Selasa, 23 Oktober 2012

FOBIA ALA PENGUASA


Oleh : Samsul Pasaribu*
Anda Fobia terhadap sesuatu? Tidak usah khawatir karena tulisan kali ini tidak bercerita tentang rasa ketakutan pembaca terhadap tikus, nenas, pisang, pintu, lift atau apa pun itu. Kali ini penulis hanya ingin berbagi informasi perihal Fobia yang belakangan ini sering mengidap para penguasa kita. Apa itu? Fobia terhadap kritik.

Sebelum kita berbicara tentang benang merah antara fobia, kritik dan penguasa ada baiknya penulis menjelaskan lebih dahulu apa itu Fobia. Dalam Wikifedia dijelaskan bahwa Fobia (gangguan anxietas fobik) adalah rasa ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena. Fobia bisa dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Bagi sebagian orang, perasaan takut seorang pengidap Fobia sulit dimengerti. Itu sebabnya, pengidap tersebut sering dijadikan bulan bulanan oleh teman sekitarnya.
Ada perbedaan "bahasa" antara pengamat fobia dengan seorang pengidap fobia. Pengamat fobia menggunakan bahasa logika sementara seorang pengidap fobia biasanya menggunakan bahasa rasa. Bagi pengamat, dirasa lucu jika seseorang berbadan besar, takut dengan hewan kecil seperti kecoak atau tikus. Sementara di bayangan mental seorang pengidap fobia subjek tersebut menjadi benda yang sangat besar, berwarna, sangat menjijikkan ataupun menakutkan.

Dalam keadaan normal setiap orang memiliki kemampuan mengendalikan rasa takut. Akan tetapi bila seseorang terpapar terus menerus dengan subjek Fobia, hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya fiksasi. Fiksasi adalah suatu keadaan dimana mental seseorang menjadi terkunci, yang disebabkan oleh ketidak-mampuan orang yang bersangkutan dalam mengendalikan perasaan takutnya. Penyebab lain terjadinya fiksasi dapat pula disebabkan oleh suatu keadaan yang sangat ekstrem seperti trauma bom, terjebak lift, dikritik terus menerus (red) dan sebagainya.


Seseorang yang pertumbuhan mentalnya mengalami fiksasi akan memiliki kesulitan emosi (mental blocks) dikemudian harinya. Hal tersebut dikarenakan orang tersebut tidak memiliki saluran pelepasan emosi (katarsis) yang tepat. Setiap kali orang tersebut berinteraksi dengan sumber Fobia secara otomatis akan merasa cemas dan agar "nyaman" maka cara yang paling mudah dan cepat adalah dengan cara "mundur kembali"/regresi kepada keadaan fiksasi. Kecemasan yang tidak diatasi seawal mungkin berpotensi menimbulkan akumulasi emosi negatif yang secara terus menerus ditekan kembali ke bawah sadar (represi). Pola respon negatif tersebut dapat berkembang terhadap subjek subjek fobia lainnya dan intensitasnya semakin meningkat. Walaupun terlihat sepele, “pola” respon tersebut akan dipakai terus menerus untuk merespon masalah lainnya. Itu sebabnya seseorang penderita fobia menjadi semakin rentan dan semakin tidak produktif. Fobia merupakan salah satu dari jenis jenis hambatan sukses lainnya.

Dalam dunia nyata ada dua jenis Fobia. Pertama adalah apa yang disebut dengan Fobia sosial. Dikenal juga sebagai gangguan anxietas sosial, fobia sosial adalah ketakutan akan diamati dan dipermalukan di depan publik. Hal ini bermanifestasi sebagai rasa malu dan tidak nyaman yang sangat berlebihan di situasi sosial. Hal ini mendorong orang untuk mengindari situasi sosial dan ini tidak disebebabkan karena masalah fisik atau mental (seperti gagap, jerawat atau gangguan kepribadian) melainkan cenderung dipengaruhi faktor physicologis seseorang seperti egois, tamak, serakah dan lain sebagainya. 

Yang kedua adalah Fobia Spesifik. Yaitu Fobia yang  ditandai oleh ketakutan yang tidak rasional akan objek atau situasi tertentu. Gangguan ini termasuk gangguan medik yang paling sering didapati, namun demikian sebagian kasus hanyalah ringan dan tidak perlu mendapatkan pengobatan. Pada fobia terjadi salah-pindah kecemasan pada barang atau keadaan yang mula-mula menimbulkan kecemasan itu. Jadi terdapat dua mekanisme pembelaan, yaitu salah-pindah dan simbolisasi. Ada banyak macam fobia yang dinamakan menurut barang atau keadaan. Apabila berhadapan dengan objek atau situasi tersebut, orang dengan fobia akan mengalami perasaan panik, berkeringat, berusaha menghindar, sulit untuk bernapas dan jantung berdebar. Sebagian besar orang dewasa yang menderita fobia menyadari bahwa ketakutannya tidak rasional dan banyak yang memilih untuk mencoba menahan perasaan anxietas yang hebat daripada mengungkapkan ganguannya.

Uraian Fobia diatas tentu sudah bisa memberi pemahaman pada kita bahwa rata-rata raja-raja kecil didaerah telah terjangkit Fobia Sosial yang rentan terhadap kritik keras terhadap kinerja aparatur pemerintah. Belakangan ini, banyak raja daerah yang kebakaran jenggot bila melihat pemberitaan negatif akan kinerja aparaturnya. Bahkan, kelainan Fobia Sosial ini bisa berubah menjadi Fobia Spesifik dimana para penguasa akhirnya ketakutan membaca dan menerima informasi dari media baik cetak maupun eletronik yang kebetulan aktif memberitakan sisi buruk sebuah pemerintahan.

Oleh karena itu, jangan heran kalau dibeberapa daerah ada kepala pemerintahannya yang melarang beredarnya media tertentu dilingkungan kerjanya. Bahkan tak jarang pula, kepala daerah memboikot media tertentu dengan alasan normatif seperti tidak independent, berita tidak berimbang dan lain sebagainya. Padahal pemboikotan itu sendiri lebih kepada faktor Fobia terhadap kritik dan media.

Tentu saja sikap dan langkah seperti ini sangat disesalkan oleh pengamat-pengamat kebijakan termasuk golongan pemuda yang gelora mudanya pro-aktif bersuara untuk kepentingan rakyat. Karena dalam kacamata anak muda, termasuk para pengamat kebijakan, Kritik itu sendiri merupakan bagian dari pembangunan. Jangankan berpikir menurut logika manusia, ketika Tuhan Yang Maha Esa ingin menciptakan manusia dipermukaan bumi pun, Malaikat-Nya justru mempertanyakan rencana  itu dan berpandangan bahwa langkah itu justru berdampak negatif terhadap keseimbangan alam (manusia cenderung merusak-red). Akan tetapi, Tuhan justru menanggapi kritikan itu dengan bijaksana seraya memberi jaminan kepada makluk lainnya bahwa Dia lebih tahu daripada para malaikat.

Beberapa waktu yang lalu, penulis kebetulan mengikuti salah satu acara kepemudaan yang dihadiri oleh kepala daerah tertentu. Dalam satu kesempatan kepala daerah merasa kontradiktif akan hakekat pemuda sebagai bagian dari pembangunan dengan pemuda sebagai mitra kritis pembangunan. Katanya, statemen seperti ini jelas-jelas bertolak belakang oleh karena disatu sisi pemuda diminta aktif membangun tetapi disisi lain pemuda justru mengkritik pembangunan itu sendiri. Dengan demikian, secara tegas kepala daerah meminta kaum muda untuk memilik menjadi bagian dari pembangunan atau kritikus pemerintah. Jelasnya lagi, sebagai kepala daerah pilihan itu perlu agar bisa dibedakan mana kawan dan mana lawan.

Tentu saja dalam kacamata penulis, pola pikir seperti ini tidak tepat seratus persen. Karena seperti dijelaskan diatas, kritik itu sendiri sebenarya bagian dari pembangunan yang merata dan berkeadilan. Kritik lahir dalam rangka menyeimbangkan antara kebutuhan pemerintah dengan rakyat yang dipimpinnya. Bahwa dalam menyampaikan kritik terkadang melalui cara-cara yang tidak tepat maka itu adalah pilihan objektif yang dihasilkan kritikus untuk menghasilkan dua manfaat sekaligus dalam menyampaikan kritik konstruktifnya. Manfaat itu adalah, pesan diterima oleh penguasa dan masyarakat tahu perkembangan dan realita yang sedang terjadi sebenarnya.

Sejatinya adalah, kepala daerah membuka diri terhadap kritik apa pun dan atas kepentingan apa pun juga. Sama halnya dengan setiap kepala daerah berhak pula untuk menjawab atau tidak sebuah kritik yang sedang dilontarkan. Akan tetapi sebuah kata bijak sepertinya perlu kita pahhami bersama bahwa “Jika anda dikritik golongan tertentu maka saat itu sebenarnya anda sedang diajari untuk saling menghargai”. Oleh karena itulah, berpikir bersama tentu lebih baik dari pasda berpikir sendiri. Sama halnya dengan bekerja bersama tentu akan lebih baik dari pada bekerja sendiri.

Penguasa baik pusat maupun hingga kedaerah, tidak perlu takut yang berujung Fobia terhadap kritikkan dari elemen masyarakat manapun. Dan penguasa juga tidak perlu mengajak, mendorong atau memobilisasi golongan tertentu untuk menentukan pilihan tertentu pula seperti yang terjadi disenayan, apakah mau menjadi bagian koalisi ataukah oposisi. Karena, kekuasaan yang tanpa kritik cenderung korup. Oleh karena, saya, anda dan kita semua telah bersepakat kalau pembangunan harus berjalan merata dan berkeadilan, untuk itu kita perlu kritik konstuktif guna memagari setiap kebijakan yang pro terhadap pembangunan dan anti terhadap kesewenang-wenangan. Semoga.

Penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)

Tidak ada komentar: