Selasa, 08 Maret 2011

Dendam Sang Mantan Presiden


Oleh: Samsul Pasaribu*
Presiden dan Mantan Presiden RI
Pembaca jangan kaget dulu, karena judul diatas bukan judul sebuah film layar lebar atau sinetron yang biasa menghiasi layar kaca televisi kita. Namun, pengangkatan judul diatas menjadi kepala tulisan ini semata-mata didasarkan atas dinamika perpolitikan nasional kita yang tidak pernah berhenti dan selalu berlajut dari satu kasus ke kasus selanjutnya. Politik kita secara nasional tak obahnya seperti sinetron kejar tayang. Selesai satu season  lanjut ke season berikutnya, bahkan tak jarang sinetron kita tidak punya akhir cerita. Keberlanjutan itu pun dikarenakan alasan semu “Permintaan permirsa”.
Jika analogi ini dibawah keranah politk praktis bangsa kita saat ini, maka tepatlah politk kita memang politik layar kaca (baca: sinetron). Hal ini dikarenakan cerita yang dibangun oleh pihak pemerintah maupun oposisi tidak punya ujung yang jelas. Yang terjadi bukan selesai satu masalah lanjut kemasalah yang lain tetapi belum selesai satu masalah mari kita buat masalah yang lain. Namun, prolog diatas bukan menjadi topik bahasan kita kali ini. Penulis hanya akan mengupas tidak tuntas judul diatas  dendam sang mantan presiden.
Pasca kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, negara ini setidaknya telah mencatat 5 orang mantan presiden dan satu orang yang sedang menjabat saat ini. Dan ironisnya adalah proses pergantian setiap kepemimpinan itu diawali oleh rasa sakit hati yang mendalam yang oleh sejarah pun tidak pernah bisa membuktikan siapa yang disakiti dan tersakiti karena setiap pihak mengklaim ada di posisi yang benar.

Bung Karno
Proses pergantian Presiden RI Soekarno ke Presiden RI Soeharto diawali oleh fitnah Gerakan 30 September yang konon katanya didalangi oleh PKI. Saat itu Soeharto mendapat mandat penuh mengembalikan keadaan melalui supersemar. Entah iya atau tidak, yang jelas supersemar akhirnya ditetapkan sebagai tap.MPR dan mengangkat Soeharto menjadi penjabat Presiden RI menggantikan Soekarno. Soekarno pun konon katanya sakit hati karena dihianati oleh pak Harto.
Pasca berkuasa 32 tahun gelombang reformasi pun menggoyang pemerintahan Pak Harto. Rumitnya lagi, krisis moneter dan kepercayaan semakin memperparah keadaan. Kendati pak Harto telah membentuk panita reformasi sebagai upaya meredam tuntutan massa, namun amuk massa tidak juga surut. Alhasil, 21 Mei 1998 Pak Harto pun mengumumkan pengunduran dirinya dan hanya selang beberapa detik setelah mundur Pak Habibie yang saat itu wakil presiden dilantik menjadi presiden. Kendati terkesan mulus namun cerita dibalik itu justru menjadi misterius. Pak Harto curiga terhadap pak Habibie. Konon katanya pak Harto tidak berkeinginan untuk mundur. Tapi, desakan semakin kuat, diperparah lagi 14 Menteri/ Tokoh nasional menolak bergabung dipemerintahan pak Harto, dan penolakan itu katanya dipropokatori oleh Pak Habibie, entah iya atau tidak yang jelas pasca mundur Pak Harto tidak pernah mau bertemu dengan presiden Habibie baik ketika Habibie masih presiden maupun pasca lengser setahun kemudian. Lagi-lagi Pak Harto sakit hati dengan Habibie.

Pak Soeharto
Setelah LPJ Presiden Habibie ditolak oleh MPR, akhirnya pak Habibie mengurungkan niatnya maju menjadi kandidat presiden RI. Mantan menristek RI ini menjabat menjadi presiden hanya kurang lebih 1,5 tahun. Lebih tepatnya lagi Habibie hanya menjadi presiden masa transisi sebagai dampak tuntutan reformasi. Kendati demikian, diwaktu yang begitu singkat siotak jerman ini mampu membawa perubahan signifikan dalam tatanan kehidupan nasional kita khususnya diberinya ruang yang seluas-luasnya bagi pers/ media. Kendati ahli dalam hal hitung menghitung, tetapi Pak Habibie salah dalam memperhitungkan referendum timor-timor. Kesalahan itu pun dibayar mahal. 2001 Timtim cerai dari Indonesia.
Agak sulit memang mencari celah dimana sakit hatinya Pak Habibie pasca lengser dari kursi presiden. Tapi tidak salah pula bila kita katakan khusus untuk Pak Habibie beliau hanya sakit hati kepada DPR RI karena tidak menilai objectif LPJ nya dan penolak LPJ itu terkesan dipaksakan dan dorongan emosi saja. Dengan kata lain penolakan itu melepaskan diri dari kaidah-kaidah kebenaran dan fakta yang coba disampaikan oleh BJ.Habibie. Bila kembali pada sejarah, disamping sakit hati atas perlakuan DPR RI, Habibie masih membawa rasa sakit hati pasca menggantikan Pak Harto. Sakit hati karena selama menjadi presiden dan setelah lengser Pak Harto selalu menolak keinginan Habibie untuk bertemu bahkan hingga Pak Harto wafat 27 Januari 2008.
Kini kita bercerita Gusdur. Setelah pemilu pertama sejak reformasi 1998 digelar, Paripurna senayan pun menyepakati Gusdur sebagai presiden RI ke-4. Menangnya Gusdur juga tergolong sebagai kemenangan paling mudah dalam sejarah pemilihan presiden di negeri kita ini. Namun, kemudahan juga beliau rasakan saat akan lengser. Kendati saat terpilih mayoritas politisi senayan menjagokannya sebagai presiden, namun 20 bulan setelah berkuasa politisi senayan juga menjagokannya untuk lengser. Oleh Gusdur yang saat itu di impacment oleh DPR atas kasus Brunaigate menganggap upaya penggulingan itu sebagai tindakan inkonstitusional. Namun, sayang Gusdur berjuang sendiri. Megawati sendiri yang saat itu menjabat Wakil Presiden justru tidak sependapat dengan Gusdur.
Pak Habibie
Alhasil Mega bersedia dilantik di sidang paripurna MPR setelah mandat Gusdur dicabut. Gusdur pun menilai Megawati melakukan konsfirasi dengan ketua MPR yang saat itu di jabat oleh prof. Amien Rais untuk menjatuhkannya. Tindakan Mega juga disebut Gusdur sebagai penghinatan konstitusi. Kendati sempat bertahan di istana namun akhirnya tanggal 23 Juli 2001 Gusdur pun lengser. Pasca lengser, Gusdur tidak bertegus sapa dengan Mega. Dalam setiap kesempatan di televisi Gusdur selalu mengatakan upaya penggulingan pemerintahannya yang melibatkan Megawati sudah dimaafkan tapi tidak untuk dilupakan. Artinya sejarah kelam itu menjadi catatan kelam sang presiden yang bernama lengkap Abdul Rahman Wahid ini. Gusdur pun kembali sakit hati tidak hanya terhadap Mega tapi juga Amien Rais. Namun walaupun begitu, sifat kenegarawan Gusdur patut di apresiasi karena belakangan terutama 5 tahun menjelang wafatnya Gusdur sudah akur lagi dengan Amien dan Mega. Apakah itu Artinya Gusdur tidak sakit hati lagi? Jawabnya tentu saja tidak. Karena berdasarkan pernyataannya kejadian masa lalu sudah dia maafkan tapi tidak dia lupakan. Nah loe, berarti masih sakit hati kan? Hehe..

Pak Gusdur
Di senayan, 23 Juli 2010 sekitar pukul 17.30 Megawati pun mengucapkan sumpah jabatan sebagai presiden RI ke-5. Kendati menjadi yang kelima namun sejarah mencatatnya sebagai presiden RI wanita pertama di Indonesia sama dengan ayahnya, Bung Karno yang menjadi presiden RI pria pertama. Sebagai pelanjut presiden sebelumnya KH.Abdulrahman Wahid, Megawati hanya berkuasa 3,5 Tahun. Beliau didampingi oleh DR.Hamzah Haz yang secara kebetulan menjadi ketua umum PPP. Dalam pemerintahannya Megawati bisa disebut cukup mulus. Mulus karena beliau berhasil menyelesaikan tanggungjawabnya hingga habisnya masa bakti (2001-2004). Jika presiden sebelumnya selalu konflik dengan para pendahulunya. Tidak demikian dengan mbak Mega. Mbak Mega justru bersiteru dengan salah seorang menterinya Susilo Bambang Yudhoyono (Menkopulhukam RI). SBY merasa Megawati tidak maksimal memerankan fungsinya sebagai Menkopulhukam. Sehingga SBY konon katanya merasa tidak nyaman lagi berada dijajaran kabinet. Alhasil tanggal 11 Maret 2011, SBY menyatakan pengunduran dirinya. Tentu saja, tudingan SBY ini tidak bisa dibenarkan oleh Megawati. Perseteruan di Media pun terjadi. Konflik ini rupanya menjadi angin segar bagi pak SBY. Apalagi SBY pun memberanikan diri maju menjadi rival Megawati dalam pilpres 2004. Konflik sakit hati yang dipublikasikan media setiap hari mendongkrak popularitas SBY dikancah nasional. Banyak masyarakat yang bersimpati, dan muaranya adalah SBY yang saat itu berpasangan dengan Jusuf Kalla memenangkan pemilu presiden RI pertama secara langsung.

Mbak Megawati
Inilah asal muasal mbak Mega tidak bertegur sapa dengan pak SBY. Sejak tahun 2004 hingga tahun 2011 setidaknya Megawati hanya 3 kali bertemu dengan SBY secara tidak sengaja. Yaitu ketika pencabutan nomor kandidat pilpres 2009, debat kandidat dan ketika Barack Obama mengunjungi Indonesia. Setelah itu, tak ada moment yang bisa mempertemukan dua tokoh nasional ini. Megawati sepertinya begitu sakit hati (maklum perempuan, selalu mengutamakan perasaan), sehingga upaya merajut kembali silaturrahmi pasca konflik 2004 lalu yang dibangun SBY tidak pernah berhasil. Rasa sakit hati pun sepertinya semakin dalam ketika pemilu 2009 SBY kembali memenangkannya. Namun, kubu SBY sepertinya tidak pernah menyerah untuk merangkul mbak Mega agar berkenan harmonis kembali. Setiap ada issu reshuffle kabinet, maka tentulah PDI Perjuangan yang pertama sekali menjadi topik pemberitaan di Media, karena pemerintahan SBY selalu dengan semangat mengajak PDIP mau menjadi bagian pemerintah.

Pak Susilo Bambang Yudhoyono
Namun, Megawati kuekueh dengan pendiriannya menjadi oposisi dengan alasan sudah menjadi amanat kongres. Tentunya kita berharap alasan itu benar adanya. Tapi tidak salah juga bila kita sedikit curiga bahwa penolakan mbak Mega lebih kepada faktor sakit hati masa lalu. Padahal Mega harusnya belajar dari Almarhum Gusdur, yang legowo memaafkan dan kembali bersama pasca konflik yang sebebarnya tidak bermanfaat. Tapi itulah Megawati. Jiwa keibuannya mungkin membuat sang ibu menjadi begitu sensitif. Barang kali, pasca konflik 7 tahun lalu, ibu Mega pun enggan menyebut nama SBY. Wah, bila ini benar adanya berarti mbak Mega memang benar-benar sakit hati dengan Pak SBY.
Hal paling baru saat ini, issu reshuffle kabinet pasca hak angket pajak gagal di DPR RI. Pak SBY melalui kurirnya kembali mengajak mbak Mega bergabung di pemerintahan dan seperti biasa ajakan pun selalu ditolak. Namun, pak SBY berhasil merangkul suaminya Taufik Kemas dan anaknya Puan Maharani. Setidaknya kedua tokoh ini sering berkomunikasi dengan pak SBY. Lalu, pasca pak SBY berhasil membangun komunikasi dengan orang dalam mbak Mega, akankah mbak Mega tetap dalam pendiriannya mempertahankan sakit hatinya ketimbang jauh memandang kedepan untuk kebaikan keluarga dan partai. Atau Megawati mungkin ingin mengorbankan segala kesempatan yang telah terbuka untuk darah dagingnya hanya karena dua kata sakit hati terhadap SBY. Apa pun itu, yang jelas, publik menilai bahwa presiden RI ke-5 ini belum bisa menerima perlakuan masa lalu pak SBY yang sangat menyakitkan.
Kini, kita cerita pak SBY. Jenderal TNI (Purn) Dr.H. Susilo Bambang Yudhoyono, MA yang saat ini menjabat sebagai presiden RI ke-6. Penulis sempat berpandangan bahwa pasca pemilu 2009, SBY akan sakit hati dengan JK yang maju sendiri menjadi rivalnya. Namun, penulis sepertinya keliru. Kendati maju bersama sebagai saingan pilpres namun dalam pemerintahan SBY dan JK tetap harmonis. Mungkin, mau ngasih contoh sama rakyat negeri ini bahwa pemimpin itu harus seperti itu. Pasca pemilu dan SBY menang, SBY langsung di guncang oleh skandal bank century yang konon katanya melibatkan wakil presiden Budiono. Dan JK lagi-lagi ambil peran dalam konflik ini. Tapi SBY tetap tidak menunjukkan sakit hatinya (tapi dalam hati kita gak tau lho, hehe). Seperti halnya Gusdur, SBY tentu juga patut kita apresiasi. Karena sebagai pimpinan nasional, SBY mungkin sedang mengajari rakyat ini untuk tidak dendam dan legowo. Hal itu beliau lakukan dengan tetap terlihat akrab dengan JK dan tetap berusaha merangkul Megawati kendati pun selalu ditolak.
Nah, berdasarkan gambaran diatas, apakah SBY akan dicatat sebagai presiden RI pertama yang tidak punya sakit hati? Ops, tunggu dulu. Kelima presiden kita diatas baru sakit hati ketika akan lengser dan mengakhiri jabatannya. Pak SBY bisa saja saat ini belum sakit hati karena hingga hari ini semua harapan, keinginan dan kemauannya masih berpihak padanya. Tapi nanti menjelang akhir jabatan (kendati tidak boleh maju lagi) apakah pak SBY akan mengakhirinya dengan mulus atau akan ada konflik baru? Tentu ratusan juta rakyat negeri ini berharap itu tidak akan terjadi. Siapa pun itu termasuk musuh-musuhnya pak SBY sekali pun akan berharap SBY menjadi presiden RI pertama yang mengakhiri masa jabatannya tanpa konflik, sakit hati, dendam dan penyakit hati lainnya. Semoga!

*penulis ketua umum PB Germasi

Tidak ada komentar: