Jumat, 14 Januari 2011

Ladang Korupsi bernama "BOS"


Oleh : Samsul Pasaribu*
Apakah pembaca sudah tahu berapa biaya yang digelontorkan oleh pemerintah pusat untuk pembiayaan bantuan operasional sekolah? Tepat sekali, tidak lebih dari Rp 16,265 triliun untuk 36 juta lebih siswa seluruh Indonesia. Angka yang fantastik bukan? Disatu sisi kita tentu mengapresiasi kebijakan ini karena BOS menunjukkan kepedulian pemerintah akan masa depan pendidikan kita. Namun, disisi lain ada kekhawatiran akan banyak oknum memanfaatkan ladang BOS ini untuk kepentingan pribadi.
Bayangkan saja, bila kita asumsikan setiap sekolah memiliki siswa sebanyak 500 siswa, itu artinya setiap sekolah akan mendapatkan biaya pendidikan BOS sebesar Rp 198,5 juta untuk mereka yang di kabupaten dan Rp 200 juta untuk mereka yang kota. Angka ini bagi pendidikan ditingkat dasar (SD) sedangkan untuk yang SMP setiap sekolah akan memperoleh bantuan BOS sebesar Rp 285 juta untuk yang di kabupaten dan Rp 287,5 juta untuk yang diperkotaan. Angka ini tentu hemat pemerintah cukup untuk membantu meringankan beban pendidikan warganya. Namun akan sangat kurang sekali untuk memenuhi ekspektasi seorang oknum.
Dana BOS yang saat ini masih dalam tahap penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat memungkinkan sarat dengan penyelewengan. Apalagi, di era sekarang ini segala sesuatu bisa saja dimitasikan (palsukan). Bentuk-bentuk penyelewengan (baca: korupsi) dalam konteks dana BOS adalah penggelembungan jumlah siswa pada setiap sekolah. Hal ini dilakukan karena semakin banyak siswa yang terdata maka semakin besar dana BOS yang akan digelontorkan oleh pemerintah. Contoh lainnya adalah khususnya bagi sekolah/ perguruan swasta, peran serta yayasan untuk mengelola dana BOS juga sangat dirasakan. Banyak keluhan bahwa untuk sekolah dan perguruan swasta pihak yayasan sering menggunakan dana BOS untuk keperluan lainnya sebelum digunakan untuk tujuan yang sesungguhnya. Ironisnya ada beberapa sekolah yang oleh yayasannya menggunakan dana BOS sebagai modal usaha. Kendati pada akhirnya proses pendidikan tidak terganggu tetapi tindakan-tindakan seperti ini sangat memungkinkan terjadinya penyelewengan walaupun menggunakan dana BOS tidak sesuai peruntukannya adalah peyelewengan juga.

Makin memungkinkannya dana BOS menjadi ladang korupsi adalah dimana kemeterian pendidikan nasional telah mengelurakan kebijakan pencairan dana BOS berbeda dengan kebijakan tahun sebelumnya. Sejak dana BOS bergulir, Kemendiknas RI bekerjasama dengan PT Pos Indonesia langsung mencairkan dana dimaksud ke rekening sekolah masing-masing. Namun kebijakan tahun ini, Dana BOS akan dicairkan melalui DPRD masing-masing. Sudah bisa ditebak, mengingat mentalitas anggota legislatif dinegeri ini yang masih ”rapor merah”, proses pencairan dana BOS tersebut pun akan sarat dengan praktik korupsi.
Kebijakan menyerahkan proses pencairan dana BOS ke DPRD setiap daerah akan menambah daftar oknum-oknum yang ikut mempermainkan dana BOS. Bila selama ini, praktik korupsi dana BOS berkutik sekitaran dunia pendidikan kita, kini, praktik itu akan melibatkan oknum anggota DPRD disetiap daerah.
Semoga saja kekhawatiran ini tidak menjadi kenyataan pahit yang akan diterima bangsa ini. Dimana setiap kebijakan apa pun yang pro rakyat justru dinodai oleh rakyat itu sendiri apalagi mereka-mereka yang sering disebut dengan anggota dewan yang terhormat. Dana BOS sejatinya adalah bantuan operasional sekolah, semoga tidak berubah menjadi dana bikin orang susah. Hehe*

*Penulis adalah ketua umum pengurus besar Gerakan Mahasiswa Sibolga (Germasi) di Bandung Jawa Barat

Tidak ada komentar: