Oleh : Samsul Pasaribu*
Samsul Pasaribu |
Api.. api..api, begitu teriakan
warga setiap kali sijago merah melahap rumah di Sibolga. Kontan saja teriakan
itu mengundang ribuan warga untuk turut berpartisipasi memadamkan jagoan merah
ini. Seteleh itu? Ya, api padam tapi bersamaan dengan itu belasan rumah pun
turut hangus terbakar. Bahkan pernah ratusan rumah habis dilahap api.Kebakaran
adalah peristiwa lumrah terjadi didaerah mana pun. Kalau bukan karena human
error (kesalahan manusia), maka pasti sistem error (kesalahan sistem).
Kebakaran itu biasa, tetapi
menjadi luar biasa apabila jumlah kerugian begitu besar. Karena, dampak dari
kerugian bisa diminimalisir. Untuk meminimalisir itu ada beberapa langkah yang
harus dilakukan pertama adalah ketersediaan armada damkar yang maksimal. Untuk
Sibolga, ditinjau dari letak geografis Sibolga yang relatif kecil dan pemetaan
Sibolga yang meniru gaya tata ruang kota di Washington DC, AS maka, setidaknya
kota ini harus memiliki 6 unit mobil damkar yang berfungsi dengan baik. Karena
kebakaran tidak selalu terjadi siang hari maka untuk maksimalisasi
penanggulangan musibah kebakaran pada malam hari Pemko Sibolga perlu melengkapi
armada damkarnya dengan 2 unit mobil penerangan yang berfungsi memberi cahaya yang cukup dilokasi
kebakaran.
Kedua, tata ruang wilayah
khususnya daerah yang sarat dengan pemukiman penduduk harus mendapat perhatian
serius. Lokasi-lokasi yang tingkat kerapatan pemukimannya sangat padat harus
bisa ditata ulang sehingga memungkinkan untuk dilalui armada damkar. Tentu,
bila kebijakan ini tidak disetujui oleh pihak-pihak yang terkena dampak reposisi
pembangunan ini. Disinilah diminta aparat pemerintah bekerja dengan arif dan
bijaksana bagaimana caranya agar reposisi pemukiman padat penduduk tidak selalu
harus memakai jurus relokasi. Pemko bisa meniru konsep Jokowi yang ingin
membangun daerah kumuh Jakarta berbasis apartemen/ rumah susun. Tentu,
penyebaran penduduk yang semula menyebar keseluruh penjuru arah mata angin
berubah menjadi keatas, dengan demikian akan banyak lahan kosong yang bisa
digunakan untuk membuka jalan baru dan pembangunan sarana penunjang lainnya.
Tata ruang wilayah menjadi lebih
elegan sebenarnya mutlak dilakukan oleh pemerintah kota Sibolga. Karena,
berkaca dari provinsi DKI Jakarta yang kekuatan Damkarnya mencapai ratusan
armada ternyata tidak mampu meminimalisir kerugian bencana kebakaran. Kenapa?
Karena umumnya lokasi kebakaran di Jakarta adalah daerah yang padat penduduknya bahkan hanya bisa dilalui oleh sepeda motor.
Lalu, bagaimana mungkin armada kebakaran bisa masuk langsung kejantung lokasi
kebakaran sementara jalan untuk itu tidak tersedia dengan baik. Oleh karena
itu, Perlahan tapi pasti, Pemko harus merekontruksi ulang tata ruang kota
Sibolga. Daerah-daerah rawan seperti Kelurahan Aek Parombunan, kelurahan aek
habil, kelurahan Pasar Belakang, Kelurahan Aek Muara Pinang, Ketapang,
Kelurahan Pancuran Bambu, Kelurahan Pancuran Dewa dan Hutabarangan harus
mendapat perhatian khusus pemko Sibolga. Wilayah-wilayah tersebut diatas
memiliki titik rawan terhadap musibah kebakaran.
Ketiga, Optimalisasi peran
masyarakat. Inilah yang paling penting dan harus menjadi perhatian kita semua
khususnya pembaca sekalian. Harus kita catat bahwa turut serta membantu musibah
kebakaran adalah hal yang manusiawi dan mutlak harus dilakukan. Tetapi dalam
memberikan bantuan ada batasan-batasan yang harus diperhatikan. Antara
masyarakat dan petugas Damkar harus bersinergi dan saling mengerti tugas dan
tanggungjawab masing-masing. Selama ini, keberadaan Damkar Sibolga nyaris tidak
punya arti sama sekali, oleh karena setiap peristiwa secara spontan masyarakat
akan mengambil alih tugas yang harusnya dilakukan oleh petugas damkar itu
sendiri. Jadi jangan heran bila mobil damkar datang kelokasi hanya sekedar
mengantarkan air selanjutnya masyarakat langsung mengambil alih. Padahal,
orang-orang yang terlatih adalah petugas damkar itu sendiri, sedangkan
masyarakat kurang mengerti sama sekali mekanisme menjinakkan sijago merah.
Disetiap peristiwa tarik menarik
selang air sering kali terjadi, alhasil waktu habis hanya untuk memperebutkan
selang sementara api semakin membesar. Parahnya lagi, arah tembakan air pun
tidak tepat sasaran. Masyarakat tergoda oleh gejolak api yang begitu besar sehingga
lupa bahwa dalam menangulangi kebakaran yang pertama sekali dilakukan adalah
melokalisir api agar tidak menyebar kemana-mana. Harus diapresiasi memang
partisipasi masyarakat yang besar ini, akan tetapi cara ini ternyata menjadi
penghalang untuk petugas menjalankan peranannya. Sekedar bertukar pikiran,
dalam penanggulangan bencana kebakaran kita harus memperhatikan sistem P3MK
(Pertolongan Pertama Pada Musibah Kebakaran).
Untuk masyarakat ketika musibah
kebakaan terjadi yang harus dilakukan adalah hal-hal berikut ini. Pertama,
selamatkan segala harta benda yang bisa diselamatkan dengan cepat. Kedua,
lakukan upaya pemadaman api dengan cara apa saja sambil menunggu petugas damkar
tiba dilokasi. Dan ketiga, ketika petugas damkar telah tiba, menjauhlah dari
lokasi dan sterilkan lokasi dalam radius 50 meter dan selanjutnya serahkan
pemadaman api kepada petugas. Para pemuda setempat, OKP dan Ormas yang ada
harus bisa memerankan diri dengan maksimal. Petugas harus diberi ruang
seleluasa mungkin untuk bekerja. Berkaca dari negara-negara maju, nyaris tidak
pernah kita saksikan dalam penanggulangan bahaya kebakaran masyarakat umum
terlibat langsung. Semua menjadi tanggungjawab petugas.
Untuk itu, kedepan sepertinya
masyarakat harus memahami peran serta masing-masing dalam menyikapi musibah
kebakaran. Secara umum bisa kita simpulkan bahwa pemerintah berkewajiban
menyiapkan fasilitas armada damkar dengan maksimal. Petugas damkar harus
orang-orang yang terlatih dan terus berlatih dan bila perlu disetiap kelurahan
telah terbentuk tim damkar yang terlatih membantu petugas dilapangan dan ketiga
masyarakat yang membantu diluar petugas yang telah ditunjuk berperan aktif
sebelum petugas damkar tiba dilokasi. Ketiga elemen penting ini bisa kita sebut
dengan istilah peranan segitiga sama sisi. Sama karena pemerintah, petugas dan
masyarakat punya peranan yang sama besarnya dalam meminimalisir kerugian dari
musibah kebakaran.
Oh iya, ada satu yang harus
diperhatikan khususnya Pemko Sibolga. Melengkapi armada kebakaran merupakan
sebuah keharusan. Kekuatan Damkar tidak selalu diukur dari berapa unit armada
yang tersedia tetapi juga diukur dari sejauh mana sumber daya manusia yang
tersedia untuk menanggulangi itu. Oleh karena itu, sebagai kota yang rawan
dengan bahaya kebakaran, Pemko sepertinya perlu membentuk relawan bahaya
kebakaran disetiap kelurahan yang ada. Pembentukan itu harus diiringi dengan
pelatihan yang maksimal. Relawan ini tentu tidak bersifat abadi. Cepat atau
lambat ketika pemko Sibolga telah mampu memfasilitasi armada Damkarnya dengan
maksimal maka dengan sendirinya para relawan ini pun bisa dibubarkan. Semoga!
Penulis adalah Ketua Umum Gerakan
Mahasiswa Sibolga Indonesia (Germasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar