Senin, 05 November 2012

ETNIS PESISIR, Menunggu Kepunahan Sistemik



Oleh : Samsul Pasaribu*

Secara tidak sengaja, penulis membaca sebuah tulisan yang bercerita sejarah kebudayaan pesisir Sibolga/ Tapteng dari masa-kemasa. Tentu saja, dalam kesempatan ini penulis tidak akan bercerita tentang perjalanan sejarah itu secara detail. Cukuplah Bapanda Syafriwal Marbun yang bercerita sedikit demi sedikit hakekat pesisir itu kepada kita lewat tulisan-tulisannya.  Kebetulan penulis juga termasuk pembaca setia setiap artikel dan opini yang bercerita keberadaan kebudayaan pesisir dari kacama apa pun.

Kali ini, penulis hanya mencoba mengkaji dan menganalisa hakekat etnis pesisi saat ini yang mulai kehilangan jati dirinya. Dalam beberapa tulisan yang pernah penulis baca jelas terdapat beberapa informasi baru yang mungkin tidak semua tahu. Secara garis besar informasi baru itu akan penulis kelompokkan kedalam tiga topik pembahasan. Yang pertama adalah, etnis pesisir yang berikutnya melahirkan satu kebudayaan dan tradisi pesisir secara turun temurun ternyata tidak memiliki marga. Keberadaan mereka persis seperti etnis Melayu yang menyebar ditanah Deli. Kendati sedikit data dan informasi yang penulis dapatkan akan asal-muasal keberadaan mereka, tetapi mayoritas tokoh dan budayawan pesisir bersepakat kalau warga yang menempati daerah Barus, Sorkam, Sibolga hingga ke Sibabangun dulunya tidak bermarga sama sekali.

Kehadiran marga-marga di tanah Pesisir Sibolga/ Tapteng dewasa ini tercipta oleh perkawinan penduduk setempat dengan warga pendatang yang mencoba peruntungan dipesisir pantai  barat Sumatera. Sejarah menceritakan kepada kita bahwa warga pesisir khususnya yang berdomisili di Barus dan Sorkam sangat ramah dan welcome terhadap setiap pendatang yang datang silih berganti. Keramah tamahan itu pulalah yang menjadikan Barus serta Sorkam menjadi tempat yang nyaman untuk disinggahi bahkan untuk beranak pinak. Banyak pendatang yang merantau  akhirnya memutuskan menjadi penduduk setempat. Itulah sebabnya, Sorkam yang kita kenal sekarang sebenarnya dahulunya bernama Rantau Panjang. Karena dihuni oleh orang-orang perantau yang akhirnya tinggal dalam waktu yang sangat panjang.


Keramah-tamahan yang melahirkan perkawinan antara penduduk setempat dengan para pendatang mengakibatkan terjadinya akulturasi kebudayaan. Sebahagian berpegang teguh terhadap tradisi dan kebudayaan yang ada sebahagian lagi mengikuti tradisi dan kebudayaan para pendatang. Akhirnya, penduduk setempat yang menikah dengan para pendatang dari suku/ etnis batak mulai melahirkan keturunan baru yang bermarga batak. Seiring berjalannya waktu, kita pun sampai kepada pembahasan kedua yaitu punahnya warga etnis pesisir. Penulis berani mengatakan bahwa orang-orang yang menjadi pelaku sejarah lahirnya etnis pesisir saat ini telah punah dan tidak ada sama sekali. Tentu saja, argumen ini belum bisa dipertanggungjawabkan secara nyata. Dan hal ini pun masih perlu didiskusikan dengan baik. Tetapi, fakta sementara yang coba penulis ungkapkan disini adalah bahwa berkaca dari sejarah masa lalu dimana masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tidak bermarga sama sekali, saat ini tidak ditemukan lagi di Sibolga dan Tapteng. Hampir semua warga Sibolga dan Tapteng memiliki nama keluarga/ marga yang dibawa turun temurun. Kalau pun ada yang tidak bermarga tentu dengan sangat mudah bisa kita ketahui identitasnya. Akan tetapi, sosok tidak bermarga yang oleh sejarah disebut sebagai masyarakat pesisir tempo dulu, tidak kita temukan lagi saat ini.

Kepunahan itu terjadi dalam kacamata penulis disebabkan oleh perkawinan antara penduduk setempat dan pendatang yang tidak berimbang atau sebanding. Bisa saja, penduduk setempat saat itu yang tentunya jumlahnya sedikit akhirnya putus generasi oleh karena dominasi etnis tertentu. Perkawinan yang terjadi dan melahirkan generasi baru dengan identitas baru pula akhirnya mengesampingkan generasi pertama. Perlahan-lahan tapi pasti, generasi baru pun melahirkan generasi yang benar-benar baru pula. Sayangnya, digenerasi  berikutnya keberadaan penduduk setempat yang merupakan etnis pesisir mulai tersingkirkan dan punah oleh tuntutan zaman.

Belakangan, satu-satunya yang tersisa dari etnis pesisir itu sendiri adalah kebudayaan, tradisi dan adat istiadatnya. Kebudayaan yang sudah dipegang teguh hampir seribu tahun ini, menjadi kenang-kenangan yang terus bisa disaksikan saat ini. Akan tetapi, tidak ada yang  bisa menjamin sampai kapan identitas ke-pesisiran ini akan terus ada hingga seribu tahun yang akan datang.

Hal yang sangat dikhawatirkan adalah secara sistemik pembumihangusan etnis ini pun sedang berjalan perlahan-lahan tetapi pasti. Bedanya adalah  bila dahulu kepunahan warga etnis pesisir terjadi tanpa disadari sama sekali dan berjalan secara alami, kini kepunahan itu dilakukan dengan cara-cara yang rapi, terprogram dan didukung oleh penguasa. Lihat sajalah bagaimana perhatian penguasa terhadap pemerhati kebudayaan, tokoh-tokoh adat, penggiat musik-musik tradisional pesisir dan lain sebagainya. Alat-alat dan perlengkapan tradisi pesisir itu lebih tua dari orang-orang yang memainkannya. Dengan alasan minat generasi mudah yang rendah dan tidak peduli, penguasa sepertinya ingin mengubur hakekat kebudayaan ini dan digantikan oleh kebudayaan dan tradisi yang lain.

Didepan mata kita telah terlihat nyata, bagaimana disetiap kesempatan dan peristiwa etnis induk di Sibolga dan Tapteng mulai dipinggirkan. Dominasi etnis tertentu yang notabenenya adalah etnis pendatang mulai menguasai setiap pagelaran kebudayaan dan tradisi yang ada. Celaka dua belasnya adalah, masyarakat pesisir yang dari zaman nenek moyang berbahasa beko-beko (bahasa pesisir) kini berubah menjadi bahasa golongan tertentu. Jelaslah sudah, tradisi dan kebudayaan pesisir saat ini lambat laun akan menyusul para penciptanya ribuan tahun silam. Kedepan jangan heran kalau tari-tarian pesisir diacara-acara adat perkawinan, penyambutan tamu kehormatan, tari persembahann dan lain sebagainya akan berganti dengan tor-tor. Salam kita yang dahulunya ahoi atau oi mamak akan berubah menjadi horas.

Tidak dalam rangka mengecilkan etnis yang sudah ada. Tetapi, etnis lain silahkanlah tetap hidup dan berkembang tetapi etnis induk tetaplah menjadi prioritas. Silahkan etnis lain tetap bergairah tetapi etnis pesisir tetaplah yang utama. Silahkan sambut pejabat dengan tor-tor, tetapi sebelum menortor biarlah tari persembahan pesisir kami lantunkan lebih dahulu. Silahkanlah menyapa dengan  horas, yahao’wo, manjua-jua atau apa pun itu tetapi sebelum itu semua sapalah saya, anda, kalian dan kita semua dengan ahoi atau oi mamak. Semoga.

Penulis adalah ketua umum PB Germasi

Tidak ada komentar: