Jumat, 28 Januari 2011

SBY Tidak Keluhkan Gaji

Oleh : Samsul Pasaribu
Rakyat ini agaknya memang tidak pernah belajar dari sejarah yang telah ada. Nasib sebagai komuditas politik dan ironi mudah terpancing issu negatif masih melekat nyaris pada mayoritas penduduk negeri ini. Publikasi yang begitu berlebihan dari beberapa media khususnya media eletronik telah pula mampu menggiring opini masyarakat bahwa telah terjadi pemaksaan interpretasi yang berujung pelarian makna sesungguhnya dari sebuah pemberitaan. Masalah pidato SBY pada rapat dengan para pimpinan TNI misalnya, ketika SBY berusaha memberikan motivasi kepada para perwira bahwa tidak ada alasan lagi untuk tidak bekerja keras mengingat selama kepemimpinan SBY tunjangan prajurit dan perwira serta remunerasi sudah beberapa kali dilakukan. Bila disimak baik-baik gaya bahasa yang digunakan SBY ketika bercerita tentang apa yang disebutkan media sebagai keluhan itu, jauh sekali dari kesan bahwa SBY sedang berkeluh kesah.
Penulis menangkap sebuah pesan moral yang nyata dan cambuk bagi seluruh aparatur negara bahwa sang presiden seolah ingin berkata “saya yang sudah tujuh tahun menjadi presiden tidak pernah naik gaji selalu bekerja keras, bukankah saudara yang sudah beberapa kali naik gaji harus bisa bekerja lebih keras lagi”. Dalam konteks lain presiden SBY juga sedang bicara dengan rakyat negeri ini bahwa sebagai pimpinan nasional beliau selalu mengutamakan kepentingan rakyat yang dipimpinnya dan aparat pemerintahan yang menjadi bawahannya untuk lebih baik, dan lebih bekerja keras serta lebih banyak berbuat untuk bangsa dan negara, hal itu beliau buktikan lebih mengutamakan kenaikan gaji para bawahannya dan melupakan dirinya sendiri. Andai presiden SBY berkata “saya miskin saja tetap bisa hidup” harus dimaknai sebagai sebuah spirit bahwa miskin bukan berarti mati, dan miskin juga bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa.
Dalam satu kesempatan, rektor IKOPIN Bandung Prof.Dr.H. Rully Indrawan, M.Si pernah berkata pada penulis menyimak salah satu hadits nabi Muhammad SAW yang kira-kira tafsirannya adalah andai manusia melihat satu kesalahan, maka dianjurkan kepada yang melihatnya untuk berpikiran 70 kali membenarkan kesalahan itu, andai tidak bisa membenarkannya maka barulah kita katakan itu adalah sebuah kesalahan. Hal ini mengandung makna, setiap kesalahan kali pertama terjadi tidak bisa dianggap sebagai sebuah kesalahan. Sejatinya ketika SBY bercerita tentang gaji para aparatut negara, rakyat negeri ini harus memandangnya sebagai sebuah dorongan untuk lebih baik karena yang tidak naik gaji saja bisa berbuat lebih baik.
Lalu dimana letaknya dalam pertemuan itu SBY berkeluh kesah? Andai pakar tata bahasa Indonesia dinegeri ini disuruh menilai gaya bahasa, mimik dan ekspresi SBY dalam menyampaikan pidatonya terutama yang bersinggungan langsung dengan gaji aparatur negera, penulis berkeyakinan para pakar akan punya pandangan yang sama dengan penulis.
Sejatinya, media sebagai pusat pendidikan (pusdik) masyarakat secara tidak langsung untuk tahu perkembangan bangsa ini diajari cerdas dan bijak dalam menyikapi permasalahan. Namun sayangnya media justru menginterpretasikan sendiri apa yang tak layak diinterpretasikan. Mengingat kemungkinan terjadinya salah penafsiran akan semakin besar. Hemat penulis, media hanya mengabarkan realita yang sesungguhnya tanpa diselipkan makna-makna lain selain yang menjadi realita yang sesungguhnya.
Kita tentu berharap, segala interpretasi yang berlebihan tidak memicu konflik yang berlebihan pula. Sangat disayangkan memang, dengan lata sebagian kecil rakyat negeri ini yang kebetulan berpengasilan kecil turun kejalan memberi dukungan (penulis lebih cenderung memandang sebagai cemoohan) kenaikan gaji presiden hingga Rp 1 triliun rupiah. Peristiwa ini tentu tidak lepas dari kepentingan beberapa orang yang berusaha memperkeruh suasana lewat wacana SBY keluhkan gaji. Kita bayangkan saja, para tukang becak yang penghasilannya (untuk dirinya saja mungkin masih kurang) kecil, bisa membuat spanduk dan baligo dalam aksi mereka yang tidak bisa di pungkiri ada oknum yang menunggangi.
Interpretasi yang salah bisa berakibat fatal dan berkepanjangan. Kritikan yang selama ini cukup fair terhadap kinerja presiden alangkah baiknya tidak kita nodai dengan kritik-kritik murahan yang tidak populer. Penulis ingin mengingatkan, orang tidak pernah jatuh kesandung batu (baca: masalah) besar, namun orang akan jatuh dan terpeleset oleh batu dan kerikil-kerikil kecil yang berserakan disepanjang jalan.

*penulis adalah Presiden Mahasiswa IKOPIN Bandung dan ketua Gerakan Mahasiswa Sibolga (Germasi)

Tidak ada komentar: