Kamis, 14 April 2011

"Malaikat Maut" Bernama UN

Kamis, 14 April 2011 
Bagi sebagian pelajar Ujian Nasional hanya sebatas untuk negara bukan untuk  para pelajar. Topik kita kali ini, penulis dapatkan dari sebuah status facebook pelajar SMA kelas XII.
Oleh: Samsul Pasaribu

Dari orang yang sama juga ia menuliskan sederetan angka berikut ini 4,50 + 4,75 + 4,50 + 4,75 + 4,50 + 4,50 = 5,50 => (lulus). Sederet angka menjadi nilai manusia di negara ini. Dan kelak ketika bertemu teman lama kita akan bertanya berapa nilai anda saat ini?. Fenomena aneh yang menyerang pendidikan kita layaknya ulat bulu yang tak henti menyerang jawa tengah. Inilah yang mendorong penulis untuk mencoba menelaah maksud lain dari status facebook ini.
Deretan angka yang tertata rapi di atas berdasarkan standarisasi kelulusan UN tahun akademik 2010-2011. Pertanyaannya bagaimana bila andai deretan nilai hasil usaha maksimal itu ternyata untuk satu mata pelajaran hanya berbeda seper sekian persen dari ketentuan yang ada yang berakibat pada akhir dari deretan nilai tersebut tidaklulus?
Bila pertanyaan ini kita ajukan kepada Menteri Pendidikan Nasional RI Prof Muhammad Nuh, langkah apa gerangan yang akan diambil oleh orang nomor satu di institusi pendidikan kita?
Pasca reformasi, UN yang menjadi proyek Kemendiknas RI ini oleh para pelajar dipandang sebagai malaikat maut yang terus menghampiri hidup mereka setidaknya hingga UN menjelang. Pada dasarnya, menentukan standar minimal kemampuan pelajar secara nasional melalui UN adalah hal yang baik disatu sisi tapi buruk di sisi lainnya. Baik karena, potensi akademik pelajar secara nasional terukur. Tetapi dari sisi lain, keberadaan UN itu sendiri telah mencederai hakekat dasar pendidikan bagi warga negara. Pendidikan bukanlah sebatas bercerita angka-angka namun pendidikan juga sejalan dengan moral, etika dan estetika.
Pendidikan juga bukan sebatas apa yang diujikan dalam UN dan UAS, namun jauh diluar itu pendidikan bertanggungjawab melahirkan generasi cerdas emosional, cerdas intelektual dan cerdas spiritual. Kecerdasan jenis terakhir ini tidak bisa di ukur melalui pertanyaan-pertanyaan terukur pada saat berlangsungnya ujian nasional.
Memang, UN hanya menjadi satu dari dua indikator pelajar dinyatakan lulus. Indikator lainnya adalah nilai rapor setiap semester. Letak permasalahan besarnya pada dasarnya tidak pada nilai ini dan itu. Tidak atas dasar standar A atau B. Karena pendidikan tidak ditujukan melahirkan generasi yang pintar tapi juga cerdas, berkepribadian luhur dan menjunjung tinggi etika dan estetika. Hal-hal tersebut tentu tidak bisa dinilai dengan angka-angka. Poin-poin dimaksud hanya dapat di lihat dan dirasakan berdasarkan proses waktu yang dijalani pelajar dalam menyelesaikan pendidikannya. Angka 5,5 tentu tidak berarti apa-apa dibandingkan kesahajaan, budi pekerti, sopan santun dan akhlak. Oleh karena itu sejatinya angka (nilai) bukanlah segalanya dalam melulus tidakkan seseorang.
Penulis yang sempat menikmati masa-masa berlakunya EBTANAS (evaluasi Tahap Akhir Nasional), tidak pernah merasa terbebani layaknya terbebaninya pelajar di era reformasi ini. Celakanya lagi, beban itu justru bermuara kepada tingkat frustasi yang tinggi dan berakhir dengan bunuh diri. Di zaman EBTANAS, produk orde baru ini hadir sebatas upaya mengevaluasi potensi akademik pelajar secara nasional tidak menjadi malaikat maut yang berhak menentukan seseorang hidup atau mati, lanjut atau tidak, kongkritnya lagi, lulus atau tidak lulus. Zamannya Ebtanas, kelulusan pelajar ditentukan oleh hasil evaluasi potensi siswa dari seluruh sisi. Ebtanas itu sendiri hanya satu dari sekian banyak indikator seseorang dinyatakan lulus. Maka, nilai-nilai pendidikan yang sesungguhnya (tidak hanya angka-angka) turut mempengaruhi akhir dari sebuah proses panjang pendidikan.
Ada yang aneh sebenarnya di pendidikan nasional kita, disamping UN yang sangat kontroversial muara dari pendidikan kita juga sangat tidak jelas. Disatu sisi pemerintah begitu menyadari bahwa prestasi akademik hanya 10 persen mempengaruhi kesuksesan seseorang (Prof. Dr. Rully Indrawan, M.Si) sisanya yang 85 persen merupakan kemampuan siswa mengembangkan dirinya di luar hal-hal yang ia dapatkan di bangku pendidikan. Fakta ini saja sejatinya telah bisa membuka hati siapa saja bahwa pendidikan tidak semata-mata membaca dan berhitung lalu melahirkan angka-angka terukur (baca: nilai), jauh dibalik itu pendidikan juga mencetak kepribadian pelajar menjadi lebih produktif.
Hal lainnya adalah indikator keberhasilan seseorang juga sangat melenceng dari semangat pendidikan itu sendiri. Orang-orang berkualitas yang mungkin para juara kelas, juara olimpiade nasional dan internasional digiring menjadi pegawai negeri sipil. Alhasil intelektualitas briliant yang dititipkan Tuhan padanya redup sama sekali. Orang-orang pintar dimasanya ini, kini hanya duduk manis dikantor menjadi “budak” atasan melakukan ini dan itu. Kepintaran yang telah di capai selama ini hanya menjadi modal awal untuk meraih sukses dalam wujud PNS.
Tidak salah memang, bila mereka yang berkualitas duduk menjadi aparatur negara, namun ketika status PNS dijadikan indikator kesuksesan maka jangan salahkan bangsa ini akan jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lainnya oleh karena mereka yang berkualitas sedikit sekali yang berpikir menjadi ilmuan, wirausahawan, peneliti, dan lain sebagainya. Bagi pelajar pada umumnya, pasca lulus, kerja selanjutnya adalah menunggu dibukanya farmasi CPNS setiap tahun.
Guru saat ini juga terdoktrin untuk melahirkan lulusan yang bisa memenuhi standar UN yang ditetapkan pemerintah tanpa pernah lagi memperhatikan anak itu bejat atau tidak, beretika atau masa bodoh, mandiri atau manja. Celakanya lagi UN sekarang tidak lagi sebatas indikator lulus tidaknya seseorang tetapi menjadi indikator bonafit atau tidaknya sebuah institusi pendidikan setingkat sekolah. Alhasil, beberapa sekolah ditanah air tidak mau ambil resiko. Langkah instan pun di lakukan. UN yang diwarnai kecurangan kolektif pun merambah beberapa daerah ditanah air. Lembaga pendidikan yang sejatinya muara dari dibangunnya pribadi-pribadi yang jujur justru menjadi gudang penipuan. Sekolah pun berubah menjadi gedung DPR.  (***)

Penulis adalah presiden mahasiswa Ikopin-Jatinangor Bandung dan ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)

Sumber: Harian Metro Tapanuli edisi 14 April 2011

Tidak ada komentar: