sama besarnya dengan luas Universitas Sumatara Utara-Medan.

Entah iya atau tidak yang jelas itulah potret Sibolga dimata orang lain yang mengenal Sibolga dari letak geografisnya. Lalu, bagaimana Sibolga di usianya yang ke-312 ini? Wah, kalau itu sejak pembaca menelaah tulisan ini. Penulis berani memberi nilai 5.5 untuk kota Sibolga. Bayangkan saja. Kota ini untuk urusan banjir berusaha menyaingi DKI Jakarta. Hujan sebentar saja, jalan-jalan khususnya di pusat kota akan tergenang oleh air. Secara umum, sarana transportasi khususnya jalan raya jauh dari harapan banyak pihak. Bila dikota lain, jalan-jalan protokol dan jalan-jalan utama jarang ditemui lubang yang mengancam para pengguna jalan raya. Tapi di Sibolga, lubangnya malah berjalan-jalan. Hari ini kita lihat di Jalan R.Suprapto, besok dan lusa lubangnya sudah pindah ke Jalan S.Parman atau Jln. Putri Runduk. Lucunya lagi, ada jalan yang bernama Jln. Mojopahit bernasib malang layaknya pohon maja yang pahit. Jalan ini, sejak dibangun dua puluh tahun lalu hingga saat ini tidak pernah maksimal direhabilitasi.
Alhasil, sepanjang Jalan Mojopahit, penduduknya senasib sepenanggungan dengan warga pinggiran di DKI Jakarta. Maksudnya? Tidak pernah menikmati jalan raya yang nyaman dan mulus. Katanya, Sibolga juga menjadi tujuan wisata bahari. Maklum Sibolga terletak di daerah teluk Tapian Nauli. Tapi tahukah anda warna air laut diteluk ini? Biru? Wah, itu karena pembaca menghayalkan Bali. Tapi, terimakasih telah berpikir bahwa Sibolga layaknya Bali. Tapi, perlu pembaca tahu bahwa bila pembaca pernah melihat warna sungai Ciliwung di Jakarta yang hitam pekat, maka itulah warna air laut diteluk Tapian Nauli. Kenapa bisa begitu? Karena pemerintah kotanya tidak pernah tegas menerapkan larangan dan sanksi terhadap upaya siapa pun merusak keindahan laut teluk Tapian Nauli.

Bukankah Walikotanya rajin bersihkan pantai? Betul. Dan itu harus diapresiasi. Tapi apa gunanya. Karena permasalahan tercemarnya laut di Sibolga bukan karena kita jarang membersihkan pantai tapi lebih karena pola hidup masyarakatnya yang kurang memahami pentingnya memelihara lautan dari pencemaran lingkungan. Ada larangan? Ada, tapi sekedar melarang tanpa aksi. Ya, mungkin sebatas pembenaran bila besok pemerintah disalahkan, tinggal jawab, sudah dilarang kok.

Bagaimana dengan pembangunan? Dalam pandangan penulis, hampir setiap kepala daerah diakhir masa jabatannya menyisakan satu kenang-kenangan berarti yang bisa dinikmati oleh masyarakat setelah mereka tidak menjabat lagi. Yang paling kita ingat mungkin Sibolga dibawah kepemimpinan Sahat P.Panggabean dengan dua wakilnya Agus Salim Harahap dan Afifi Lubis. Selama 10 tahun, wajah Sibolga yang dulu terkesan kumuh bersolek sedikit lebih indah dengan adanya bangunan-bangunan baru yang (katakanlah) megah. 10 tahun yang lalu, bila malam Sibolga tetap terlihat indah karena hampir setiap batang pohon dan dahan dihiasi oleh lampu aneka warna. Objek-objek wisata terlihat lebih elegan dengan lampu-lampu hias yang berkedap-kedip. Tapi sejak tahun 2010, jangankan untuk pohon-pohon disekitar Sibolga, di depan kantor Walikota Sibolga saja, bila malam tak  obahnya seperti sedang lewat dari kuburan.

Tahun 2011 lalu penulis berkesempatan mengikuti sosialisasi nasional UU nomor 12 tahun 2010 di Semarang. Karena penulis tiba di Semarang dini hari, penulis naik ojek menuju  hotel. Ketika berada ditengah jalan dan lampu merah menyala, si tukang ojek berhenti padahal pada saat itu, jalanan sunyi senyap. Penulis bertanya, kenapa berhenti pak, bukankah sunyi? Beliau menjawab, sebagai warga solo kami punya tanggungjawab penuh patuh terhadap segala peraturan yang dibuat oleh pemerintah dalam upaya menertibkan warganya tanpa harus melihat saat itu jam berapa”. Ini jawaban tukang ojek lho. Jawaban yang membuat penulis semakin salut dengan kepribadian rakyat Semarang. Itu Solo. Sibolga? Wah, kalau di sini, mau padat atau sunyi keberadaan lampu merah di dua simpang yang ada yaitu perempatan Tagor dan perempatan penjara lama, mau merah, kuning atau hijau rata-rata kendaraan tidak mematuhinya. Kalau patuh? Itu karena ada petugas yang lagi berdiri disisi jalan raya.

Korupsi? Kalau yang tertangkap sedikit. Tapi bukan berarti di kota ini tidak ada korupsi. Tanyalah seluruh pegawai negeri atau warga masyarakat yang pernah berurusan dengan pemerintah kota. Sepakat mereka pasti mengatakan, kalau tidak ada uang jangan harap diutamakan. Untuk para PNS yang ingin naik pangkat, 9 dari 10 orang mengatakan diminta biaya urus ini dan itu. Padahal, untuk naik pangkat tidak pernah ada pungutan apa pun. Asal sudah memenuhi persyaratan dan ketentuan, ya harus naik. Tapi, lagi kota ini dan aparatur pemerintahnya sering menyalahkan kebobrokan daerah lain untuk mempertahankan kebobrokan yang ada didalam kotanya. Seperti kata orang Bandung “Jakarta saja masih gini kok” nah loe!

Tapi, begitu pun Sibolga adalah kota yang unik. Seorang teman dari Medan pernah berkata satu-satunya daerah yang penjabat pemerintahnya bisa duduk bareng dengan orang gila di kedai-kedai kopi adalah di Sibolga. Kok begitu? Karena Sibolga terkenal dengan kerukunan dan keakraban sesamanya. Setidaknya itu masih terpelihara dengan baik. Jangan heran, bila berkunjung ke kota ini, disalah satu kedai kopi anda melihat para pejabat duduk bercengkrama, tapi disudut lainnya terlihat orang gila duduk sambil senyum-senyum sendiri. Fantastikkan?

Pendidikan? Untuk Sibolga cukup membanggakan. Kendati berpenduduk tidak sampai 100 ribu jiwa, dikota ini terdapat 5 perguruan tinggi. Kalau begitu pergerakan mahasiswanya bagus dong? Ow, tunggu dulu. Antara pelajar dan mahasiswa tidak ada bedanya. Mereka hanya terlihat berbeda ketika ujian. Kalau pelajar tetap dengan seragamnya dan kalau mahasiswa pakaiannya hitam putih plus jaket almamater. Tapi bukankah mahasiswa pernah demo? Pernah tapi tidak murni mahasiswa. Selalu ditunggangi oleh masyarakat atau lembaga lainnya. Jadi, kepedulian mahasiswa di negeri berbilang kaum ini akan dinamika kehidupan pemerintahan dan masyarakatnya minim sama sekali.

Oh ya, ada satu peristiwa lain yang sebenarnya tidak penting-penting amat tapi cukup menarik perhatian. Dahulu dalam satu tahun peristiwa kebakaran di Sibolga hanya terjadi 1 kali. Tapi belakangan ini peristiwa kebakaran seperti hoby baru di kota ini. Entah siapa yang salah pemerintahkah atau masyarakat. Karena saat ini hampir setiap bulan ada kebakaran. Kalau yang terbakar kantor pemerintah masih ada anggaran yang jelas memperbaikinya dimasa yang akan datang bahkan bangunannya bisa lebih bagus. Tapi ini yang terbakar rumah warga. Jangankan punya rumah lebih bagus bantuan dari pemerintah saja sebatas membeli satu dua lembar papan dan indomie satu dus. 

Kini, 312 tahun sudah usia kota ini. Sudah tuakan? Bahkan tidak hanya tua tetapi juga renta. Mungkin tongkatnya tidak lagi satu tapi berpuluh-puluh. Begitu pun. Karena yang dimakan oleh orang Solo, Semarang, Yogya, Medan atau Makassar dan Gorontalo adalah nasi putih sejatinya kita juga bisa maju dan berbenah seperti mereka. Kendati didaerah, tetapi Walikotanya, masyarakatnya harus tetap berwawasan nasional. Banggakan bila besok atau lusa, sang Walikota dipanggil ke Jakarta karena ada prestasi luar biasa yang akan diterapkan secara nasional dan itu  berhasil di Sibolga. Dan tentu sedih bila belakangan Walikota dipanggil ke Jakarta menyusul rekan-rekannya sesama kepala daerah seperti yang dialami Binahati Baeha atau RE Siahaan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: