Oleh : Samsul Pasaribu
Hampir sepekan sudah kita “menikmati” prahara yang menimpa
partai politik sekelas PKS. Bersih, agamais dan profesional yang menjadi slogan
sama saja dengan “katakan tidak pada korupsi” ala partai Demokrat. Sama-sama
tidak punya ruh dan hanya menjadi
pepesan kosong.
Belakangan ada fenomena aneh dalam sistem kepartaian kita.
Keanehan itu terlihat pada kinerja partai politik yang berbanding terbalik
dengan upaya mereka mendongkrak elektabilitas partai di pemilu yang akan
datang. Fenomena ini jelas semakin mempertegas kalau partai politik sebenarnya
hanya mengorientasikan partainya pada kekuasaan semu dan tidak sama sekali
bukan untuk interest of the people.
Prahara yang menimpa setiap partai politik dewasa ini
menjadi bumerang baru bagi sistem demokrasi nasional dimasa yang akan datang.
Tingkat partisipasi rakyat dalam setiap pemilu memiliki kencederungan menurun
ternyata tidak mendorong partai politik mana pun untuk memperbaiki kinerjanya.
Kepentingan partainya jelas mendominasi dan mengalahkan suara-suara rakyat yang
semakin redup bahkan hilang tanpa bekas.
Data diatas tentunya tidak diharapkan oleh siapa pun
khususnya partai politik karena pundi-pundi suara yang ada pada rakyat
sejatinya menjadi prioritas parpol untuk meraupnya. Dilihat dari fenomena
penurunan partisipasi pemilih ini yang dalam kurun waktu 10 turun sebanyak 20 persen, maka untuk pemilu
2014 yang akan datang LSI memprediksi partisipasi peserta pemilu hanya 60
persen. Tentu saja angka ini buruk untuk demokrasi. Bahkan dilihat dari semakin
terkuaknya “kebobrokan” partai politik dewasan ini, walaupun oleh LSI
partisipasi pemilu akan mencapai 50 persen pada pemilu 2019, tetapi hemat
penulis, pada 2014 ini pun peluang itu besar terjadi.
Kasus korupsi yang banyak mejerat kader partai politik
bahkan hingga level ketua umum jelas menjadi salah satu poin yang mempengaruhi
elektabilitas parpol di pemilu 2014 yang akan datang. Celakanya adalah,
meskipun hingga saat ini belum semua partai yang kadernya terlibat kasus
korupsi, tetapi respon masyarakat yang men-generalisasi parpol saat ini
berdampak buruk bagi partai-partai yang belum dapat giliran korupsi.
Prahara PKS misalnya. Penulis memandang, dampaknya tidak
hanya dirasakan oleh partai “dakwah” ini tetapi juga partai lainnya. Awalnya,
masyarakat punya setitik harapan akan eksistensi partai ini yang menyatakan
diri sebagai partai bersih, agamais dan profesional. Tetapi, akhirnya kredit
poin itu buyar pasca penetapan presiden partainya sebagai tersangka oleh KPK.
Memang, kasus LHI oleh PKS dianggap sebagai momentum untuk
menyatukan kader dan pengurus. Tetapi harus dicatat, kader hanyalah secuil
pemilik suara dari ratusan ribu pemilik suara di Indonesia. Berkaca dari pemilu
legislatif tahun 2009 lalu dimana PKS mampu meraup 7,5 persen suara dan lulus
parlementary threshold secara nasional maka andai pada saat itu para kader PKS
tidak memilih sekali pun PKS tetaplah lulus threshold secara nasional. Artinya
jumlah kader partai tentu tidak sebanding dengan yang bukan kader or simpatisan
sehingga andai pun para kader partai yang mengatakan mereka tetap solid dan
utuh tidak serta merta menjadi cerminan kalau rakyat pemilih partai tersebut
tetap solid dan utuh.
Hanya ada dua hal yang akan terjadi terkait merosotnya moral
partai dan hubungannya dengan partisipasi pemilu. Pertama adalah para pemilih
akan melih golput di pemilu berikutnya atau mereka akan mengalihkan suaranya
kepartai lain yang minim dari kasus-kasus yang menjadi sorotan media. Tetapi
berkaca dari kesalah partai-partai saat ini, peluang pemilih berpindah ke
partai lain sangat kecil. Kekecewaan terhadap partai politik apa lagi yang
sering berkoar-koar soal pemberantasan korupsi dan narkotika menimbulkan sifat
apatisme terhadap semua parpol.
Seperti yang diutarakan diatas bahwa penurunan persentase
peserta pemilu di 2014 yang akan datang ditentukan oleh kinerja partai saat ini
maka, dilihat dari fenomena yang sering terjadi dimasyarakat bahwa simpati
rakyat akan turun terhadap partai tertentu bila terlibat perkara bahkan tanpa
bukti sekali pun maka, partai politik tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha.
Membersihkan partainya dari kader-kader yang pernah disebut dalam kasus-kasus
tertentu bahka sudah ditetapkan jadi tersangka sebaiknya “dilengserkan” saja.
Partai PKS dan Demokrat mungkin bisa menjadi pelopor
kebijakan ini. Sebagai partai yang sering disoroti terhadap kasus korupsi
belakangan ini, maka partai ini perlu “revolusi” besar untuk membersihkan
partainya dari kader-kader yang disinyalir bisa memicu konflik internal partai
dimasa yang akan datang. Kebijakan “bersih-bersih” partai ini setidaknya
memberikan bukti bahwa langkah kongkrit ini diambil untuk menegaskan kalau
partai dimaksud benar-benar anti terhadap tindak pidana korupsi dan
kawan-kawannya seperti suap dan gratifikasi. Semoga.
Penulis adalah Ketua Umum PB Germasi dan Pemerhati Sosial
Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar