Jumat, 04 Februari 2011

10 Tahun DPR Tidak Naik Kelas

Oleh : Samsul Pasaribu
Dulu almarhum KH.Abdul Rahman Wahid (mantan presiden RI) pernah dengan tegas berkata DPR seperti taman kanak-kanak. Hal itu beliau sampaikan sudah 10 tahun yang lalu. Andai itu betul, maka seharusnya sekarang DPR minimal sudah duduk dikelas  IX SMA (SD 6 tahun + SMP 3 tahun dan SMA baru satu tahun). Tapi pasca pengusiran dua orang pimpinan KPK RI oleh Komisi III DPR RI, agaknya lembaga terhormat itu belum layak disebut “dewasa” dalam menyikapi persoalan. Mereka masih terlihat bagai sekumpulan anak-anak beranjak dewasa yang bernasib baik dan digaji dengan uang rakyat.
Pertanyaanya adalah salahkah DPR RI menolak Bibit dan Chandra? Tentu, lain lubuk lain ilalang, lain yang ditanya lain pula cara pandang. Umumnya (kecuali komisi III DPR RI) penolakan komisi III DPR ini menuai kekesalan beberapa tokoh nasional bangsa ini mulai dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin yang mengaku prihatin hingga Lembaga ICW yang menilai DPR RI salah kaprah dalam menerjemahkan kasus deponering Bibit dan Chandra.

Jika kembali ke undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada bab IV pasal 21 ayat (5) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif, maka apa yang dilakukan oleh komisi III DPR RI merupakan bentuk penghinaan kepada lembaga yang dibentuk lewat UU ini. Karena dalam kacamata hukum, semua unsur pimpinan KPK tidak berdiri sendiri tapi bekerja secara kolektif. Dengan kata lain, pengusiran yang dilakukan oleh komisi III sebenarnya juga mengusir pimpinan KPK RI yang lainnya. Itulah sebabnya pada pasal yang sama ayat (2) huruf (a) dan (b) ditegaskan  bahwa ketua KPK juga merangkap sebagai anggota begitu juga empat orang wakil ketua KPK lainnya mereka juga punya status yang sama yaitu anggota.
Dari pemahaman ini saja, orang awam sekali pun pasti bisa mengerti bahwa kehadiran pimpinan KPK ke DPR bukanlah secara pribadi-pribadi melainkan hadir secara  kolektif sehingga masalah apa pun yang terjadi di DPR merupakan masalah bersama bukan hanya masalah Bibit dan Chandra.
Penolakan DPR yang diakibatkan kasus Bibit dan Chandra yang di deponeering oleh Kejaksaan Agung, sejatinya tidak dipertanyakan kepada yang bersangkutan. Akan tetapi kepada lembaga yang berhak mengeluarkan deponeering tersebut. Bila DPR menolak mereka (Bibit dan Chandra) karena kasus tersangka yang melekat padanya, maka sejatinya DPR juga melakukan hal yang sama terhadap  Panda Nababan yang telah ditetapkan sebagai tersangka jauh hari sebelum ditangkap oleh KPK. Namun, sebaliknya justru terjadi. Kendati politisi PDI-P ini punya “stempel” tersangka, Panda Nababan tetap bisa ikut sidang-sidang di komisi III DPR.
Agaknya kedepan komisi III yang notabenenya komisi yang membidangi hukum bisa lebih intropeksi diri. Pembenahan kedalam tentu akan lebih baik untuk memunculkan citra yang baik pula dimasyarakat. Kita khawatir, mereka yang kita anggap paling paham tentang hukum justru memutar balik hukum untuk kepentingan mereka. Saat ini kita kembali berdecak kagum pada mantan presiden Gusdur. DPR yang katanya dulu seperti taman kanak-kanak setelah sepuluh tahun tidak juga naik kelas. Semoga ini bukan jadi bukti baru bahwa DPR kita tak lagi beretika

*penulis adalah presiden Mahasiswa IKOPIN Bandung dan Ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga (Germasi)

Tidak ada komentar: