Selasa, 05 April 2011

Revolusi Mungkinkah?

Sumedang - Layaknya penyakit menular, maka Indonesia adalah salah satu calon pasien yang terlalu mudah ketularan penyakit. Entah waktu kecil bangsa ini tidak diberi suntikan "imunisasi" yang setidaknya bisa membentengi dan memberi kekebalan tubuh rakyatnya dari berbagai virus/ bakteri yang coba menyerang. Yang pasti bangsa ini paling mudah terprofokasi oleh hal-hal baru yang belum tentu baik untuk kita.

Dinamika bom ditanah air juga penyakit menular yang datang dari timur tengah yang merasuki minoritas penduduk negeri ini. Pembenaran dalam rangka Jihad pun menjadi slogan penting. Antipati terhadap pihak asing ternyata juga memakan korban anak bangsa sendiri. Penyakit jenis ini agaknya sudah tergolong akut. Dan mungkin sudah dalam level stadium akhir. Buktinya, ditangkap satu muncul lagi yang baru.
Tertembak satu tak lama kemudian muncul lagi kader militan baru. Polri pun sebagai dokter tak serius seratus persen membasmi. Penumpasan hanya akan dilakukan bila ada isu-isu nasional yang mendiskreditkan presiden.

Alhasil, prestasi pembumi hangusan teroris di bumi nusantara dicap sebagai upaya pemerintah mengalihkan isu. Cerita penyakit menular yang dikemas dalam paket bom ini hanya prolog semata dalam tulisan kali ini. Ada penyakit menular penting lainnya yang mungkin lebih enak untuk kita simak yaitu revolusi.

Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan.

Dialektika revolusi mengatakan bahwa revolusi merupakan suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Disatu masa, revolusi memang ada baiknya. Baik, selama orientasinya adalah kesejahteraan rakyat dan bukan sekedar atas nama rakyat.

Seperti penyakit menular, dewasa ini wabah berbahaya ini lagi berusaha menjangkiti siapa saja yang tidak memiliki kekebalan tubuh. Bedanya, untuk pertama kalinya virus yang bernama revolusi ini selalu menjangkiti rakyat biasa.

Setelah berhasil, perlahan tapi pasti ia mulai menggerogoti kalangan intelektual yang notabenenya antipati dengan kebijakan pemerintah diseluruh dunia khususnya Asia. Seperti halnya Tunisia, Mesir dan sekarang Libya, slogan revolusi telah berhasil menumbangkan rezim yang berkuasa lebih dari tiga dekade. Tapi, harus kita garis bawahi. Revolusi yang terjadi dibeberapa negara Timur Tengah, murni digerakkan oleh rakyat.

Kini, virus revolusi mulai mewabah di Indonesia. Mungkin hanya selang beberapa jam sejak kerusuhan mewarnai Tunisia dan Mesir waktu itu, para tokoh-tokoh bangsa ini pun lata mewacanakan perlunya revolusi di tanah air. Entah hanya sekedar ikut trend Timur Tengah atau sebatas menakut-nakuti pemerintah, yang jelas isu revolusi yang coba di dengungkan oleh beberapa pihak berlalu begitu saja tanpa bekas.

Lucunya lagi, wacana itu pun selesai begitu saja beberapa menit setelah si penggagas menyampaikan gagasan revolusinya. Padahal, dilihat dari semangatnya berorasi dan berpidato, sepertinya revolusi benar-benar akan terjadi.

Pasca tragedi Mesir setidaknya di tanah air sudah ada tiga pihak yang coba mendengungkan pentingnya revolusi. Sebabnya pun beraneka ragam. FPI misalnya, mengancam akan melakukan revolusi bila pemerintah serius ingin membubarkan ormas anarkis. Kekecewaan juga dilontarkan oleh para purnawirawan TNI dan Polri yang bergabung dalam Dewan Penyelamat Negara (DEPAN).

Mereka menganggap SBY telah mempermalukan TNI karena dinilai lamban dan tidak peduli akan nasib TNI. Yang lebih parah lagi adalah apa yang dilakukan Permadi (mantan politisi PDI-P yang pindah ke Gerindra). Dalam salah satu mimbar bebas, Permadi menganjurkan membunuh setiap pejabat yang menyengsarakan rakyat dan mengajak seluruh komponen bangsa terutama mahasiswa untuk melakukan revolusi. Semua peristiwa diatas dipicu oleh demam revolusi yang melanda Timur Tengah.

Beranjak dari keadaan diatas, maka penyakit menular yang bernama revolusi yang awalnya menjangkiti rakyat Timteng, akhirnya masuk juga kewilayah NKRI. Pertanyaanya adalah apakah dengan demikian Indonesia akan mengalami revolusi? Jawaban tegasnya adalah tidak.

Kenapa tidak? Karena sebagai negara yang telah berpengalaman melahirkan reformasi, jutaan rakyat negeri ini telah bijak memamahbiak situasi. Rakyat (yang paling awam sekalipun) telah tahu mana kepentingan bangsa dan negara dan mana kepentingan pribadi atau terselip kepentingan golongan. Rakyat juga sudah tahu mana murni untuk perjuangan atau hanya sekedar mengikuti trend.

Dulu, ketika reformasi bergulir aksi jutaan massa merupakan hal langka di negeri ini. Kelangkaan itu pulalah yang menjadikan siapa saja merasa gamang dan ketakutan akan kekuatan rakyat. Namun, setelah genderang kebebasan ditabuh, hak berbicara dan berpendapat dilindungi, aksi mahasiswa dan kelompok tertentu dipandang biasa saja dan dianggap sebagai bagian dari demokrasi oleh pemerintah.

Hemat kita, mata dan pikiran kita sudah sering digambarkan aksi ribuan massa di depan istana meminta SBY turun. Namun, mata kita juga turut menyaksikan hingga pembaca membaca tulisan ini SBY tetap eksis dalam kepemimpinannya.

Kenapa begitu? Jawabannya kita terlalu banyak berbicara. Kita terlalu banyak aksi dijalanan dan kita terlalu banyak mengkritisi. Dan dampaknya, semua berlalu begitu saja tanpa hasil apa-apa. Apa yang dulunya luar biasa, kini menjadi biasa saja. Dan fenomena ini telah bisa menjawab agaknya bangsa ini masih jauh dari gejolak revolusi setidaknya hingga sepuluh tahun yang akan datang.

Rakyat sudah paham, ketika revolusi bergejolak, rakyat akan dipukuli, ditangkap dan ditembaki. Sedangkan para tokoh tak pernah ikut memegang spanduk sekali pun atau turut melemparkan sebuah batu. Para tokoh hanya akan nampak sesekali di podium berkoar-koar sementera rakyat dijalanan dijejali oleh pentungan dan suara tembakan. Dan yang lebih menyedihkan lagi, setelah revolusi berhasil para tokoh berlomba menjadi penguasa.

Setelah menjadi penguasa nyatanya ia hanya melanjutkan pola pikir pendahulunya yang dulu ia minta untuk lengser. Jadi, kenapa kita harus repot memikirkan revolusi?

*Penulis adalah presiden mahasiswa Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin) Bandung dan ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)


Samsul Pasaribu
Jl. Raya Jatinangor Km. 20,5 Gg. Plamboyan No. 13 Kab. Sumedang
syamsulpasaribu@ymail.com
081370677022

(wwn/wwn)

Tidak ada komentar: