Senin, 14 Februari 2011

HOSNI MOBARAK SUSUL PAK HARTO


Oleh Samsul Pasaribu*
Hosni Mobarak dan Alm. Soeharto
22 Mei tahun 1998, tepatnya sehari setelah mantan Presiden RI ke-2 Almarhum Soeharto mundur dari jabatannya pasca berkuasa 32 tahun seorang guru PPKN disalah satu SMA bertanya pada penulis, apa yang anda rasakan ketika orangtua anda diminta turun oleh jutaan rakyat negeri ini dan ketika itu terpenuhi jutaan kepala bersujud syukur dan berurai air mata menyambut kemenangan yang mengatasnamakan rakyat Indonesia?. Jujur saat itu penulis tak bisa menjawabnya.
Kini setelah 13 tahun berlalu pemandangan yang sama kembali menghiasi layar kaca televisi kita. Pemandangan itu tak ada beda kecuali pada tempat, orang dan waktunya. Ya, di Mesir oleh rakyat Mesir dan dimulai sejak 25 Januari 2011. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Revolusi Mesir itu akhirnya “memaksa” sang presiden mundur setelah berkuasa 30 tahun lamanya. Bila kita mencermati detik demi detik gejolak Mesir, maka kita akan temukan tak ada beda Revolusi Mesir 2011 dengan Reformasi Indonesia 1998. Keduanya menuntut turunnya sang presiden yang kebetulan keduanya juga sama-sama mantan tentara dan keduanya juga sempat mengatakan menolak untuk mundur. Hal yang sama lainnya walaupun mungkin tidak begitu berhubungan, keduanya juga sama-sama sedang menyiapkan anaknya untuk menggantikan dirinya setelah tidak berkuasa lagi.
Kesamaan ini bisa saja kita sebut kebetulan belaka. Tapi percayalah, kekuasaan selalu identik dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Kekuasaan juga sering diterjemahkan dengan istilah the longer in power is the better dimana semakin lama berkuasa maka akan lebih baik. Alhasil, tidak sedikit penguasa yang terjebak dibalik kata kekuasan. Setidaknya dunia telah mencatat beberapa nama para diktator setiap jaman. Mulai dari Hitler hingga Stalin, Fidel Castro hingga Soeharto atau mungkin Ben Ali hingga Hosni Mubarak. Semua hampir lengser dengan kasus yang sama, diturunkan oleh rakyatnya. Fenomena ini mengantar kita pada satu kesimpulan benarlah bahwa melihat kesuksesan seseorang tidak pada saat ia meraihnya, tapi lihatlah ketika ia akan mengakhirinya.
Bila kita mau belajar dari Hosni Mubarak, setidaknya beberapa hal yang harus menjadi perhatian bangsa ini adalah bahwa jabatan kepala negara/ kepala pemerintahan harus dinikmati sebagai bentuk sebuah pengabdian bukan pekerjaan. Bekerja untuk mengabdi tentu berbeda jauh dengan mengabdi untuk bekerja. Andai kepala pemerintahan diterjemahkan sebagai bentuk pengabdian, maka untuk mengabdi pada negera seseorang tidak harus menjadi kepala negara. Ada “ladang” lain yang bisa kita tanami sebagai manifestasi kecintaan terhadap bangsa dan negara. Namun, bila kepala negara/ pemerintahan diterjemahkan sebagai sebuah pekerjaan maka sejatinya seseorang hanya akan berhenti bekerja bila telah lanjut usia, di PHK dan dinilai tidak produktif lagi. Dari konteks ini, apa yang dialami oleh Hosni Mubarak dkk, lebih mengedepankan jabatan pentingnya sebagai sebuah pekerjaan daripada sebuah pengabdian. Alhasil, pola pikir semakin lama berkuasa semakin baik mengalami unhappy ending yang menyesakkan dada bagi siapa pun yang mengalaminya termasuk keluarga dan kroninya.
Belajar dari Hosni Mubarak inilah bangsa ini harus memahami bahwa sampai kapan pun jabatan presiden di negeri ber-Bhinneka ini harus dibatasi. Tak peduli sejujur dan seadil apa pun ia berkuasa. Atau sedekat apa pun ia dengan rakyat tidak bisa menjustifikasi sang penguasa bisa menjabat lebih dari dua periode. Karena semakin lama berkuasa, peluang untuk melenceng dari amanat penderitaan rakyat akan semakin besar.

*penulis adalah presiden mahasiswa Ikopin Bandung dan ketua umum Gerakan Mahasiswa Sibolga (Germasi)

Tidak ada komentar: