Sabtu, 02 April 2011

Gedung Baru DPR, Kenapa Tidak!


Oleh: Samsul Pasaribu*
Grand desain Gedung Parlemen Indonesia
Kontroversi pembangunan gedung baru DPR adalah hal yang mutlak terjadi. Tudingan bentuk bangunan mirip dengan gedung parlemen Chile pun sah-sah saja dan wajar pula bentuk bangunan dinilai tidak menggambarkan kultur budaya bangsa ini. Namun, karena ini eranya kebebasan berpendapat, yang suka dan yang tidak suka bisa sama-sama benar dan bisa pula sama-sama salah. Kendati rencana pembangunan gedung seharga 1,2 triliun ini akan dipertimbangkan kembali namun, penulis berpandangan rumah wakil rakyat ini memang selayaknya direhab total. Bukan dalam rangka cari sensasi atau coba menjilat kepada pemerintahan yang saat ini berkuasa. Akan tetapi, penulis mencoba memandang dari sisi lain apa urgensinya gedung megah parlemen ini bagi kemaslahatan bangsa.
Dalam sejarahnya, bangsa ini tidak sekali dua kali dilanda krisis yang bermuara pada meningkatnya angka kemiskinan dan tak terbendungnya jumlah pengangguran. Pasca proklamasi RI 1945, Indonesia setidaknya beberapa kali dilanda krisis mulai dari krisis ekonomi tahun 1959 yang melahirkan dektrit presiden 5 Juli 1959, krisis idiologi tahun 1965-1966 yang melahirkan supersemar 1966, dan krisis tahun 1974 yang dikenal dengan peristiwa Malari. Semua krisis tersebut sangat berdampak pada tatanan ekonomi, pertahanan dan keamanan dan kesejahteraan rakyat. Pertanyaannya adalah, apakah ketika masa krisis itu datang segala bentuk pembangunan khususnya yang menyangkut harkat dan martabat bangsa dihentikan?

Kita tentu sudah hapal betul gelora Bung karno (GBK). Bahkan kita tidak hanya hapal namanya saja, posisinya di ibukota pun kita tahu persis. Tidak hanya itu kita juga tahu betul tahun pembangunannya. Benar, GBK dibangun untuk pertama kali tahun 1958. Tahun dimana bangsa ini baru berusia 8 tahun. Angka kemiskinan saat itu juga sangat tinggi yang sejodoh dengan angka pengangguran. Tidak sedikit pula sejarah bercerita bahwa tahun itu adalah tahun kelaparan dan tahun ketidak pastian. Namun, disaat krisis begitu mencekik jutaan rakyat negeri ini, Bung Karno (presiden RI pertama) justru membangun stadion utama senayan Jakarta (gelora bung Karno) dengan nilai yang cukup fantastik masa itu. Jika kita hidup dizaman itu maka tentulah kita sepakat menuding bung Karno sama sekali tidak punya hati nurani, tidak memikirkan rakyat yang sengsara dan kadang makan kadang tidak. Celakanya lagi, pembangunan GBK saat itu justru dengan cara kredit dari Uni Soviet sebesar 12,5 juta dollar AS. Kendati sangat kontroversial, namun kini, gelora Bung Karno menjadi ikon olahraga kebanggaan bangsa ini.
Krisis tahun 1965-1966, bangsa ini juga tidak berhenti membangun. Tahun ini disamping dikenal dengan peristiwa pemberontakan PKI dan Supersemar, cikal bakal gedung DPR/MPR yang kita kenal sekarang juga dibangun pada masa ini. Gedung yang semula diperuntukkan pada kegiatan Conference of the New Emerging Forces (Conefo) tahun 1966 ini akhirnya oleh karena peristiwa pemberontakan PKI yang membuat pembangunannya sempat terhenti akhirnya dilanjutkan kembali namun peruntukkannya tidak lagi dalam rangka Conefo tetapi menjadi gedung DPR/MPR. Tahun pembangunan gedung ini juga dicatat sebagai tahun-tahun sulit bangsa ini namun, gedung itu pun selesai dan kembali menjadi kebanggaan bangsa ini.
Menjelang krisis tahun 1974, bangsa ini juga punya cerita tersendiri. Disaat mayoritas ekonomi bangsa ini dikuasai oleh China yang berdampak terhadap pelaku ekonomi dalam negeri dan di dera krisis kepercayaan kepada pemerintah dan menolak semua produk China, pemerintahan pada masa itu juga melakukan pembangunan super megah. Sejarah mencatat, atas usul mantan ibu negara RI Alm.Hj. Siti Hartina Soeharto, pemerintah pun membangun taman mini Indonesia indah (TMII). Pembangunan TMII sendiri dimulai tahun 1972 dan selesai tahun 1975. Tidak sedikit aksi protes yang berkoar saat itu. Namun, 20 April 1975 TMII diresmikan oleh presiden RI Soeharto dan kini pun menjadi ikon wisata kebanggaan bangsa ini.
Pasca krisis 1974, Indonesia kembali dilanda krisis 1998 yang akhirnya melahirkan reformasi. Krisis yang berakhir dengan runtuhnya rezim mantan presiden Soeharto ini tentu lebih melekat di ingatan kita karena kita adalah saksi mata yang ikut melihat peristiwa bersejarah itu. Penulis tentu tidak perlu menjelaskan lagi hal ihwal krisis yang berpuncak pada 21 Mei 1998 ini karena sebagai sesama pelaku sejarah (baca: ikut menyaksikan) kita sudah sama-sama mafhun ceritanya. Yang menarik di krisis tahun 1998 hingga saat ini hubungannya dengan bangun membangun adalah penolakan terhadap pembangunan gedung baru DPR/ MPR. Versi DPR (walaupun tidak kompak), gedung ini sangat layak untuk di rehab total, namun versi lainnya bila gedung jadi dibangun DPR dinilai tidak punya hati nurani.
Tudingan semacam ini tidak hanya terjadi ditahun ini saja. Seperti diceritakan diatas, bangunan-bangunan megah yang coba dibangun bangsa ini selalu mendapat penolakan dari banyak pihak. Alasan penolakannya pun bermacam-macam mulai dari untuk menghemat anggaran, menjaga perasaan rakyat miskin, indikator kepedulian dan empati hingga tudingan tidak bermoral. Sebagian yang lain mengusulkan dana pembangunan itu akan lebih bermanfaat bila dialokasikan untuk mensejahterakan rakyat. Alasan-alasan diatas tentu realistis dan adalah hal wajar yang harus dimaklumi. Akan tetapi berkaca dari sejarah masa lalu, gedung-gedung pemerintah baik yang digunakan oleh pemerintah sendiri atau diperuntukkan bagi umum belakangan menjadi ikon kebanggaan bangsa ini.
Penulis berpandangan, adalah benar gedung DPR/MPR masih layak untuk digunakan. Namun, kata “masih layak” terselip kesan bahwa gedung itu memang lebih baik direhab. Kata masih layak juga mengandung pesan bahwa tak lama lagi gedung itu memang harus diperbaiki. Maka, jika pada akhirnya harus diperbaiki kenapa tidak sekarang? Jika alasannya adalah masih banyak rakyat yang miskin dan yang tidak punya tempat tinggal maka sudah berapa banyak rakyat miskin yang rumahnya terbangun jauh sebelum gedung ini diwacanakan akan dibangun? Atau dengan kata lain, andai gedung ini tidak jadi dibangun, adakah pihak yang berani menjamin bahwa uang yang semula digunakan untuk membangun gedung ini akan diperuntukkan bagi pembangunan rumah rakyat? Sejarah telah mencatat setiap pembatalan dengan alasan ada yang lebih penting, tidak pernah terealisasi di negeri ini. Dengan demikian, andai gedung DPR ini tidak jadi dibangun, penulis yakin sekali penduduk miskin yang tersebar merata di penjuru nusantara ini tetap saja tidak punya tempat tinggal. Maka, tak ada rotan akar pun jadi, tak jadi membangun rumah orang miskin membangun gedung DPR pun jadilah. Kendati kontroversi penulis berkeyakinan, gedung baru DPR/MPR ini kelak menjadi ikon baru kebanggaan bangsa ini. Lagi pula, sudah budaya dibangsa ini, apa yang selama ini kita tolak belakangan hari kita bangga-banggakan. Seperti mahasiswa beraksi, dalam aksi kita mencaci maki setelah aksi yang kita maki kita ajak photo bersama. Ada-ada saja.

*penulis adalah presiden mahasiswa Ikopin Bandung dan ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)

telah diterbitkan pula di Harian Metro Tapanuli edisi 02 April 2011

Tidak ada komentar: