Sabtu, 22 Januari 2011

Ke-Diktator-an Seorang Guru

-->
Sebuah tulisan besar tertera di harian Metro Tapanuli. Kata tulisan itu “Gara-gara status di FB siswi SMP dipaksa pindah”. Setelah penulis baca lebih detail lagi asal muasal judul diatas, rupanya hanya karena tulisan sebuah status dari siswinya yang berbunyi “bosan kali aku dengar ibu ini ceramah”. Setelah mencoba memahami yang terjadi malah kerutan dikening ini yang mengandung tanda tanya besar “apa salahnya dengan status seperti itu?”.

Oleh : Samsul Pasaribu*
Teknologi memang punya pengaruh pesat dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Apalagi semakin marak dan mudahnya setiap pelajar mengakses informasi terbaru yang mungkin baru terjadi beberapa detik yang lalu. Hal ini dikarenakan dewasa ini dunia maya (baca: internet) ada di kantong masing-masing orang (handphone). Perubahan zaman seperti ini tentu tidak dapat dibendung. Yang dilakukan adalah melakukan sharing and filterisasi guna meminimalisir dampak destruktif dari setiap perubahan zaman.
Lantas apa hubungan teknologi, status, profesi guru dan pemberhentian setiap siswa? Untuk contoh kasus diatas tentu punya hubungan yang erat sekali. Namun penulis perlu menggaris bawahi bahwa dalam tulisan ini pembaca tidak akan menemukan keterhubungan itu. Yang ada hanyalah pola pikir masih pantaskah seorang guru di gugu dan ditiru. Jika berkaca dari fenomena diatas. Apa yang dilakukan disalah satu SMP di Sumut ini jelas telah mencederai dunia pendidikan bangsa ini. Guru yang selayaknya menjadi tauladan dan panutan justru berpola sedemikian rupa layaknya penguasa yang diktator. Ingat kata diktator penulis jadi ingat Hitler yang membatai siapa saja yang berseberangan dengan pola pikirnya dan menggulingkan setiap orang yang berbeda pendapat dengannya.
Lalu, adakah hubungannya dengan kasus diatas. Tentu saja ada. Hubungan itu bisa kita saksikan melalui mekanisme penyelesaian masalah yang terlalu berlebihan hanya karena status yang sebenarnya tidak harus dipandang sebagai sebuah penghinaan tapi satu bentuk curhat dan kritikan seorang anak terhadap gurunya yang mungkin masih banyak kelemahan. Namun, sesaat guru yang didukung pula oleh seluruh stakeholder pendidikan disekolah yang bersangkutan berubah menjadi sosok yang arogan yang lantas menunjukkan kekuasaannya dengan mengambil tindakan yang tidak populer “memaksa siswi yang bersangkutan untuk pindah dengan segala intimidasi-intimidasi”.
Untunglah, dewi fortuna masih memihak pada orang kecil. Sang anak pun selamat dari kata pemecatan. Kendati telah selesai, namun secara physicologi kejiwaan pelajar ini pasti sedikit banyaknya terganggu dan rasa pesimis akan lulus UN pun semakin kecil pasca penyelesaian masalah yang sebenarnya tidak begitu masalah.
Guru (kendati pun masih manusia), sejatinya dimata setiap orang tidak boleh salah. Kalau pun salah, maka setiap orang juga pasti belajar memaklumi setiap kesalahan yang terjadi. Logikakah? Atau mengandalkan emosi sesaat saja?. Tentu untuk kebaikan dunia pendidikan setiap guru harus menyelesaikan masalah dengan logika yang ada dan barometernya tidak melupakan institusi yang ia tunggangi, pendidikan. Setiap kritikan yang terlontar harus disikapi sebagai upaya bersama memperbaiki sistem yang ada selama orientasinya adalah penilaian kualitas sistem ajar. Dimana pun itu, yang paling mengenal gurunya adalah muridnya sendiri begitu juga sebaliknya. Maka jika ingin mengetahui kualitas seorang guru tanyalah muridnya dan jika ingin mengetahui kualitas murid tanyalah gurunya. Jika status tersebut dianggap mencemarkan nama baik dan mempermalukan guru yang bersangkutan karena terpublikasi di dunia maya yang dibaca ratusan atau mungkin ribuan orang, jika arif menelaahnya sang gur harusnya mengerti bahwa status yang tertera juga tanpa menyebutkan nama secara langsung. Justru apa yang dilakukan oleh guru yang bersangkutanlah yang terang-terangan membongkar aibnya sendiri karena terlanjur terekspos di media massa dan menjadi konsumsi publik. Ironisnya lagi, sang guru pun enggan memberi maaf ketika orang tua yang bersangkutan memohon maaf. Hal yang sebenarnya tak perlu dilakukan oleh seorang yang menyandang status guru sang pahlawan tanpa tanda jasa.
Kendati tidak semua, agaknya belakangan ini semakin banyak saja guru yang tak lagi layak di guguh dan ditiru. Guru yang sejatinya menyelesaikan masalah dengan arif justru memposisikan diri layaknya penguasa yang tak terbantah. Insititusi  pendidikan yang disebut sekolah tak lagi sebagai lahan mendidik siswa yang bodoh menjadi pintar, yang jahat menjadi baik atau yang amburadul menjadi disiplin. Tapi institusi pendidikan sekarang menjadi wahana melatih hanya orang pintar, hanya orang disiplin dan hanya orang yang tahu sopan santun. Andai ini ternodai ditengah jalan, pecat dan paksa untuk pindah. Menyedihkan sekali ya..*

*Penulis adalah presiden mahasiswa IKOPIN Bandung dan ketua umum PB Gerakan mahasiswa Sibolga

1 komentar:

The Imaginarium of Ivan mengatakan...

Karakteristik guru zaman sekarang sangat variatif, tapi sayangnya dari sisi negatif!... Yang harus bertanggung jawab tetaplah pemerintah, kenapa? karena sudah terlalu banyak penyimpangan2 dari kebenaran tu sendiri...
Saya merasa heran, mengapa terlalu banyak guru yang tak berkompeten!
Tentu keheranan itu, kita tujukan pada sang kreator (pemerintah)dengan filterisasinya yang rancuh dan penuh dengan rupiah...
"kita digurui oleh orang yang masih pantas untuk di gurui! aneh memang!"