Kamis, 10 Maret 2011

Benarkah Rakyat Berdaulat?


Oleh: Samsul Pasaribu*
wakil rakyat di senayan
 UUD 1945 Jelas-jelas menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat. Dalam hukum konstitusi dan internasional, kedaulatan diterjamahkan sebagai hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan atau masyarakat. Bila demikian adanya maka, rakyatlah yang memiliki hak itu. Akan tetapi lain lubuk lain ilalang, lain aturan lain pula penerapan. Lantas, sudahkah rakyat berdaulat?
Mengacu pada dinamika perpolitikan nasional kita, kedaulatan rakyat yang telah di jamin oleh UUD 1945 saat ini adalah kedaulatan semu. Disebut semu karena rakyat yang harusnya punya kewenangan penuh mengatur pemerintahannya sendiri justru balik diatur oleh orang-orang yang mengatasnamakan rakyat dibalik kepentingannya. Membuktikan ini tidak perlu melakukan penelitian yang akan menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Kita cukup melihat para wakil kita di senayan yang bebas melakukan apa saja dan mencaplok kata “rakyat” untuk menguatkan argumentnya. Kepentingan yang sebenarnya lebih banyak menguntungkan individu dan partainya akan diperjuangkan atas nama rakyat. Artinya, rakyat dijadikan objek untuk memuluskan tujuannya.

Berkaca dari dinamika yang ada selama ini, kedaulatan semu yang dimiliki oleh rakyat negeri ini dapat kita lihat dalam beberapa tata aturan yang sudah berjalan. Pertama adalah kedaulatan rakyat dalam menentukan presidennya. UUD 1945 menegaskan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat. Kita pasti sudah tahu kenapa harus dipilih langsung oleh rakyat. Jawabannya tentu saja agar pemimpin bangsa ini benar-benar mendapat mandat mayoritas rakyatnya. Sehingga akan terwujud pemerintahan yang berwibawa murni pilihan rakyat. Tapi, benarkah demikian bahwa bila presiden di pilih langsung oleh rakyat akan melahirkan pemerintahan yang kuat dan berwibawa? Jawabannya tentu saja tidak. Karena walaupun dipilih langsung oleh rakyat, tetapi DPR bisa memberhentikan presiden dan wakil presiden ditengah jalan. Maka, kembali kepentingan politik dan partai yang nomor wahid ketimbang kepentingan rakyat. Karena kebiasaan para politisi senayan adalah mengatasnamakan rakyat untuk kepentingannya.
Selama presiden dan wakil presiden bisa diberhentikan oleh DPR/MPR maka kendatipun 100 persen rakyat negeri ini kompak memilih satu pasang presiden/ wakil presiden tetap saja kekuatan rakyat yang katanya berdaulat itu sia-sia bila berhadapan dengan kekuatan politik senayan.
Disinilah letak kesemuan kedaulatan itu. Rakyat di suruh memilih langsung presiden dan wakil presidennya. Akan tetapi ketika presiden di duga melanggar konstitusi (ingat diduga yang belum tentu benar) dengan mudahnya DPR/MPR akan menurunkannya. Padahal bila memang rakyat berdaulat penuh, yang harus dilakukan adalah referendum apakah rakyat masih menginginkan sang presiden tetap berkuasa atau tidak mengingat yang mengangkannya dahulu adalah rakyat.
Yang kedua adalah kita mengetahui seluruh anggota DPR/DPD RI di pilih langsung oleh rakyat. Namun, jika dalam perjalanannya anggota DPR melenceng dari garis partai, bukan rakyat yang menurunkannya tapi justru partai. Kembali kedaulatan semu terjadi disini. Dimana partai ternyata punya hak penuh untuk membatalkan pilihan rakyat hanya karena perbedaan cara pandang. Kasus yang di alami oleh Lili Wahid misalnya (F-PKB) yang sejak kasus century dan pajak berseberangan dengan kebijakan fraksinya, kini Lili Wahid terancam di recall. Nah, jika ujung-ujungnya partai politik tetap menjadi penguasa yang sesungguhnya di negara ini, maka sebaiknya UUD 1945 Pasal (2) yang berbunyi kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar sebaiknya kita rubah menjadi Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut kebijakan partai politik masing-masing di DPR. Hehe..

*presiden mahasiswa Ikopin dan ketua umum PB Germasi

Tidak ada komentar: