Senin, 21 Maret 2011

My Name Is Vandalism, I am Not a Terrorist

Jakarta - Ingat film My Name Is Khan? Tentu saja. Film bollywood ini mampu menyentuh hati dunia atas pesan moral yang coba disampaikan oleh Khan (Shah Rukh Khan) bahwa dia bukanlah seorang teroris. Cap itu sendiri otomatis melekat pada diri dan keluarganya yang kebetulan muslim pasca tragedi 11 September 2001 padahal, Khan sama sekali tidak tahu menahu dengan peristiwa yang menewaskan 2000 lebih jiwa ini.

Tapi kok jadi cerita film ini ya? Tenang saja. Penulis hanya mencoba menerangkan latar belakang pengambilan judul tulisan ini yang dipinjam dari film My name is Khan and I am not a terrorist.

Tulisan ini juga terinspirasi oleh dinamika kehidupan nasional bangsa kita yang punya musim-musim tertentu. Tidak hanya musim hujan, panas, kemarau, musim rambutan, musin durian, negara ini juga punya musim bencana alam, musim gempa, musim longsor, musim tsunami dan musim ledakan bom. Entah disengaja atau tidak tapi yang pasti 236 juta jiwa (sensus penduduk 2010) penduduk Indonesia sama merasakan fenomena alam diatas yang sepertinya tak kunjung berhenti.

Bila Jepang porak poranda dihantam tsunami dan ledakan PLTN di Fukhusima Jepang. Indonesia tidak mau kalah. Seakan ingin mengalihkan perhatian dunia terhadap gempa dan tsunami Jepang, oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab berusaha mencari perhatian media lewat ledakan bom dengan formula baru "Bom Buku". Kendati dirancang tidak untuk penghancuran total, namun dampaknya cukup dirasakan masyarakat yang menghadirkan rasa panik, kekhawatiran berlebihan dan (dampak positifnya) kewaspadaan.

Sejak tahun 2002 Indonesia sering diancam ledakan bom mulai dari skala besar, kecil hingga yang tak jadi meledak. Lantas, apakah setiap upaya-upaya teror (baca: pengerusakan) yang datang silih berganti selalu kita sebut dengan teror? Tentu setiap orang punya jawaban yang berbeda.

Perbedaan itu sendiri juga dimunculkan oleh physicolog Forensik pertama Indonesia, Reza Indragiri Amriel. Disaat mayoritas rakyat negeri ini satu suara menyikapi bom buku merupakan aksi teror, beliau justru menyebutnya sebagai sebuah aksi vandalism yang bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bermakna sebatas aksi pengerusakan saja. Ungkapan ini agaknya ada benarnya.

Kesan yang muncul saat mendengar kata teror dengan kata vandalism juga sangat berbeda. Physicolog forensik ini menuturkan, kendati sama-sama bertujuan memberi rasa takut dan ketidak nyamanan pada orang lain, namun kasus bom buku tidak masuk dalam ranah teror yang pelakunya akan disebut teroris. Bom buku tidak dirancak untuk membunuh dan melukai banyak orang, melainkan hanya sebatas mencederai dan memberi rasa takut. Indikator inilah yang oleh Reza Indragiri Amriel menggolongkan bom buku sebagai aksi vandalism.

Amerika Serikat sendiri, sebagai negara yang punya pengalaman terburuk dalam kasus teror tidak selalu menyebut serangan terhadap rasa aman sebagai aksi teror. Seperti serangan bom yang gagal di New York Times Square tahun 2010 lalu, presiden AS Barack Obama tidak latah menyebutnya sebagai aksi teror melainkan aksi vandalism. Sebutan ini justru berdampak pada respon masyarakat yang merasa nyaman dan tenang pasca upaya pengeboman itu.

Aksi vandalism yang disebut oleh Obama telah menghilangkan rasa khawatir akan tetapi tetap waspada bagi jutaan rakyat Amerika. Pelajaran yang dapat di petik disini adalah, sebagai bangsa yang tak pernah berhenti belajar dari sejarah pahit dan manis, para pemimpin bangsa ini baik sipil maupun militer, orang kaya maupun rakyat jelata harus bisa mengklasifikasikan setiap keadaan sebelum mengambil kesimpulan apakah itu tergolong aksi teror atau hanya sebatas upaya vandalism.

Ketepatan mengambil kesimpulan itu jadi penting karena sangat mempengaruhi langkah-langkah yang diambil masyarakat yang harapannya tidak menjadi paranoid tapi sebatas waspada dan selalu waspada.

Indonesia pada umumnya, mudah terpengaruh dengan pola pikir yang berkembang dewasa ini. Seperti kasus nuklir misalnya, Kendati dunia punya kenangan pahit atas ledakan nuklir di Hirosima-Nagasaki tahun 1945 silam tetapi tidak lantas menyimpulkan semua hal yang berhubungan dengan nuklir punya dampak layaknya Hirosima Nagasaki.

Ledakan Nuklir 1945 Hirosima, tidaklah sama dengan ledakan nuklir di Fukhusima Jepang 2011. Begitu juga halnya dengan ledakan bom di Bali tahun 2002, di kedutaan besar Australia 2004 dan dibelahan bumi lainnya tidak bisa disamakan dengan ledakan bom buku di utan kayu, di rumah dani atau diperumahan mewah kota wisata Jakarta.

Semua subtansinya memang memberikan rasa tidak nyaman namun respon kita terhadap semua aksi diatas juga harus berbeda. Yang terpenting adalah antara aparat dan rakyat selalu waspada. Memang, setiap aksi melahirkan sisi positif bagi bangsa ini. Rakyat dan aparat menjadi menyatu. Aparat menjadi lebih responsif, rakyat menjadi lebih melek terhadap apa saja, dan ini harus dipertahankan. Sejatinya, disaat ancaman terhadap rasa aman datang, bersamaan dengan itu datang pula kewaspadaan, kepekaan, kepedulian dan kesatuan antara rakyat dan aparat.

Yang kita takutkan adalah ketika rakyat dan aparat telah sama-sama waspada, tidak lama setelah itu rakyat menurunkan tingkat kewaspadaannya dan mempercayakannya pada aparat. Celakanya lagi, ketika rakyat telah mempercayakannya kepada aparat, aparat justru menurunkan kewaspadaannya. Hasilnya pun bisa ditebak, ketika rakyat dan aparat tak lagi kompak (baca : waspada) ancaman baru pun akan datang lagi. Ketika itu datang kita tinggal lihat apakah itu tergolong teror atau hanya vandalism.

*penulis adalah presiden mahasiswa Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin-Bandung) dan ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (germasi)

Samsul Pasaribu
Jl. Raya Jatinangor Km. 20,5 Gg. Plamboyan No. 13 Sumedang
syamsulpasaribu@yahoo.co.id
081370677022

sumber: Detik.com

Tidak ada komentar: