Bandung | Kontroversi pelaksanaan
Jambore Madrasah di Barus yang dilaksanakan oleh Kantor Kementerian Agama
(Kemenag) Kab. Tapanuli Tengah mendapat tanggapan dari aktivis gerakan pramuka
Sumatera Utara, Samsul Pasaribu. Mantan ketua Dewan Kerja Cabang Gerakan
Pramuka Kwartir Cabang Kota Sibolga periode 2004-2009 ini menyesalkan langkah
keliru yang dilakukan oleh Kemenag Tapanuli Tengah.
Menurut Samsul, ketiadaan
koordinasi antara Kemenag Tapteng dengan Gerakan Pramuka berakibat fatal kepada
rusaknya image pramuka ditengah-tengah masyarakat khususnya di wilayah
Tapanuli.
Penggunaan atribut dan simbol
pramuka diluar kegiatan kepramukaan jelas bertentangan dengan UU nomor 10 tahun
2012 dan AD dan ART Gerakan Pramuka yang secara konstitusional dilindungi oleh
negara. Oleh karena itu Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi
Sumatera Utara harus mencopot Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten
Tapanuli Tengah sebagai konsekuensi moral atas kecerobohan beliau yang tidak
peka terhadap aturan main digerakan pramuka.
Secara tidak sengaja, penulis
membaca sebuah tulisan yang bercerita sejarah kebudayaan pesisir Sibolga/
Tapteng dari masa-kemasa. Tentu saja, dalam kesempatan ini penulis tidak akan bercerita
tentang perjalanan sejarah itu secara detail. Cukuplah Bapanda Syafriwal Marbun
yang bercerita sedikit demi sedikit hakekat pesisir itu kepada kita lewat
tulisan-tulisannya.Kebetulan penulis
juga termasuk pembaca setia setiap artikel dan opini yang bercerita keberadaan
kebudayaan pesisir dari kacama apa pun.
Kali ini, penulis hanya mencoba
mengkaji dan menganalisa hakekat etnis pesisi saat ini yang mulai kehilangan
jati dirinya. Dalam beberapa tulisan yang pernah penulis baca jelas terdapat
beberapa informasi baru yang mungkin tidak semua tahu. Secara garis besar
informasi baru itu akan penulis kelompokkan kedalam tiga topik pembahasan. Yang
pertama adalah, etnis pesisir yang berikutnya melahirkan satu kebudayaan dan
tradisi pesisir secara turun temurun ternyata tidak memiliki marga. Keberadaan
mereka persis seperti etnis Melayu yang menyebar ditanah Deli. Kendati sedikit
data dan informasi yang penulis dapatkan akan asal-muasal keberadaan mereka,
tetapi mayoritas tokoh dan budayawan pesisir bersepakat kalau warga yang
menempati daerah Barus, Sorkam, Sibolga hingga ke Sibabangun dulunya tidak
bermarga sama sekali.
Kehadiran marga-marga di tanah
Pesisir Sibolga/ Tapteng dewasa ini tercipta oleh perkawinan penduduk setempat
dengan warga pendatang yang mencoba peruntungan dipesisir pantaibarat Sumatera. Sejarah menceritakan kepada
kita bahwa warga pesisir khususnya yang berdomisili di Barus dan Sorkam sangat
ramah dan welcome terhadap setiap pendatang yang datang silih berganti. Keramah
tamahan itu pulalah yang menjadikan Barus serta Sorkam menjadi tempat yang
nyaman untuk disinggahi bahkan untuk beranak pinak. Banyak pendatang yang
merantauakhirnya memutuskan menjadi
penduduk setempat. Itulah sebabnya, Sorkam yang kita kenal sekarang sebenarnya
dahulunya bernama Rantau Panjang. Karena dihuni oleh orang-orang perantau yang
akhirnya tinggal dalam waktu yang sangat panjang.
Anda
Fobia terhadap sesuatu? Tidak usah khawatir karena tulisan kali ini tidak
bercerita tentang rasa ketakutan pembaca terhadap tikus, nenas, pisang, pintu,
lift atau apa pun itu. Kali ini penulis hanya ingin berbagi informasi perihal
Fobia yang belakangan ini sering mengidap para penguasa kita. Apa itu? Fobia
terhadap kritik.
Sebelum
kita berbicara tentang benang merah antara fobia, kritik dan penguasa ada
baiknya penulis menjelaskan lebih dahulu apa itu Fobia. Dalam Wikifedia
dijelaskan bahwa Fobia (gangguan anxietas fobik) adalah rasa
ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena.
Fobia bisa dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Bagi
sebagian orang, perasaan takut seorang pengidap Fobia sulit dimengerti. Itu
sebabnya, pengidap tersebut sering dijadikan bulan bulanan oleh teman
sekitarnya.
Ada perbedaan "bahasa" antara pengamat
fobia dengan seorang pengidap fobia. Pengamat fobia menggunakan bahasa logika
sementara seorang pengidap fobia biasanya menggunakan bahasa rasa. Bagi
pengamat, dirasa lucu jika seseorang berbadan besar, takut dengan hewan kecil
seperti kecoak
atau tikus.
Sementara di bayangan mental seorang pengidap fobia subjek tersebut menjadi
benda yang sangat besar, berwarna, sangat menjijikkan ataupun menakutkan.
Dalam keadaan normal setiap orang memiliki
kemampuan mengendalikan rasa takut. Akan tetapi bila seseorang terpapar terus
menerus dengan subjek Fobia, hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya
fiksasi. Fiksasi adalah suatu
keadaan dimana mental seseorang menjadi terkunci, yang disebabkan oleh ketidak-mampuan
orang yang bersangkutan dalam mengendalikan perasaan takutnya. Penyebab lain
terjadinya fiksasi dapat pula disebabkan oleh suatu keadaan yang sangat ekstrem
seperti traumabom, terjebak lift, dikritik terus
menerus (red) dan sebagainya.
Api.. api..api, begitu teriakan
warga setiap kali sijago merah melahap rumah di Sibolga. Kontan saja teriakan
itu mengundang ribuan warga untuk turut berpartisipasi memadamkan jagoan merah
ini. Seteleh itu? Ya, api padam tapi bersamaan dengan itu belasan rumah pun
turut hangus terbakar. Bahkan pernah ratusan rumah habis dilahap api.Kebakaran
adalah peristiwa lumrah terjadi didaerah mana pun. Kalau bukan karena human
error (kesalahan manusia), maka pasti sistem error (kesalahan sistem).
Kebakaran itu biasa, tetapi
menjadi luar biasa apabila jumlah kerugian begitu besar. Karena, dampak dari
kerugian bisa diminimalisir. Untuk meminimalisir itu ada beberapa langkah yang
harus dilakukan pertama adalah ketersediaan armada damkar yang maksimal. Untuk
Sibolga, ditinjau dari letak geografis Sibolga yang relatif kecil dan pemetaan
Sibolga yang meniru gaya tata ruang kota di Washington DC, AS maka, setidaknya
kota ini harus memiliki 6 unit mobil damkar yang berfungsi dengan baik. Karena
kebakaran tidak selalu terjadi siang hari maka untuk maksimalisasi
penanggulangan musibah kebakaran pada malam hari Pemko Sibolga perlu melengkapi
armada damkarnya dengan 2 unit mobil penerangan yangberfungsi memberi cahaya yang cukup dilokasi
kebakaran.
Kedua, tata ruang wilayah
khususnya daerah yang sarat dengan pemukiman penduduk harus mendapat perhatian
serius. Lokasi-lokasi yang tingkat kerapatan pemukimannya sangat padat harus
bisa ditata ulang sehingga memungkinkan untuk dilalui armada damkar. Tentu,
bila kebijakan ini tidak disetujui oleh pihak-pihak yang terkena dampak reposisi
pembangunan ini. Disinilah diminta aparat pemerintah bekerja dengan arif dan
bijaksana bagaimana caranya agar reposisi pemukiman padat penduduk tidak selalu
harus memakai jurus relokasi. Pemko bisa meniru konsep Jokowi yang ingin
membangun daerah kumuh Jakarta berbasis apartemen/ rumah susun. Tentu,
penyebaran penduduk yang semula menyebar keseluruh penjuru arah mata angin
berubah menjadi keatas, dengan demikian akan banyak lahan kosong yang bisa
digunakan untuk membuka jalan baru dan pembangunan sarana penunjang lainnya.
Tata ruang wilayah menjadi lebih
elegan sebenarnya mutlak dilakukan oleh pemerintah kota Sibolga. Karena,
berkaca dari provinsi DKI Jakarta yang kekuatan Damkarnya mencapai ratusan
armada ternyata tidak mampu meminimalisir kerugian bencana kebakaran. Kenapa?
Karena umumnya lokasi kebakaran di Jakarta adalah daerah yang padat penduduknyabahkan hanya bisa dilalui oleh sepeda motor.
Lalu, bagaimana mungkin armada kebakaran bisa masuk langsung kejantung lokasi
kebakaran sementara jalan untuk itu tidak tersedia dengan baik. Oleh karena
itu, Perlahan tapi pasti, Pemko harus merekontruksi ulang tata ruang kota
Sibolga. Daerah-daerah rawan seperti Kelurahan Aek Parombunan, kelurahan aek
habil, kelurahan Pasar Belakang, Kelurahan Aek Muara Pinang, Ketapang,
Kelurahan Pancuran Bambu, Kelurahan Pancuran Dewa dan Hutabarangan harus
mendapat perhatian khusus pemko Sibolga. Wilayah-wilayah tersebut diatas
memiliki titik rawan terhadap musibah kebakaran.
JAKARTA| Rencana Komisi III DPR
RI melakukan amandemen terhadap Undang-Undang KPK RI khususnya pasal yang
mengatur tentang kewenangan KPK meliputi penuntutan dan penyadapan merupakan
langkah bunuh diri para wakil rakyat dan dipastikan akan menyulut revolusi.
Berdasarkan rekam jejak berbagai peristiwa yang mewarnai tanah air khususnya
bersentuhan langsung dengan komisi pemberantasan korupsi hampir tidak ada satu
pun upaya-upaya yang melemahkan KPK tidak ditentang oleh rakyat Indonesia.
Belum hilang dari benak kita
ribuan mahasiswa dan masyarakat berteriak di depan gerbang senayan terkait
kasus cicak buaya yang dianggap sebagai upaya kriminalisasi KPK. Tidak hanya
cukup itu saja. Upaya Kementerian komunikasi dan informasi RI yang mencoba
menghilangkan wewenang KPK dalam hal penyadapan juga mengundang reaksi ribuan
massa mulai dari rakyat kecil, mahasiswa hingga tokoh-tokoh nasional. Terakhir,
tindakan komisi III DPR yang menolak pembangunan gedung KPK lagi-lagi
melahirkan tindakan spontanitas rakyat Indonesia untuk membangun sendiri gedung
baru untuk KPK RI. Rentetan peristiwa ini menjadi bukti nyata kalau KPK RI
masih menjadi satu-satunya lembaga negara di republik ini yang dipercayai dan
di cintai rakyat.
Kini, seperti tidak mengenal masa
lalu, komisi III berencana akan mempreteli kewenangan KPK khususnya kewenangan
melakukan penuntutan dan penyadapan yang sebenarnya kewenangan itu menjadi
ruhnya KPK dalam melakukan tidak pemberantasan korupsi ditanah air hingga ke
akar-akarnya. Memang harus diakui bahwa KPK belum mampu memenuhi ekspektasi
rakyat banyak terhadap kasus-kasus korupsi. Namun, hal itu terjadi bukan karena
ada udang dibalik batu atau KPK diintervensi oleh pihak lain. Kelambatan
penanganan kasus-kasus korupsi lebih kepada faktor bahwa kurang kuatnya KPK itu
sendiri.
Coba kita bayangkan. Jumlah
penyidik di KPK hanya kisaran 150 orang. Itu pun 20 diantaranya sudah ditarik
oleh polri untuk alasan yang sangat dipaksakan. Disamping itu, lembagaDPR yang selama ini bermuka tembok dan
berkulitbadak dan menjadi lembaga yang
paling getol menyoroti kinerja KPK justru menjadi lembaga pertama yang mencoba
merongrong KPK dengan alasan-alasan normatif.
Wajarlah kiranya, Abraham Samad
mengancam akan mengundurkan diri sebagai salah seorang komisioner KPK bila hak
dan kewenangan KPK sebagai lembaga super body dipangkas dan dijadikan lembaga
biasa saja yang tidak super sama sekali. Toh, ketika KPK punya wewenang super
body seperti sekarang ini, berbagai persoalan dan tekanan dari banyak pihak
sudah cukup menghambat kinerja KPK dalam memberantas korupsi konon lagi posisi
KPK itu sendiri sudah lemah maka dapat dipastikan lambat laun KPK akan
kehilangan kekuatannya dan muaranya dengan alasan ini dan itu negara ini bisa
menganggap KPK tidak diperlukan lagi alias dibubarkan.
Langkah tidak populer yang
didengungkan oleh komisi III DPR RI benar-benar telah melukai hati rakyat
Indonesia. Sebagai wakil rakyat sejatinya, mereka mengerti keinginan rakyat
banyak. Langkah ini sepertinya sengaja diambil oleh para politisi senayan
karena lembaga DPR menjadi lembaga yang begitu disoroti oleh KPK. Tidak hanya
itu, kekuatan KPK yang ada saat ini dianggap sebagai ancaman bagi DPR sehingga
serasa bekerja dibawah tekanan yang kuat takut tiba-tiba dipanggil oleh KPK RI.
Kekhawatiran ini memaksa komisi III DPR untuk memuluskan jalannya untuk bekerja
tanpa tekanan apa pun.
Untuk kebaikan bangsa ini
kedepan, langkah terbaik yang dilakukan oleh para wakil rakyat adalah melupakan
segala upaya-upaya yang ingin melemahkan KPK. Pilihan hanya ada dua. Hentikan
upaya mempreteli KPK atau revolusi.
Penulis adalah ketua umum PB
Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)
SUMEDANG| Rencana Komisi III DPR
RI melakukan amandemen terhadap Undang-Undang KPK RI khususnya pasal yang
mengatur tentang kewenangan KPK meliputi penuntutan dan penyadapan merupakan
langkah bunuh diri para wakil rakyat dan dipastikan akan menyulut revolusi.
Berdasarkan rekam jejak berbagai peristiwa yang mewarnai tanah air khususnya
bersentuhan langsung dengan komisi pemberantasan korupsi hampir tidak ada satu
pun upaya-upaya yang melemahkan KPK tidak ditentang oleh rakyat Indonesia.
Belum hilang dari benak kita
ribuan mahasiswa dan masyarakat berteriak di depan gerbang senayan terkait
kasus cicak buaya yang dianggap sebagai upaya kriminalisasi KPK. Tidak hanya
cukup itu saja. Upaya Kementerian komunikasi dan informasi RI yang mencoba
menghilangkan wewenang KPK dalam hal penyadapan juga mengundang reaksi ribuan
massa mulai dari rakyat kecil, mahasiswa hingga tokoh-tokoh nasional. Terakhir,
tindakan komisi III DPR yang menolak pembangunan gedung KPK lagi-lagi
melahirkan tindakan spontanitas rakyat Indonesia untuk membangun sendiri gedung
baru untuk KPK RI. Rentetan peristiwa ini menjadi bukti nyata kalau KPK RI
masih menjadi satu-satunya lembaga negara di republik ini yang dipercayai dan
di cintai rakyat.
Kini, seperti tidak mengenal masa
lalu, komisi III berencana akan mempreteli kewenangan KPK khususnya kewenangan
melakukan penuntutan dan penyadapan yang sebenarnya kewenangan itu menjadi
ruhnya KPK dalam melakukan tidak pemberantasan korupsi ditanah air hingga ke
akar-akarnya. Memang harus diakui bahwa KPK belum mampu memenuhi ekspektasi
rakyat banyak terhadap kasus-kasus korupsi. Namun, hal itu terjadi bukan karena
ada udang dibalik batu atau KPK diintervensi oleh pihak lain. Kelambatan
penanganan kasus-kasus korupsi lebih kepada faktor bahwa kurang kuatnya KPK itu
sendiri.
Coba kita bayangkan. Jumlah
penyidik di KPK hanya kisaran 150 orang. Itu pun 20 diantaranya sudah ditarik
oleh polri untuk alasan yang sangat dipaksakan. Disamping itu, lembagaDPR yang selama ini bermuka tembok dan
berkulitbadak dan menjadi lembaga yang
paling getol menyoroti kinerja KPK justru menjadi lembaga pertama yang mencoba
merongrong KPK dengan alasan-alasan normatif.
Wajarlah kiranya, Abraham Samad
mengancam akan mengundurkan diri sebagai salah seorang komisioner KPK bila hak
dan kewenangan KPK sebagai lembaga super body dipangkas dan dijadikan lembaga
biasa saja yang tidak super sama sekali. Toh, ketika KPK punya wewenang super
body seperti sekarang ini, berbagai persoalan dan tekanan dari banyak pihak
sudah cukup menghambat kinerja KPK dalam memberantas korupsi konon lagi posisi
KPK itu sendiri sudah lemah maka dapat dipastikan lambat laun KPK akan
kehilangan kekuatannya dan muaranya dengan alasan ini dan itu negara ini bisa
menganggap KPK tidak diperlukan lagi alias dibubarkan.
Langkah tidak populer yang
didengungkan oleh komisi III DPR RI benar-benar telah melukai hati rakyat
Indonesia. Sebagai wakil rakyat sejatinya, mereka mengerti keinginan rakyat
banyak. Langkah ini sepertinya sengaja diambil oleh para politisi senayan
karena lembaga DPR menjadi lembaga yang begitu disoroti oleh KPK. Tidak hanya
itu, kekuatan KPK yang ada saat ini dianggap sebagai ancaman bagi DPR sehingga
serasa bekerja dibawah tekanan yang kuat takut tiba-tiba dipanggil oleh KPK RI.
Kekhawatiran ini memaksa komisi III DPR untuk memuluskan jalannya untuk bekerja
tanpa tekanan apa pun.
Untuk kebaikan bangsa ini
kedepan, langkah terbaik yang dilakukan oleh para wakil rakyat adalah melupakan
segala upaya-upaya yang ingin melemahkan KPK. Pilihan hanya ada dua. Hentikan
upaya mempreteli KPK atau revolusi.
Penulis adalah ketua umum PB
Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)
Berubah, sulitkah? Jawabannya
tentu berbeda-beda. Bagi segelintir orang yang merasa sudah “hijrah” dari
pola-pola lama ke masa pembaharuan tentu akan berkata berubah itu tidak sulit.
Tapi, kalimat itu terucap setelah melalui proses yang panjang. Artinya, untuk
berubah tentu bukanlah hal yang mudah. Tentu sebelum kita lanjutkan harus kita
garis bawahi dulu bahwa perubahan yang dimaksud dalam topik kita kali ini
adalah dalam kacamata konstruktif. Kendati pun pola destruktif juga bagian dari
perubahan. Akan tetapi, ke-sejatian dari sebuah perubahan adalah change from
the bad to the better.
Apa pun ceritanya, berubah
tetaplah membutuhkan proses yang tidak singkat. Yang terpenting dari upaya
merubah diri bukanlah pada apa saja yang kita lakukan untuk bisa berubah akan
tetapi terletak pada kapan kita mulai berubah. Karena andai memulai proses
sebuah perubahan kita terjebak dalam hal-hal konseptual dalam artian memulai
keinginan berubah pada hal-hal teoritis maka, secara otomatis kita hanya akan
berubah secara teori sedangkan dalam realita yang sesungguhnya kita masih jauh
dari kata berubah. Untuk itulah, untuk berubah hanya ada satu cara yaitu
“segera berubah dan dimulai dari sekarang”.
Tahun 2010, ketika penulis
berkesempatan mengikuti international coverative fishary organization ceminary
di Jakarta, dalam satu kesempatan bersama Dr. Yadava dari India beliau
menguraikan bahwa untuk mengembalikan perairan sunda kelapa seperti dahulu kala
sebelum tercemar dibutuhkan waktu 50 tahun. Yang terpenting dari kurun waktu 50
tahun itu adalah bukan pada apa saja yang kita lakukan selama kurun waktu 50
tahun akan tetapi kapan titik awal 50 tahun itu kita mulai. Ungkapan ini sekali
lagi menegaskan kepada kita bahwa pentingnya untuk menentukan kapan kita mulai
berubah.
Dalam ajaran agama tertentu juga
ditegaskan bahwa Tuhan sebagai dzat yang maha segalanya mampu merubah apa saja.
Akan tetapi satu-satunya yang tidak ingin tuhan ikut merubahnya adalah saya,
anda dan mereka. Karena untuk kita, tuhan memberi ke khususan dimana kita hanya
bisa berubah bila kita sendiri mulai merubahnya. Bukankah firman Tuhan yang
berbunyi “tidak akan berubah satu kaum sebelum kaum itu sendiri yang
merubahnya” terkandung makna bahwa siapa pun bisa berubah asal ia benar-benar
berkeinginan untuk berubah.
Mungkin firman Tuhan ini pulalah
yang menginspirasi bapak ilmu pengetahuan dunia, Aristoteles. Dimana beliau
mengatakan “satu-satunya yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu
sendiri”. Oleh karena itu tidak berlebihan
kiranya bila penulis turut menegaskan bahwa Perubahan adalah harga mati.
Benarkah perubahan itu sulit oleh
karena apa yang ingin kita rubah merupakan sesuatu yang mungkin sudah menjadi
tradisi, atau sudah dilakukan turun temurun dan berkali-kali? Hemat penulis,
jawaban ini hanya upaya menjustifikasi penolakan terhadap sebuah perubahan.
Karena sesungguhnya perubahan itu sulit dilakukan karena kita belum siap untuk
berubah. Artinya, tantangan terbesar untuk
berubah adalah diri kita sendiri. Padahal, untuk mengalahkan diri kita sendiri
hanya butuh satu cara yaitu katakan tidak untuk setiap langkah kemunduran.
Tahun 2007 lalu, ketika penulis
mengikuti orientasi sisitem pendidikan kampus (Ospek) dimana sistem
perpoloncoan masih menjadi tradisi disetiap perguruan tinggi penulis berupaya
menolak pola-pola lama sistem ospek yang terkadang jauh dari kesan memanusiakan
manusia. Akan tetapi jawaban yang diberikan senior saat itu adalah hal itu
sudah menjadi tradisi dan tidak mudah untuk merubah sebuah tradisi. Ketika
ungkapan itu penulis tanggapi dengan kalimat bahwa itu mudah dilakukan tinggal
satu perintah dari para senior bahwa tahun ini sistem ospek kita rubah pasti
semua bisa berubah. Jawaban itu justru memancing emosi senior lainnya. Kisah
ini menegaskan kepada kita bahwa kata-kata tradisi lebih cocok disebut sebagai
kambing hitam atas penolakan sebuah perubahan. Padahal yang tidak ingin berubah
sesungguhnya adalah kita sendiri.
Sama halnya dengan apa yang
ditegaskan oleh Bung Karno bahwa “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” bukan “Jangan
sekali-kali merubah sejarah”. Artinya sejarah masa lalu hanya sebagai pijakan
untuk melaju dimasa yang akan datang. Tentunya untuk melaju itu kita butuh
sejarah-serajah baru yang akan
dituliskan oleh generasi selanjutnya. Begitu terus menerus. Nurdin. Z,
seorang tokoh politik kawakan di Sibolga pernah mengatakan bahwa setiap masa
ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Setiap orang akan berlomba membuat
sejarahnya sendiri.
*Penulis adalah ketua umum
Pengurus Besar Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)
Jakarta
Mengejutkan. Ternyata negara yang paling oke tata kelola
pendidikannya bukanlah Amerika Serikat, Jepang atau Jerman. Akan tetapi, kiblat
pendidikan dunia saat ini mengarah ke negara Findlandia. Amerika Serikat
sendiri berada jauh dibawah level Finlandia, tepatnya di urutan ke-17. Lalu,
dimana daya tariknya sistem pendidikan di Finlandia dengan negara-negara
lainnya khususnya Indonesia? Jawabannya adalah di kemandirian siswa dan
gurunya. Di Finlandia kemandirian dalam mengikuti proses belajar mengajar itu
tidak hanya dinikmati oleh guru-gurunya yang begitu dihormati tetapi juga
ditularkan kepada para pelajar melalui berbagai kesempatan-kesempatan penting. Salah
satunya dimana setiap pelajar diberi otonomi khusus untuk menentukan jadwal
ujiannya untuk mata pelajaran yang menurutnya sudah dia kuasai.
Sistem inilah yang dipertahankan oleh Finlandia hingga akhirnya berhasil
mengantarkan negara ini berada pada posisi puncak sebagai negara yang paling
berhasil mengelola pendidikan nasionalnya. Fantastiknya, dalam evaluasi
belajar, angka ketidak lulusan secara nasional tidak pernah melebihi 2 persen
pertahunnya. Finlandia juga tidak mengenal istilah ujian semester apalagi ujian
nasional layaknya ditanah air. Evaluasi belajar secara nasional dilakukan tanpa
ada intervensi pemerintah sekali pun. Karena setiap sekolah bahkan guru
berkuasa penuh untuk menyusun kurikulumnya sendiri.
Jadi jangan pernah berhayal bahwa
guru-guru di Finlandia disibukkan untuk mengejar terget-target tertentu karena
di negeri ini guru selalu menyesuaikan bahan ajarnya dengan kebutuhan setiap
pelajar. Jadi, di Finlandia siapa pun presidennya dan menteri pendidikannya
tidak akan berpengaruh signifikan terhadap masa depan pendidikan. Karena fungsi
pemerintah dalam memajukan sektor pendidikan adalah dukungan finansial dan
legalitas. Mau bagaimana caranya, maka gurulah yang berwewenang atas itu karena
guru dipandang sebagai sosok yang paling mengerti mau dimana wajah pendidikan
Finlandia dibawa dimasa yang akan datang.
Sistem ini telah berdampak
positif kepada pola cara mengajar guru yang tidak terlalu dipusingkan oleh
hiruk pikuknya politik nasional negaranya. Keseriusan negara Finlandia
menyokong keberhasilan pendidikan nasionalnya dibuktikan dengan diterapkannya
kebijakan gratis sekolah 12 tahun. Kerenkan?
Ada hal menarik lainnya. Bila
ditanah air setiap tahun selalu saja ada perubahan guru yang masuk silih
berganti tidak demikian halnya di Finlandia. Jangankan berganti bahkan setiap
kelas akan diasuh oleh 3 orang guru sekaligus. Dua orang guru bertindak sebagai
guru mata pelajaran sedangkan satu orang lagi menjadi pengawas dan pembimbing
setiap siswa dalam memahami setiap bidang studi.
Jadi, bila di Indonesia belajar
12 tahun berarti mengenal belasan bahkan puluhan guru maka di Finlandia selama
12 tahun setiap kelas hanya dibimbing oleh 3 orang guru. Gado-gado dong? Ops,
tunggu dulu. Guru-guru di Finlandia bukanlah guru asal-asalan yang dipungut
ditengah jalan atau otomatis jadi guru karena dekat dengan penguasa. Guru-guru
Finlandia adalah lulusan terbaik setiap perguruan tinggi dan mereka harus masuk
dalam kelompok 10 besar lulusan terbaik. Jika tidak, jangan pernah bermimpi
jadi guru di negeri ini. Itulah sebabnya guru-guru di Finlandia betul-betul
berdedikasi tinggi. Gajinya besar dong? Tidak. Guru-guru Finlandia justru
digaji dengan gaji secukupnya bahkan bisa dikatakan kurang memadai.
Kapan hari jadi Sibolga? Katanya,
diperingati tanggal 2 April setiap tahunnya. Lalu tahun ini berapa usia
Sibolga? (sekali lagi) katanya 312 tahun. Karena Raja Luka Hutagalung yang
bergelar tuanku Dorong pada tahun 1700 membuka daerah rawa di Sibolga menjadi
pemukiman yang belakangan kita sebut dengan Sibolga. Dilihat dari usianya, bila
pembaca bukan orang Sibolga, tentu bisa membayangkan sepesat apa pembangunannya
dan semodern apa kotanya. Tapi, tunggu dulu. Sebelum pembaca mengkhayal terlalu
tinggi, penulis akan sampaikan potret Sibolga secara singkat agar tidak kecewa
dibelakang hari.
Sibolga, adalah salah satu daerah
tingkat dua terkecil di Sibolga. Dalam satu kesempatan ketika penulis
presentasi tentang Sibolga di Bandung Jawa Barat, salah satu peserta yang
kebetulan guru besar di Ikopin Bandung Prof.Dr. Dedi Nurpadi mengatakan bahwa
Kota Sibolga adalah kota yang terlalu percaya diri. Waktu itu penulis bertanya
kenapa begitu? Beliau menjawab karena dengan luas wilayah daratan yang hanya ± 5000 Ha, dan jumlah
penduduk 96.400 jiwa Sibolga berani mensejajarkan diri dengan daerah tingkat
dua di Indonesia. Padahal, jumlah penduduk Sibolga tidak lebih banyak dari
jumlah penduduk di Kecamatan Pasar Rebo, Kotamadya Jakarta Timur. Atau mungkin
Luas Sibolga itu sendiri sama besarnya dengan luas Universitas Sumatara
Utara-Medan.
Entah iya atau tidak yang jelas
itulah potret Sibolga dimata orang lain yang mengenal Sibolga dari letak
geografisnya. Lalu, bagaimana Sibolga di usianya yang ke-312 ini? Wah, kalau
itu sejak pembaca menelaah tulisan ini. Penulis berani memberi nilai 5.5 untuk
kota Sibolga. Bayangkan saja. Kota ini untuk urusan banjir berusaha menyaingi
DKI Jakarta. Hujan sebentar saja, jalan-jalan khususnya di pusat kota akan
tergenang oleh air. Secara umum, sarana transportasi khususnya jalan raya jauh
dari harapan banyak pihak. Bila dikota lain, jalan-jalan protokol dan
jalan-jalan utama jarang ditemui lubang yang mengancam para pengguna jalan
raya. Tapi di Sibolga, lubangnya malah berjalan-jalan. Hari ini kita lihat di
Jalan R.Suprapto, besok dan lusa lubangnya sudah pindah ke Jalan S.Parman atau
Jln. Putri Runduk. Lucunya lagi, ada jalan yang bernama Jln. Mojopahit bernasib
malang layaknya pohon maja yang pahit. Jalan ini, sejak dibangun dua puluh
tahun lalu hingga saat ini tidak pernah maksimal direhabilitasi.
Setiap
usaha mengapresiasi kinerja orang lain adalah hal yang layak dilakukan
oleh siapa pun. Wajarkan, bila seseorang telah membantu kita dalam
memperoleh sesuatu sebagai tanda terimakasih kita pun memberikan sesuatu
dalam banyak bentuk. Bisa dengan uang, traktiran atau mungkin sekedar
ucapan terimakasih saja. Sekilas memang seperti tidak ada masalah. Akan
tetapi bila ditinjau lebih jauh, tradisi dan budaya ini agaknya menjadi
salah satu cikal bakal maraknya praktek suap dan korupsi yang belakangan
ini marak terjadi.
Pertanyaanya,
apakah uang terimakasih salah? Tentu saja tidak. Hanya saja, ia menjadi
kurang tepat bilamana tanda terimakasih itu diberikan berhubungan
langsung dengan setiap urusan yang bersentuhan dengan kepentingan orang
banyak. Pengurusan KTP dan KK misalnya yang oleh beberapa daerah
digratiskan. Nyatanya dalam pelaksanaanya terlihat seperti tidak gratis.
Banyak masyarakat yang sepertinya “terwajibkan” memberikan uang
seikhlasnya sebagai wujud terimakasih telah dibantu mengurus KTP atau
KK. Harus dicatat kata “terwajibkan” sengaja penulis gunakan karena
dalam kenyataanya, secara umum sebenarnya masyarakat tidak ingin
memberikan apa pun setiap mengurus sesuatu di kantor pemerintah, hanya
saja karena telah melihat langsung sebagian lainnya memberikan dengan
segala macam basa-basi alhasil warga yang semula tidak ingin memberi
terpaksa harus melakukan hal yang sama.
Berbicara
masalah perluasan bukanlah permbicaraan yang bisa ditinjau dari satu
aspek. Mengingat perluasan berhubungan erat dengan hajat hidup orang
banyak. Disamping itu, issu perluasan tentunya akan berbenturan dengan
banyak kepentingan , tidak hanya kepentingan individu tetapi juga
kepentingan kultur budaya dan sejarah. Oleh karena itu memandang
persoalan perluasan tidak boleh dengan dari satu sudut, perlu
orang-orang visioner yang punya pandangan jauh kedepan akan hakekat
sebuah perluasan. Demikian disampaikan Ketua Umum PB Germasi, Samsul
Pasaribu didampingi sekretaris jenderal PB Germasi Andi Josua kepada
Harian Surat dalam menyikapi munculnya pro-kontra perluasan belakanganini.
Samsul
mengatakan bahwa, siapa pun berhak menyampaikan pendapatnya perihal
wacana perluasan yang kembali dibahas banyak pihak. Dan siapa pun berhak
pula setuju atau tidak setuju. Yang harus dicermati adalah mencari
korelasi antara alasan setuju atau tidak setuju dengan hakekat dari
sebuah perluasan atau pemekaran. Bila dilihat dari alasan paling
mendasar tuntutan pemekaran atau perluasan yang terjadi selama ini
diseluruh Indonesia adalah dalam rangka pemerataan kesejahteraan dan
upaya mempercepat pembangunan. Oleh karena itu, selama alasan yang
dikemukakan berhubungan erat dengan itu maka sah-sah saja setuju atau
tidak setuju. Akan tetapi bila konteksnya dikaitkan dengan sejarah masa
lalu, harus dipahami bahwa sejarah dibentuk oleh setiap generasi dan
individu oleh karena itu, karena setiap masa ada orangnya dan setiap
orang ada masanya maka kedepan sejarah yang lebih baik harus bisa
diciptakan oleh generasi berikutnya. Kaitannya dengan perluasan Sibolga
yang mencaplok beberapa daerah Kabupaten Tapanuli Tengah maka warga
masyarakat yang ada dimasa ini harus berani mengukit sejarah baru dan
melahirkan langkah-langkah kongkrit mempercepat terwujudnya
kesejahteraan dan pemerataan pembangunan.
Berubah, sulitkah? Jawabannya
tentu berbeda-beda. Bagi segelintir orang yang merasa sudah “hijrah” dari
pola-pola lama ke masa pembaharuan tentu akan berkata berubah itu tidak sulit.
Tapi, kalimat itu terucap setelah melalui proses yang panjang. Artinya, untuk
berubah tentu bukanlah hal yang mudah. Tentu sebelum kita lanjutkan harus kita
garis bawahi dulu bahwa perubahan yang dimaksud dalam topik kita kali ini
adalah dalam kacamata konstruktif. Kendati pun pola destruktif juga bagian dari
perubahan. Akan tetapi, ke-sejatian dari sebuah perubahan adalah change from
the bad to the better.
Apa pun ceritanya, berubah
tetaplah membutuhkan proses yang tidak singkat. Yang terpenting dari upaya
merubah diri bukanlah pada apa saja yang kita lakukan untuk bisa berubah akan
tetapi terletak pada kapan kita mulai berubah. Karena andai memulai proses
sebuah perubahan kita terjebak dalam hal-hal konseptual dalam artian memulai
keinginan berubah pada hal-hal teoritis maka, secara otomatis kita hanya akan
berubah secara teori sedangkan dalam realita yang sesungguhnya kita masih jauh
dari kata berubah. Untuk itulah, untuk berubah hanya ada satu cara yaitu
“segera berubah dan dimulai dari sekarang”.
Tahun 2010, ketika penulis
berkesempatan mengikuti international coverative fishary organization ceminary
di Jakarta, dalam satu kesempatan bersama Dr. Yadava dari India beliau
menguraikan bahwa untuk mengembalikan perairan sunda kelapa seperti dahulu kala
sebelum tercemar dibutuhkan waktu 50 tahun. Yang terpenting dari kurun waktu 50
tahun itu adalah bukan pada apa saja yang kita lakukan selama kurun waktu 50
tahun akan tetapi kapan titik awal 50 tahun itu kita mulai. Ungkapan ini sekali
lagi menegaskan kepada kita bahwa pentingnya untuk menentukan kapan kita mulai
berubah.