Oleh: Samsul Pasaribu*
Sebelumnya, secara khusus tulisan ini penulis tujukan untuk walikota Sibolga yang saat ini dijabat oleh Drs. Syarfi Hutauruk yang berpasangan dengan Marudut Situmorang, AP, MSP. Sesuai dengan judul diatas, agaknya kita mungkin sudah bisa menebak kemana arah tulisan ini. Ya, jabatan sebagai kepala daerah (walikota-red), pekerjaan ataukah pengabdian?
Dua kata ini sebenarnya punya hubungan timbal balik. Dalam kamus besar bahasa Indonesia diterangkan bahwa kata pekerjaan mengandung arti barang apa yang diperbuat, dilakukan, atau perbuatan lebih kongkritnya lagi pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah dan dijadikan pokok penghidupan. Sedangkan pengabdian masih dalam kamus yang sama adalah penghambaan, berbakti, berjanji benar-benar dengan sesungguh hati. Lalu, berdasarkan realita yang ada dan setelah berjalan lebih dari seratus hari apakah seorang (baca: bapak-red) Syarfi Hutauruk yang kebetulan sebagai walikota Sibolga telah melakukan pengabdian atau melakukan pekerjaan?
Ketika Bapak Syarfi Hutauruk menjabat sebagai anggota DPR RI, jelas nyata beliau mengabdi untuk masyarakat Sibolga. Pengabdian yang besar itu beliau tunjukkan melalui bantuan raskin dan rutinnya Sibolga mendapatkan DAU da DAK yang cukup signifikan yang setiap tahun meningkat. Kepedulian yang besar itu juga beliau tunjukkan melalui rutinitas beliau mengunjungi kampung halamannya Sibolga dan Tapteng. Secara pribadi penulis ingin mengapresiasi pengabdian seorang Syarfi Hutauruk sejak menjabat anggota legislatif. Kini setelah menjadi seorang walikota apakah Bapak Syarfi Hutaurk masih mengabdi?
Ketika sebagai anggota legislatif seorang (bapak-red) Syarfi Hutauruk sering meninggalkan Jakarta untuk “memantau” perkembangan Sibolga, lalu setelah menjadi walikota apakah Bapak Syarfi Hutauruk jadi lebih sering ke Jakarta dan meninggalkan Sibolga? Atau setelah menjadi walikota warga Sibolga justru terkena busung lapar, padahal selama manjadi legislatif sering berbagi beras dengan warga miskin? Tentu bukan kapasitas penulis untuk menjawabnya.
Melihat peran dan fungsi kepala daerah yang sangat signifikan kaitannya dengan upaya mensejahterakan rakyatnya. Maka sejatinya jabatan seorang walikota adalah sebuah bentuk pengabdian (kata yang biasa digunakan setiap kandidat dalam kampanye pemilukada). Karena merujuk makna dasar dari kata pekerjaan dan pengabdian diatas maka akan salah kaprah bila seorang walikota menjadikan jabatannya sebagai pekerjaan. Karena pekerjaan muaranya adalah untuk memperkaya diri dan menjadikan wewenang yang ada padanya untuk meningkatkan penghasilannya. Ironisnya lagi bila seorang kepala daerah menjadikan jabatan yang disandarkan padanya sebagai sarana memenuhi kebutuhan pokoknya. Andai, ini yang terjadi maka pada saat itu seorang walikota telah menjadikan jabatannya sebagai sebuah pekerjaan. Jika demikian adanya maka sudah saatnya walikota memperbaharui KTP (kartu tanda penduduk) dan merubah poin pekerjaan, menjadi (tertulis) pekerjaan : walikota Sibolga.
Apa pun alasannya (kecuali mengabdi) jabatan walikota sungguh sangat menjanjikan dan menyenangkan. Sebagai pemegang otoritas daerah, walikota punya hak prerogatif untuk menunjuk siapa saja yang membantunya dalam mewujudkan visi dan misinya. Hak itu pulalah membuat jabatan walikota sangat ditakuti oleh bawahannya. Celakanya lagi, ketakutan itu “memaksa” setiap orang untuk “mengabdi” kepada walikota bukan pada rakyat. Maka istilah asal bapak senang sudah lumrah terjadi dalam birokrasi pemerintahan kita. Kata asal bapak senang ini sebenarnya tidak sewajarnya lagi dijadikan pegangan oleh bawahan walikota. Jika memang ingin mengabdi maka prioritas utama dalam melaksanakan kewajibannya sebagai abdi negara walikota dan di ikuti oleh jajaran dibawahnya harus berani memiliki semboyan asal rakyat senang dan kenyang.
Jika walikota Sibolga sepakat dengan ini, maka hal yang utama dilakukan oleh walikota adalah benar-benar menjadikan jabatan walikota sebagai sebuah pengabdian. Pengabdian yang berarti menghambakan diri atau bersungguh-sungguh dengan sepenuh hati menunjukkan bahwa jabatan dipegang dengan keikhlasan tanpa banyak membawa kepentingan kecuali kepentingan rakyat. Dalam hal Menghambakan diri, walikota bukanlah berarti menghinakan diri sendiri namun justru memuliakan kita dihadapan tuhan dan rakyat yang kita pimpin. “menghambakan” diri untuk kepentingan rakyat karena rakyatlah yang mengantarkan seorang walikota memiliki rumah dinas mewah, mobil dinas mewah, penghasilan dan tunjangan yang lebih dari cukup, pengamanan VIP dan kemewahan fasilitas lainnya. Maka ketika rakyat telah memberi itu semua tidakkah wajar jika seorang walikota memberi keistimewaan pula bagi rakyatnya. Dan penulis yakin, andai pak Syarfi bertanya kepada rakyat Sibolga mau diberi keistimewaan apa? Mereka kompak akan menjawab beri kami kesenangan dan biarkan kami tetap kenyang.
Antara pekerjaan dan pengabdian seperti dua sisi mata uang. Namun, masing-masing sisi akan saling mendominasi bila seorang walikota lebih sering melihat satu sisi. Untung-untung walikota lebih sering melihat sisi pengabdian, tapi jika sebaliknya? Maka walikota ku yang sekarang tidak ada bedanya dengan walikota sebelumnya. Semakin lama menjadi walikota semakin kaya sementara rakyat begitu-begitu saja (miskin-red).
Sejenak kita belajar dari presiden Iran Mahmood Ahmadinejad. Sebagai seorang kepala negara sang presiden lebih suka tinggal dirumahnya yang sederhana ketimbang menyuruh staffnya memperbaiki rumah dinasnya. Bahkan Ahmadinejad menyumbangkan fasilitas mewah di istana kepresidenannya untuk dipergunakan rakyat karena dinilai berlebih-lebihan. Lebih mengharukanlagi Mahmood Ahmadijenad rela tidak menerima gajinya sebagai presiden karena merasa penghasilannya yang 250 dollar sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sayangnya Ahmadinejad bukan orang Indonesia. Tapi bukan berarti kita tidak bisa mengambil iktibar dari kerendah hatian presiden negeri para mullah ini. Penulis tentu juga tidak berharap walikota Sibolgga sekarang menjelma menjadi Ahmadinejad, namun setidaknya Walikota Sibolga hanya diminta memahami bahwa menjadi walikota adalah bentuk pengabdian. Perihal telah banyaknya cost yang dikeluarkan sejak pencalonan hingga terpilih itu harus dipahami sebagai bentuk keseriusan untuk mengabdi dan sebagai bukti nyata bahwa mengabdi ternyata juga tidak murah. Selamat mengabdi pak wali!
Catatan : tulisan ini didedikasikan untuk seluruh mahasiswa Sibolga semoga lebih berperan dalam memberi sumbangsih konstruktifnya bagi kemajuan kota Sibolga
*penulis adalah ketua umum PB (pengurus besar) gerakan mahasiswa Sibolga (Germasi) dan presiden mahasiswa Ikopin - Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar