Oleh : Samsul Pasaribu*
Secara tidak sengaja, penulis
membaca sebuah tulisan yang bercerita sejarah kebudayaan pesisir Sibolga/
Tapteng dari masa-kemasa. Tentu saja, dalam kesempatan ini penulis tidak akan bercerita
tentang perjalanan sejarah itu secara detail. Cukuplah Bapanda Syafriwal Marbun
yang bercerita sedikit demi sedikit hakekat pesisir itu kepada kita lewat
tulisan-tulisannya. Kebetulan penulis
juga termasuk pembaca setia setiap artikel dan opini yang bercerita keberadaan
kebudayaan pesisir dari kacama apa pun.
Kali ini, penulis hanya mencoba
mengkaji dan menganalisa hakekat etnis pesisi saat ini yang mulai kehilangan
jati dirinya. Dalam beberapa tulisan yang pernah penulis baca jelas terdapat
beberapa informasi baru yang mungkin tidak semua tahu. Secara garis besar
informasi baru itu akan penulis kelompokkan kedalam tiga topik pembahasan. Yang
pertama adalah, etnis pesisir yang berikutnya melahirkan satu kebudayaan dan
tradisi pesisir secara turun temurun ternyata tidak memiliki marga. Keberadaan
mereka persis seperti etnis Melayu yang menyebar ditanah Deli. Kendati sedikit
data dan informasi yang penulis dapatkan akan asal-muasal keberadaan mereka,
tetapi mayoritas tokoh dan budayawan pesisir bersepakat kalau warga yang
menempati daerah Barus, Sorkam, Sibolga hingga ke Sibabangun dulunya tidak
bermarga sama sekali.
Kehadiran marga-marga di tanah
Pesisir Sibolga/ Tapteng dewasa ini tercipta oleh perkawinan penduduk setempat
dengan warga pendatang yang mencoba peruntungan dipesisir pantai barat Sumatera. Sejarah menceritakan kepada
kita bahwa warga pesisir khususnya yang berdomisili di Barus dan Sorkam sangat
ramah dan welcome terhadap setiap pendatang yang datang silih berganti. Keramah
tamahan itu pulalah yang menjadikan Barus serta Sorkam menjadi tempat yang
nyaman untuk disinggahi bahkan untuk beranak pinak. Banyak pendatang yang
merantau akhirnya memutuskan menjadi
penduduk setempat. Itulah sebabnya, Sorkam yang kita kenal sekarang sebenarnya
dahulunya bernama Rantau Panjang. Karena dihuni oleh orang-orang perantau yang
akhirnya tinggal dalam waktu yang sangat panjang.
Keramah-tamahan yang melahirkan
perkawinan antara penduduk setempat dengan para pendatang mengakibatkan
terjadinya akulturasi kebudayaan. Sebahagian berpegang teguh terhadap tradisi
dan kebudayaan yang ada sebahagian lagi mengikuti tradisi dan kebudayaan para
pendatang. Akhirnya, penduduk setempat yang menikah dengan para pendatang dari
suku/ etnis batak mulai melahirkan keturunan baru yang bermarga batak. Seiring
berjalannya waktu, kita pun sampai kepada pembahasan kedua yaitu punahnya warga
etnis pesisir. Penulis berani mengatakan bahwa orang-orang yang menjadi pelaku
sejarah lahirnya etnis pesisir saat ini telah punah dan tidak ada sama sekali.
Tentu saja, argumen ini belum bisa dipertanggungjawabkan secara nyata. Dan hal
ini pun masih perlu didiskusikan dengan baik. Tetapi, fakta sementara yang coba
penulis ungkapkan disini adalah bahwa berkaca dari sejarah masa lalu dimana masyarakat
pesisir adalah masyarakat yang tidak bermarga sama sekali, saat ini tidak
ditemukan lagi di Sibolga dan Tapteng. Hampir semua warga Sibolga dan Tapteng
memiliki nama keluarga/ marga yang dibawa turun temurun. Kalau pun ada yang
tidak bermarga tentu dengan sangat mudah bisa kita ketahui identitasnya. Akan
tetapi, sosok tidak bermarga yang oleh sejarah disebut sebagai masyarakat
pesisir tempo dulu, tidak kita temukan lagi saat ini.
Kepunahan itu terjadi dalam
kacamata penulis disebabkan oleh perkawinan antara penduduk setempat dan
pendatang yang tidak berimbang atau sebanding. Bisa saja, penduduk setempat
saat itu yang tentunya jumlahnya sedikit akhirnya putus generasi oleh karena
dominasi etnis tertentu. Perkawinan yang terjadi dan melahirkan generasi baru
dengan identitas baru pula akhirnya mengesampingkan generasi pertama.
Perlahan-lahan tapi pasti, generasi baru pun melahirkan generasi yang
benar-benar baru pula. Sayangnya, digenerasi
berikutnya keberadaan penduduk setempat yang merupakan etnis pesisir
mulai tersingkirkan dan punah oleh tuntutan zaman.
Belakangan, satu-satunya yang
tersisa dari etnis pesisir itu sendiri adalah kebudayaan, tradisi dan adat
istiadatnya. Kebudayaan yang sudah dipegang teguh hampir seribu tahun ini,
menjadi kenang-kenangan yang terus bisa disaksikan saat ini. Akan tetapi, tidak
ada yang bisa menjamin sampai kapan
identitas ke-pesisiran ini akan terus ada hingga seribu tahun yang akan datang.
Hal yang sangat dikhawatirkan
adalah secara sistemik pembumihangusan etnis ini pun sedang berjalan
perlahan-lahan tetapi pasti. Bedanya adalah
bila dahulu kepunahan warga etnis pesisir terjadi tanpa disadari sama
sekali dan berjalan secara alami, kini kepunahan itu dilakukan dengan cara-cara
yang rapi, terprogram dan didukung oleh penguasa. Lihat sajalah bagaimana
perhatian penguasa terhadap pemerhati kebudayaan, tokoh-tokoh adat, penggiat
musik-musik tradisional pesisir dan lain sebagainya. Alat-alat dan perlengkapan
tradisi pesisir itu lebih tua dari orang-orang yang memainkannya. Dengan alasan
minat generasi mudah yang rendah dan tidak peduli, penguasa sepertinya ingin
mengubur hakekat kebudayaan ini dan digantikan oleh kebudayaan dan tradisi yang
lain.
Didepan mata kita telah terlihat
nyata, bagaimana disetiap kesempatan dan peristiwa etnis induk di Sibolga dan
Tapteng mulai dipinggirkan. Dominasi etnis tertentu yang notabenenya adalah
etnis pendatang mulai menguasai setiap pagelaran kebudayaan dan tradisi yang
ada. Celaka dua belasnya adalah, masyarakat pesisir yang dari zaman nenek
moyang berbahasa beko-beko (bahasa pesisir) kini berubah menjadi bahasa
golongan tertentu. Jelaslah sudah, tradisi dan kebudayaan pesisir saat ini
lambat laun akan menyusul para penciptanya ribuan tahun silam. Kedepan jangan
heran kalau tari-tarian pesisir diacara-acara adat perkawinan, penyambutan tamu
kehormatan, tari persembahann dan lain sebagainya akan berganti dengan tor-tor.
Salam kita yang dahulunya ahoi atau oi mamak akan berubah menjadi horas.
Tidak dalam rangka mengecilkan
etnis yang sudah ada. Tetapi, etnis lain silahkanlah tetap hidup dan berkembang
tetapi etnis induk tetaplah menjadi prioritas. Silahkan etnis lain tetap
bergairah tetapi etnis pesisir tetaplah yang utama. Silahkan sambut pejabat
dengan tor-tor, tetapi sebelum menortor biarlah tari persembahan pesisir kami
lantunkan lebih dahulu. Silahkanlah menyapa dengan horas, yahao’wo, manjua-jua atau apa pun itu
tetapi sebelum itu semua sapalah saya, anda, kalian dan kita semua dengan ahoi
atau oi mamak. Semoga.
Penulis adalah ketua umum PB
Germasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar